Kenapa belum menikah?
Tentu itu sebuah pertanyaan yang sensitif dan sering
kita dengarkan, terutama untuk para kaum jomblo yang sudah memasuki usia dewasa
(cukup umur). Dari survei orang-orang sekitar saya, banyak saya temui berbagai
jawaban. Berikut diantaranya :
- Masih suka main, belum siap yang serius
- Masih ingin fokus kuliah
- Masih fokus mengejar karir/cita-cita
- Belum ketemu yang dicari
- Masih ingin menikmati masa muda yang bebas
- Trauma karena masalah keluarga
- Trauma dengan percintaan
- Dan masih banyak lagi.
Kalau dari pandangan saya, menikah itu sesuatu yang
sakral, tentang komitmen, dan yang terpenting adalah tujuan dari pernikahan
itu. Saya yakin setiap orang tentunya memiliki pandangan atau perspektif,
tujuan, dan kesiapan sendiri-sendiri. Berapa pun usianya, tak memandang lebih
tua atau lebih dewasa, tentu memiliki pandangan, pengetahuan, tujuan, dan kesiapan yang berbeda-beda.
Ada
yang masih muda sudah siap menikah, ada yang sudah berumur masih enggan
menikah, ada yang memiliki pandangan pernikahan itu sebuah kekangan, ada yang
berfikir menikah itu ibadah, ada yang berfikir menikah itu pasti menyenangkan,
bahkan ada yang berfikir pernikahan itu menakutkan. Semua itu tidak salah,
karena kembali kepada pandangan , pengetahuan, tujuan, dan kesiapan pribadi
masing-masing setiap pelakunya.
Dari berbagai perspektif diatas tentang pernikahan
yang telah disebutkan di atas, yang paling menarik menurut saya yaitu, pendapat pernikahan
itu menakutkan. Kenapa dia bisa berpikir demikian? Tentunya dia memiliki
pengalaman dan pengetahuan yang membuat dia takut dengan pernikahan.
Sedikit
cerita ini dari salah satu kawan saya yang tidak bisa saya sebutkan namanya.
Dia berbagi cerita dengan saya mengenai kehidupannya, sehingga dia menjadi
trauma dan berfikir bahwa pernikahan itu sesuatu yang menakutkan. Hal itu
dikarenakan kehidupan keluarganya yang jauh dari kata harmonis. Dimana
hari-hari penuh dengan pertikaian, perdebatan, luka, sedih, tangis, kacau, dsb.
Semua itu sudah berlangsung selama berpuluh-puluh tahun, sejak dia masih kecil.
Suasana dalam rumahnya yang tidak bisa disebut surga, apalagi sakinnah, mawaddah
atau warohmah. Dia mengalami ketakutan untuk menikah karena tidak ingin
merasakan hal sama dengan yang ibunya rasakan. Sehingga dia takut dan mudah
curiga kepada laki-laki, terutama yang menginginkan dia menjadi pasangannya.
Kalau dilihat sekilas, dia memang seperti biasa saja dan tidak mengalami trauma
berat. Karena dia biasa saja mengobrol dan berteman dengan laki-laki. Namun
yang ditakutkan dia adalah memiliki pasangan yang sama dengan ayahnya.
Kisah di atas merupakan salah satu contoh nyata pemikiran seseorang terhadap pernikahan. Tentunya kisah itu sangat memilukan. Oleh karena itu, bagaimanapun kita harus menghormati
dan menghargai pendapat dan perspektif setiap orang. Terutama masalah kehidupan
pribadi mereka. Karena jalan semua orang tidak ada yang sama, jadi tidak bisa
kita menilai orang lain dengan orang lainnya atau diri kita. Di sisi lain,
terjadinya suatu pernikahan pasti ada campur tangan Tuhan atau yang biasa
disebut “takdir”. Jika seseorang itu telah menemui takdirnya, maka tanpa kita
suruh mereka akan menikah. Lalu, kenapa kita masih mengusik urusan pribadi
orang lain? Apalagi sampai merundungnya (bullying).
No comments:
Post a Comment