Pagi itu di dapur belum ada siapa-siapa. Hanya aku dan ibu. Ibu selesai memasak ayam pedas, sayur-kulub untuk khataman Al-Qur'an. Tak lupa jajanan untuk camilan.
Sementara aku sedang bersiap membuat apem. Tinggal meletakkan cetakan di atas kompor yang sudah dialasi seng. Adonannya sendiri sudah dibuat dari semalam dan mengembang menjadi dua kali adonan awal. Begitulah adonan apem.
Lubang cetakan apem ada tujuh. Masing-masing aku olesi minyak goreng. Lalu kutuang dua sendok sayur adonan ke dalam lubang cetakan. Kumasukkan daun pandan yang sudah aku gunting kecil berbentuk huruf v sebagai hiasan. Kupasang tutup cetakan. Tak lama aroma sedap menguar ke seluruh dapur. Dan apemku mengembang sampai kekuar lubang cetakan.
"Waw!" seruku. "Apem ini terlalu besar. " Rupanya aku terlalu banyak menuangkan adonan." kataku pada ibu dan mulai mencongkel satu persatu apem itu dari lubang cetakan. Memindahkannya ke dalam wadah yang kutenteng.
Ibu mencomotnya satu. Dan menjadikannya sebagai sarapan.
"Aku kenyang, " kata ibu setelah menelan apemnya.
Aku tergelak lalu mulai mengolesi cetakan apem dengan minyak dan menuangkan adonan lagi. Kali ini satu sendok sayur adonan saja. Sekitar separuh lubang.
Benar saja apem yang matang ukurannya pas. Sayangnya belakang apem tampak gosong padahal belum terlalu matang. Aku nyengir. Kusisihkan apem konyol itu- kucampur dalam wadah tadi.
"Ndak pa-pa masih awal biasa begini. Ini bisa buat icip-icip."seru Ibu.
Lagi-lagi aku tergelak. Tapi aku mengulang proses tadi. Mengolesi cetakan dengan minyak, menuang adonan, memberi hiasan daun pandan. Lalu menutup cetakan. Semakin lama apemku matang dan berwarna cantik. Entah sudah ke berapa kalinya apemku matang.
Aku merenung. Aneh, aku malah teringat dengan menulis. Bukankah menulis juga sama seperti itu. Ketika baru menulis pertama kali, susah sekali. Bingung mau mulai dari mana. Tetapi ketika mulai dituliskan dan rutin menulis, tiba-tiba saja hasil tulisan menjadi cantik. Semakin mengalir dan enak dibaca.
Begitu pula dengan cetakan apem ini. Ketika baru dipanasi biasanya masih lengket dan hasil belum sempurna. Tapi kian lama dijerang, apem kian cantik. Dan lebih cepat matang.
Mulai terdengar suara berisik. Tetanggaku berdatangan membantu ibu walaupun tanpa disuruh. Tak lama semua sudah mengerjakan bagian masing-masing.
Aku menatap jatahku, adonan apem yang kian mengembang. "Ini adonan sudah aku ciduk dari tadi tapi jumlahnya tetap memenuhi panci." Ucapku dalam hati sembari tersenyum geli. Kutatap tumpukan apem yang sudah matang.
Mau bagaimana lagi? Adonan apem memang akan terus mengembang. Seperti ilmu, tak akan ada habisnya.
Rumah kenangan Selopuro, 23 Oktober 2020
No comments:
Post a Comment