Oleh : Miza Rahmatika Aini
Suatu hari saya ditanya oleh teman saya. "Belajar di jurusan sampean prospek kerjanya apa?"
Saat itu saya menjawab sekenanya. "Ya...banyak. Bahkan ada yang menjadi pegawai Bank."
Banyak orang awam yang tidak mengerti ilmu linguistik dan sastra menganggap ilmu bahasa itu tidak penting. Bahasa hanya sekedar pelajaran grammar atau tata bahasa yang bisa dipelajari sendiri tanpa harus kuliah di perguruan tinggi.
Ilmu Bahasa memang bukan suatu ilmu yang 'nampak' seperti halnya teknik elektro atau teknik sipil. Bukan ilmu arsitek untuk membangun rumah dan jembatan. Bukan ilmu ekonomi untuk menghitung profit dagang. Namun bahasa adalah suatu soft skill yang menjadikan seseorang mempunyai adab, budaya, tata krama. Perilaku dan kemampuan untuk berkomunikasi dengan banyak suku, bangsa, negara yang berbeda.
Bahasa adalah kunci dimana kita bisa memahami ujaran. Dimana kita memahami konteks atau wacana. Ilmu bahasa bisa diterapkan pada berbagai sisi kehidupan. Jika dalam pekerjaan, bisa dalam advertising, perfilman, Public relation, dunia tulis menulis, seni, bahkan dalam politik bahasa berfungsi untuk menarik simpati publik.
Sebagai mahasiswa yang mempelajari magister linguistik, saya belajar bahasa tidak hanya berhenti pada tata bahasa saja. Tetapi juga hubungannya dengan mental, kejiwaan dan tuturan manusia. Dalam psikolinguistik bahasa dihubungkan dengan pikiran dan mental manusia. Orang yang memiliki gangguan kejiwaan, produksi bahasa akan berbeda dengan orang normal. Orang yang sedang marah bahasanya berbeda dengan orang yang berada pada kondisi santai.
Jika kita ketinggalan pesawat misalnya, keputusan apakah kita kembali ke rumah, atau membeli tiket penerbangan lagi, atau bahkan membatalkan perjalanan adalah bahasa itu sendiri.
Jika kita sedang marah pada seseorang kita berusaha memaafkan atau bahkan menyimpan dendam dan membalasnya. Itu lah bahasa. Bahasa meliputi kepribadian dan bagaimana orang mengambil keputusan.
Rasulullah Saw. jauh sebelum ilmu psikolinguistik lahir memberi contoh penggunaan bahasa yang paripurna.
Saat Rasul pergi dan beliau kembali Aisyah belum selesai memasak. "Maaf ya Rasul, saya belum selesai membuat apa-apa."
Rasul menjawab, "Ya, hari ini saya puasa Aisyah..."
Padahal nyata-nyata beliau tidak makan seharian dan dalam keadaan lapar.
Ketika Aisyah sedang marah dan membanting-banting piring hingga pecah berantakan, saat itu ada sahabat yang menyaksikan. Maka Rasul berkata, "Ibumu sedang cemburu."
Itu lah bahasa, yang keluar dari mulutmu adalah isi pikiranmu. Isi pikiranmu adalah kepribadianmu.
Ketika ada seorang anak yang menangis keras tidak henti-hentinya. Maka sang ibu berkata, mungkin dia sedang mengantuk. Biar aku tiduran dahulu.
Ketika ada seorang istri yang tidak bisa memasak maka suami berkata, tidak mengapa masih banyak warung yang buka. Ketika masakan istrinya keasinan, maka dia tidak mencerca. Hanya berkata, garamnya sedikit terasa. Jika masakan istrinya gosong. Maka apa yang dia katakan, yang salah bukan kamu tapi kompornya.
Bahasa adalah kadar cinta seseorang terhadap sesuatu, seseorang, benda, alam, makhluk hidup, tak hidup, langit seisinya. Bahasa bukti cinta makhluk kepada Tuhannya.
Jika saat ini dia tidak memiliki uang sepeserpun maka dia berkata, rejekiku bukan berupa uang tapi keluarga yang hangat. Jika sedang tertimpa musibah maka dia berkata, Tuhan sedang rindu padaku. Jika dia sedang dimabuk cinta dengan kekasihnya maka dia berkata, Debu di sandal Laila lebih mulia daripada dunia dan seisinya.
Bahasa adalah cermin hati manusia. Benar adanya otak lah yang berfungsi untuk mengendalikan ujaran manusia. Tapi cinta lah yang mewarnainya. Cinta lah yang membuat orang biasa tiba tiba menjadi penyair. Cinta lah yang mengubah kesedihan menjadi lirik lagu yang indah.
Maka, Bahasa Cinta adalah cerminan dirimu. Seberapa besar kadar cintamu tercermin dalam bahasamu.
Blitar, 26 Mei 2020
Sumber Gambar:
https://images.app.goo.gl/wocMixGhSmfH5TEv9
No comments:
Post a Comment