Kamis, 3 September 2020
Oleh Fahrizal A.
Salah satu kutipan motivasi menulis yang sering saya dapat, terutama di FLP, adalah kutipan Imam Al Ghazali. Kutipan itu sangat populer, isinya : Jika kamu bukan anak raja, maka menulislah.
Saking seringnya kutipan itu disampaikan, bahkan oleh pendiri FLP Helvy Tiana Rosa, sampai kita lupa bertanya, apa maksudnya? Apa kaitan menulis dan bukan anak raja?
Raja yang menulis
Memang tidak diketahui apa sebab musabab tokoh sekaliber Imam Al Ghazali memberikan kutipan tersebut. Apa anak raja tidak ada yang menulis sehingga kita, yang bukan anak raja, harus menulis?
Faktanya tidak demikian. Banyak raja memiliki karya tulis, sebut saja Al Fatih. Raja masyhur Kesultanan Turki Ottoman, adalah penulis karya sastra, bahkan memiliki nama pena bernama Afni.
Di Jawa, Sultan Agung, Raja keempat Kesultanan Mataram Islam, juga meninggalkan karya sastra berupa serat Sastro Gendhing. Mungkin masih banyak lagi, termasuk Jayabaya. Meski dalam sejarah diceritakan ia lebih sering sebagai pendorong lahirnya karya sastra.
Lah, faktanya banyak raja yang menulis, lalu apa maksud dari kutipan Al Ghazali tersebut?
Kehidupan anak raja
Baru setelah mempelajari sejarah, kita jadi paham bahwa anak raja itu berbeda dengan anak biasa, atau yang dalam era majapahit disebut kaum kawulo, alias rakyat jelata.
Anak raja mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Gizi makanan terpenuhi, sekolah pun privat, dengan guru yang berbeda-beda sesuai bidangnya.
Mereka disiapkan sebagai calon penerus tahta, maka fisik dan pikiran harus dijaga, diisi dan dikembangkan.
Pada usia belia, mereka sudah diajarkan bela diri, ilmu kanuragan, belajar seni dan sastra. Hidupnya penuh dengan fasilitas.
Kalau sekarang, tidak perlu jadi anak raja. Cukup jadi anak orang kaya. Orang kaya sekarang banyak dari, jika menggunakan strata sosial pada masa kerajaan, kelas sudra. Artinya kelas pedagang. Sebutannya bisnisman atau wirausahawan.
Anak yang lahir dari keluarga kaya, punya kesempatan yang sama seperti halnya anak raja di masa kerajaan terdahulu.
Mereka bisa makan bergizi, sekolah di lembaga terbaik, ikut les skill, mengasah hobi dan lain sebagainya.
Lalu dari itu semua, lantas apa hubungannya dengan kutipan dari Al Ghazali itu?
Keajaiban menulis
Menulis itu memang ajaib. Suatu proses refleksi mendalam dan latihan intens yang membuat kita tambah berwawasan, sekaligus belajar mengenali diri sendiri.
Dalam menulis, pikiran dan rasa diolah. Mana ada kaum kawulo sempat melakukan hal ini, jika kesehariannya sibuk memenuhi isi perut?
Namun ini bukan era kerajaan. Ini era demokrasi. Masyarakatnya egaliter. Siapapun bisa membeli pena dan secarik kertas, bahkan memiliki gawai sebagai sarana komunikasi dan berekspresi.
Komunitas menulis bisa dengan mudah diakses, menjembatani siapapun yang ingin menulis.
Siapapun berkesempatan menulis puisi, sajak, esai, dan menerbitkan buku. Tidak harus jadi kalangan tertentu.
Itulah kenapa Al Ghazali menyuruh kita, yang bukan anak raja, untuk menulis. Menulis adalah suatu latihan intens mengasah pikir dan rasa. Anak raja, sedari kecil sudah dilatih untuk hal itu. []
No comments:
Post a Comment