Semenjak
tak jadi kuliah kedokteran, Arman bekerja apa saja yang ia bisa. Tukang sampah,
kuli bangunan, Bahkan buruh cuci dan setrika. Semua ia kerjakan tanpa mengeluh.
Nyaris tak ada waktu berlibur kecuali tidur 4 jam di malam hari. Jam 12 malam
sampai jam 4 pagi.
Orang-orang
pun mulai simpati, dianggabnya Arman sedang sibuk mengumpulkan uang agar bisa
kuliah di kedokteran. Nama Arman, jadi pilihan untuk membantu meringankan
pekerjaan mereka apapun itu. Dan Arman tak pernah menolak. Hasil kerjanya juga
selalu memuaskan.
Sampai
hari itu tiba. Hari pertama Arman membeli kamera. Hari Arman menolak ditawari
pekerjaan apapun . Ya, dia berubah seratus delapan puluh derajad. Setiap hari
kemana-mana membawa kamera. Lalu jepret sana, jepret sini. Masuk kamar selama
berjam-jam kemudian. Tak keluar-keluar. Begitu selama berbulan-bulan.
Ketika
orang-orang mulai melupakan Arman. Arman kembali menjadi orang rajin di
rumahnya sendiri. Dia sangat perhatian pada sampah. Arman membuat dua bak
sampah dari semen. Satu untuk sampah kering. Satu untuk sampah plastik.
Rutinan
setiap harinya adalah membakar sampah. Atau menjadikan sampah busuknya menjadi
pupuk kompos. Ia suka mengorek-ngorek sampah tetangga mengumpulkan bekas botol
air mineral atau apa saja untuk dipermak menjadi pot bunga. Setelah diisi tanah
kompos racikannya. Ditaruhnya tanaman disana. Entah tanaman hias, atau
sayur-mayur. Semua ia tata rapi berjajar, bergantungan di pagar. Di halaman.
Didinding rumah, di jendela. Rumahnya sudah seperti kebun saja sekarang. Dia
selalu bisa menemukan cara untuk menaruh tanamannya. Meski begitu, orang-orang
mulai menyempatkan diri mampir ke rumah Arman. Terkagum-kagum dengan rumah
Arman yang terasa lebih sejuk dari rumah mereka.
Tetangganya
hanya mengangguk-angguk. Begitulah seterusnya. Sekarang 1 kompleks ini sudah
biasa membedakan sampah kering dan sampah basah. Lalu sekali lagi Arman
mengejutkan kami dengan tanaman-tanaman di botol mineralnya. Ya dia membantu
kami menaruhnya di halaman rumah kami yang sempit. Atau sekedar di teras-teras
dan di pagar rumah. Anehnya kami menuruti permintaannya untuk membantu
menyirami tanaman-tanaman itu. Bahkan kami mulai berkonsultasi bagaimana kalau
menanam ini dan itu atau menaruh tanaman di suatu tempat.
Sekarang
di setiap pagi dan sore hari, kau akan mendengar nyanyian-nyanyian riang dari
setiap rumah di kompleks ini. Mereka asyik berebut menyiram tanaman bersama.
Pun membicarakan stroberi atau tomat yang mulai berbuah ranum. Atau kau akan
menghirup semerbak aroma bunga-bunga hias jika melewati trotoar di deretan
kompleks rumah kami.
Sampai
pada pagi itu, Arman tidak berkeliling untuk membakar sampah kering kami. Ah,
mungkin Arman terlambat, awalnya aku berpikir begitu. Tetapi sampai matahari
terbenam, tak kami dengar suara Arman. O ya, biasanya Arman selalu menyapa dulu
baru membakar sampah-sampah.
Begitu
juga esok pagi harinya, kami celingak-celinguk menanti Arman datang. Tetapi
Arman tetap tidak datang, bahkan sampai hari ketiga.
Beberapa
dari kami mulai membakar sampah kami sendiri. Melakukan seperti apa yang
dilakukan Arman setiap pagi. Membakar
sampah, mengolah sampah basah menjadi pupuk kompos. Kami saling bertanya kalau
saja ada hal-hal yang dilakukan Arman dan terlewatkan. Entah bagaimana
ceritanya, keakraban antara kami terbentuk begitu saja.
Aku
pun memutuskan untuk mendatangi rumah Arman yang terletak paling ujung. Arman
benar-benar tak ada di rumah. Kata ibunya dia sedang keluar kota. Entah urusan
apa. Kulirik tanaman di rumah Arman di sana-sini. Pohon buah-buahan serba mini
yang sedang berbuah. Sayur-sayuran yang siap dipetik. Sejuk sekali. Sekarang
rumahku pun seperti rumah Arman. Benar-benar sesuatu yang tak terbayangkan
sebelumnya. Kami bahkan bisa memenuhi kebutuhan dapur dari kebun sendiri. Kebun
dari botol bekas idenya Arman.
Lalu
hari itu, tepatnya satu bulan kemudian Arman datang. Membawa tiang-tiang banyak
sepanjang 5 m. Orang-orang menatapnya dengan penuh tanda tanya.
"Buat
apa tiang-tiang ini, Man?" tanya Pak RT.
"
Saya mau buat kebun anggur, Pak. Nanti hasilnya buat kita semua"
"Lho,
memangnya dimana kebunnya?" Pak RT masih belum paham.
"Ya,
dijalan ini Pak. Keuntungan yang kedua. Nanti jalannya jadi teduh. Tidak panas
lagi"
"Kayaknya
nggak bisa, Man" kata Pak RT lagi
"Lho,
kenapa Pak"
"Nggak
bisa kamu kerjain sendiri ini. Harus sama-sama semuanya" lanjut Pak RT
tersenyum bangga.
Arman
pun mengangguk. Orang-orang mulai bekerja sesuai instruksi Arman. Tiang-tiang
itu dipasang di depan rumah warga.
Antar
tiang dihubungkan dengan kawat dan tali temali dan jaring. Arman pun meminta
benih anggur ditanam dan dijalarkan pada tiang-tiang itu. Bebrapa bulan
kemudian pasti daun-daun anggur sudah merambat memenuhi jaring-jaring. Dan
teduhlah jalanan kompleks ini, pikir Arman.
Lain
hari, Arman menghilang lagi. Saat pulang ia membawa begitu banyak benih ikan.
Kami pun dipaksa Arman membuat kolam ikan di selokan-selokan. Arman tidak
bercanda, dipasanginya dasar dan dinding selokan dengan keramik warna biru tua
dan entah alat apa yang bisa membuat airnya selalu jernih. Sekarang kami bisa
bersantai, bercengkerama sembari melihat-lihat ikan yang berenang-renang di
selokan rumah kami.
Usai
menggarap selokan, Arman sering termenung-menung di atas jembatan sungai kecil
di dekat rumahnya.
"Lalu
apa yang harus kita lakukan?" Jujur aku berharap Arman menemukan ide lagi
agar membuat sungai ini jernih kembali.
Arman
diam saja. Matanya lurus menatap sungai. "Sungai ini tidak bisa kembali
seperti saat kita kecil. Tapi bisa berguna" katanya.
Arman
seperti biasa menghilang, lalu muncul lagi dengan ide baru. Diajaknya kami
membersihkan sungai. Lalu membuat petak-petak dari kawat, jaring dan besi di sungai. Kotak yang pertama Arman yang
merancang. Entah bagaimana rancangannya itu bisa memisahkan lumpur dan air. Lumpur-lumpur
bau yang konon berasal dari limbah tahi sapi dan pabrik ia olah jadi pupuk
kompos. Sementara jaring-jaring dapat menyaring sampah, setiap hari kami
bergantian memunguti sampah-sampah itu dan membakarnya. Sementara di
petak-petak sungai yang lain mulai kami beri ikan-ikan peliharaan. Walau
petak-petak itu hanya dibuat sepanjang wilayah kompleks. Semoga bisa berlanjut
ke wilayah sungai berikutnya.
Ketika
dimana-mana orang-orang mengeluhkan harga gas elpiji yang semakin naik dan
langka, lagi-lagi aku melihat Arman merenung. Hari berikutnya Arman menghilang.
Kami yang mulai terbiasa dengan ketidakmunculan Arman menebak-nebak, kira-kira
kali ini apalagi yang akan dibawa pulang Arman.
Tetapi,
waktu begitu cepat berlalu, entah sudah berapa kali panen, dan berapa bulan
terlewati- Arman kami tetap tidak pulang. Kami mulai resah, tepatnya merindukan
Arman. Apa yang dilakukan Arman telah menghidupkan kompleks rumah kami. Tak
hanya lingkungan kami yang semakin asri. Tetapi keakraban di antara kami juga
menjadi lebih baik.
Para
pemuda pun mulai berinovasi. Jalan selebar empat meter di kompleks kini di cat
warna-warni. Ketika foto-foto tentang kompleks kami beredar di facebook,
semakin banyak yang berkunjungi ke kompleks perumahan ini. Kami bahkan membuat
gapura paduan dari bambu dan semen yang kami tempeli banner "Kompleks
Wisata Arman. " Nama itu dipilih untuk menghargai hasil kerja Arman pada
Kompleks perumahan kami. Bahkan beberapa di antara kami berjanji akan memilih
Arman sebagai Ketua RW agar progam-progamnya bisa semakin meluas.
Hari
itu Arman pulang, tepat 3 tahun setelah ia menghilang. Orang yang pertama kali
ditemui adalah Pak RT. Ya, Arman meminta PaK RT mengadakan musyawarah warga.
Tentu saja, Pak RT manggut-manggut setuju.
Awalnya,
rapat berjalan dengan lancar. Diisi laporan-laporan kegiatan di kompleks RT
kami. Sampai tiba giliran Arman menyampaikan ide barunya. " Bapak-bapak.
Ibu-Ibu. Mohon maaf selama 3 tahun ini saya tinggal di Perusahaan Raya Makmur,
Perusahaan ini ada di pulau kecil di ujung barat Indonesia. Apa yang di kelola
di sana? Hanya sampah. Bahkan mereka berhasil mengelola sampah menjadi gas yang
bisa dibuat memasak seperti gas elpiji. Dan itulah tujuan saya mengadakan rapat
ini. Saya ingin kita bisa membuat gas sendiri dari sampah"
Ruang
rapat yang tadi hening langsung riuh. Gaduh. Ada yang geleng-geleng kepala
tidak percaya, ada yang manggut-manggut. “Tapi bagaimana caranya?” pertanyaanku
membuat semua kembali senyap.
“Kita
hanya butuh mesin biodigester. Itu mesin untuk mengolah sampah menjadi gas yang
bisa kita pakai memasak “ Kata Arman. “Untuk itulah kalian kukumpulkan. Saya
ingin kita iuran untuk membeli mesin biodigester. Ada teman yang bisa
membuatkan. Tetapi harganya 1.000.000 per-mesin biodigester. Kalau terasa
berat, satu mesin bisa dipakai beberapa rumah“ lanjutnya lagi.
“Setuju”
suaraku muncul lebih dulu. Dilanjutkan sahut menyahut satu ruangan. Ya, kami
benar-benar percaya dengan semua ide Arman.
Aku
diamanahi mencatat uang iuran warga. Jumlah warga disini ada 100 orang.
Ternyata masing-masing keluarga ingin mempunyai mesin biodigester sendiri.
Setelah genap 100 juta, aku menyerahkan uang itu pada Arman.
Seperti
biasa, Arman menghilang. Satu bulan berlalu. Dua bulan. Tiga Bulan. Genap satu
tahun, Arman belum juga kembali. Kami tak tahu memangnya seberapa lama proses
pembuatan mesin biodigester yang konon kata Arman bisa menghasilkan gas untuk
keperluan memasak kami. Apakah memang begitu lamanya? Entahlah, sejauh ini kami
percaya pada Arman.
Sampai
pada suatu subuh, ibu Arman tidak muncul di mushala kompleks. Ini benar-benar
hal tak biasa. Bahkan saat sakit sekalipun, beliau berusaha tetap berjamaah
shalat disana. Atau mungkin terjadi sesuatu padanya. Aku teringat tubuh renta
yang selalu tersenyum dengan mata berbinar itu hanya tinggal sendirian di
rumahnya. Dan mengingat dia adalah ibu Arman yang saat ini sedang berjuang
mencari mesin biodigister untuk kami, aku rasa pantaslah kalau kami se-kompleks
membalas jasanya dengan merawat ibunya.
Aku
buru-buru menuju rumah Arman. Barangkali ibu Arman sedang butuh bantuan. Dari
jauh aku lihat sudah banyak orang bergerombol di depan rumah Arman. Samar-samar
aku mendengar mereka menggerutu tak jelas. Aku mempercepat langkah kakiku.
“Dasar
kurang ajar! Berani-beraninya dia kabur”
kata Pak RT di depan rumah Arman.
“Kabur
bagaimana, Pak?” tanyaku belum paham.
“Tengah
malam tadi Arman datang. Memboyong ibunya di saat kita terlelap” jelas Pak RT
“Apa?
Arman kabur?” Aku ingin membela Arman, tapi rumah miliknya benar-benar sudah
kosong. Dia memang sudah melakukan banyak hal untuk kami. Akankah semudah itu
dia membawa seratus juta dan kepercayaan ini pergi? Tidak! Itu tidak ada
separuhnya dari perjuangan Arman selama ini.
Ah,
Arman. Kepalaku pening. Tanganku mengepal gemas. Aku masih tidak ikhlas untuk kesal
dan marah padanya. Pasti ada yang salah dengan ini semua. Ya, Arman yang
kukenal, Arman kami yang gigih. Tak
mungkin ia kabur begitu saja. Apalagi untuk uang seratus juta.
Beberapa
orang berkasak-kusuk sebaiknya Arman dilaporkan polisi karena telah menipu
kami. Ah, padahal dulu Arman membantu warga kompleks ini dengan gratis. Bahkan
untuk semua peralatan mengelola sampah dan beternak ikan. Begitu cepat mereka
melupakan semua itu?
Rapat
dadakan pun diadakan pagi itu juga. Keputusannya, Arman akan dilaporkan polisi.
Dan tugas itu diberikan kepadaku. Aku menghela nafas dalam-dalam. Akan
beginikah akhir Arman kami?
Satu
minggu telah berlalu, aku masih belum melaporkan Arman. Sebaliknya aku
jumpalitan menghindari tetangga. Aku sengaja berangkat kerja lebih awal dan
berlama-lama di sana. Konon, rumah Arman pun sudah berganti penghuni. Dan aku
tetap enggan melaporkan Arman pada polisi.
Malam
itu aku pulang tengah malam, aku lihat orang-orang sedang riuh di depan
rumahku. Gugup menjalari seluruh tubuhku. Bagaimana jika nanti mereka akan
bertanya tentang kasus Arman? Tapi kakiku tetap tak berhenti melangkah.
Aku
kira aku akan melihat muka-muka garang dan kesal dengan kelakuanku. Ternyata
tidak. Wajah-wajah itu cerah-ceria. “Ada apa?” hanya itu yang keluar dari mulut
ini.
“Arman
tidak berbohong. Mesin biodigester itu tadi pagi diantar. Tepat 100 biji” jelas
Pak RT. “Dan kita benar-benar bisa membuat gas sendiri dari sampah untuk
memasak sehari-hari.“
“Alhamdulilah
“ ucapku lega. “Saya belum melaporkan Arman” kataku
“Nah
Nak, kami menunggumu karena ingin menanyakan itu. Kami merasa bersalah sudah
mencurigai Arman” lanjut Pak RT lagi.
Aku
tersenyum. Lebih tepatnya untuk diriku sendiri yang tetap merawat percaya pada
Arman. Tidak ada yang tahu dimana Arman. Begitu pula dengan seluruh tabunganku
yang kubelanjakan untuk membeli 100 mesin biodigester untuk kami. Untuk itulah,
senyum di bibirku makin mengembang.
*********
*********
2 comments:
Sy selalu mengagumi siapa saja yang meluangkan waktu untuk menulis. Apapun bentuknya. Mau cerpen, essay, puisi bahkan hanya sebuah catatan harian kecil.
Jadi, yg pertama akan sy sampaikan tentang cerpen ini adalah salut untuk penulisnya.
Belum berani untuk mengkritik, krn sy sendiri blm bisa menulis cerpen dgn baik.
Anyway, sy suka cerpen ini. Ada pesan moralnya yg kuat. Td sy kasih cerpen ini utk dibaca juga. Krn pesan moralnya bagus. Dan juga krn lunayan ada tambahan bacaan utk anak2 sy yg kelas 3 SMP n 1 SMA selama masa belajar di rumah.
Jempol utk ImroAtus. Trmksh sdh menulis.
Salam,
Juni
Sekiranya kisah Arman ini nyata... tentu akan sangat dibutuhkan Arman lain di kompleks2 lainnya
Post a Comment