Kelas itu awalnya bukan gudang, tetapi ruang tata busana. Namun karena angker, tak difungsikan lagi untuk kegiatan belajar mengajar.
Ruangan itupun tak terawat. Berdebu, banyak sarang laba-laba. Pak Min, penjaga sekolah, juga tak berani berada di tempat itu lebih dari 5 menit. Sehingga tak ada waktu untuk membersihkan.
"Angker mas.. kadang ada penampakan anak kecil, kepalanya berdarah," ungkap Pak Min.
"Anak kecil?" heranku.
Sudah seminggu aku praktek mengajar di sekolah ini. Waka kurikulum yang memandu kami saat perkenalan, mewanti-wanti agar tak berada di area gudang itu, apalagi sendirian. Namun tak menjelaskan detailnya.
"Banyak yang kerasukan, banyak juga yang trauma karena melihat sesosok anak kecil yang kepalanya berdarah," lanjut Pak Min.
Anak kecil? Bukankah ini gedung SMA? Setidaknya, kalaupun ada hantu, hantunya juga sesosok anak SMA, bukan anak kecil.
Setelah kutanyakan dengan Pak Hadi penjaga kantin yang sudah senior, ternyata ini dulu adalah bekas gedung ELS, setingkat sekolah dasar di zaman kolonial.
Setelah kemerdekaan, menjadi gedung sekolah dasar, lalu beralih menjadi gedung SMA. 80% bangunan sekolah sudah direhab, beberapa saja yang masih tampak bangunan lama, salah satunya gudang itu.
"Lalu apa rencana sekolah? tanyaku ke Pak Min.
"Rencana mau diruwat, setelah itu gedung dirobohkan, dibangun baru," terangnya.
###
Aku mendekati gudang itu, suasananya memang singlu. Sepi dan menegangkan. Rasanya seperti berada di tempat yang sangat asing, padahal toh gudang itu masih satu kompleks sekolahan.
Kulihat beberapa kuntilanak bergelantungan. Di tembok itu ternyata ada gerbang antar dimensi.
Sesosok genderuwo menyapaku.
"Ada urusan apa kamu ke sini?" tanyanya.
Tempat yang tadi terlihat sepi, kini begitu ramai oleh makhluk astral. Lagipula, mau sepi atau ramai, itu tak berpengaruh apa-apa. Manusia tetap tak bisa melihat mereka, kecuali orang-orang tertentu sepertiku.
"Aku dengar, ada yang sering menampakkan diri di sini, kenapa dia melakukan itu?"
Genderuwo itu tak menjawab. Berganti kuntilanak hijau yang mendekat, namun hanya senyum-senyum sendiri.
Dua sosok kuntilanak lain juga terlihat memerhatikanku dari belakang. Mereka semua tiba-tiba menyingkir dan masuk ke pintu antar dimensi, seperti black hole.
Bau melati mulai tercium, dari balik jendela gudang, kulihat sesosok anak kecil mengintip.
"Hei," panggilku.
Ternyata dia lah yang sering dibicarakan orang-orang, mulai dari guru, siswa hingga penjaga sekolah yang pernah melihatnya.
"Hei, kamu apa?" tanyaku.
Aku tak bisa menebak pasti, apakah dia qorin, kuntilanak atau genderuwo yang menyerupai sesosok anak kecil.
"Jangan ganggu aku," pintanya.
"Bukan begitu!"
Dia berjalan menembus tembok dan menuju ke arahku.
"Kenapa kepalamu berdarah?" tanyaku.
Dia malah menangis. Seragam yang ia kenakan tampak asing. Bukan seragam anak sekolah saat ini.
"Kenapa kamu menangis? Kenapa kamu menampakkan diri pada beberapa orang?"
Dia tak menjawab. Kepalanya mendongak memandang ke arahku. Sorot matanya tajam nan mengancam.
"Aku ingin berteman.. berteman.. aku sedih mereka tak mau berteman denganku," jawabnya sambil menangis, dan berlari ke dalam gudang.
Tak mau berteman? Batinku. Sesosok kuntilanak merah terlihat bergelayut di dekat tandon air dan memandang ke arahku.
Segera akupun meninggalkan lokasi tersebut.
###
Berbekal informasi dari Pak Hadi, aku mengunjungi salah seorang warga senior di dekat sekolah. Namanya Pak Trimo, lahir pada 1939. Bicaranya sudah agak terbata namun ingatannya masih kuat.
Pak Trimo menceritakan apa yang pernah terjadi di sekolah itu, seorang anak yang naik menara tandon air dan menjatuhkan diri sampai kepalanya retak dan mengeluarkan banyak darah.
"Itu..itu pas masih jadi SD," terang Pak Trimo.
"Apa bunuh diri?" tanyaku.
"Ya bunuh diri itu namanya."
Aku terdiam sejenak, merenungi cerita dari Pak Trimo tentang peristiwa yang terjadi sekitar tahun 1950-an tersebut.
"Kenapa bisa bunuh diri kek?"
"Endak tau, tapi dia anak blesteran. Londo."
Saat kejadian itu terjadi, usia Pak Trimo masih 11 tahun. Setelah kejadian itu, sekolah ditutup dalam waktu lama. Siswa di sekolah itu dipindahkan ke SD lain, merger.
Satu dekade kemudian, kompleks sekolah itu dijadikan gudang bulog. Konon dari sinilah cerita mistik itu bermula.
Sekitar tahun 1980-an, dilakukan renovasi untuk dijadikan kompleks SMA. Namun beberapa bangunan tetap dibiarkan karena kualitasnya masih bagus. Bangunan era kolonial memang terkenal kokoh.
Sejak saat itu, kisah horor gadis kecil penunggu gudang sekolah pun beredar.
Beberapa siswa mengaku melihat sesosok anak kecil yang kepalanya berdarah. Tak jarang juga siswi yang kesurupan terutama saat kelas tata busana. Akhirnya, ruangan dipindah dan tempat itu hanya dijadikan gudang tempat menyimpan kursi dan meja rusak. Kondisinya sangat tak terawat.
Dinas pendidikan pun rencana membongkar bangunan lama itu, namun ditentang oleh dinas PU. Kualitas bangunan itu masih bagus dan rencana dipertahankan keasliannya.
###
Aku menghubungi pengelola Majalah Dinding (Mading) sekolah agar menempelkan tulisan dan hasil ilustrasiku.
Banyak siswa yang mengerumuninya, sampai akhirnya aku diminta Kepala Sekolah untuk menjelaskan ini semua.
"Dia sering dibully di sekolah, karena dianggap anak penjajah yang jahat, akhirnya dia depresi dan bunuh diri," jelasku.
"Lalu apa itu efektif?" tanya kepala sekolah.
Aku membuat sebuah alur sederhana cerita pendek tentang kasus bullying di masa lalu, dan melengkapinya dengan ilustrasi sederhana.
Aku mengajak seluruh siswa untuk mendoakan arwah gadis kecil di masa lalu yang meninggal di tempat itu, sekaligus mengajak semua siswa agar tak melakukan bullying pada siapapun.
###
"Keluarlah," panggilku.
Gadis itu mengintip dari balik jendela lalu menembus dinding dan menuju ke arahku.
"Terima kasih," ucapnya.
"Kamu harus janji gak akan tampakin diri lagi," pintaku.
Dia mengangguk. Lalu berlari ke dalam kelas. Pintu gudang itupun tiba-tiba terbuka.
Aku, Pak Min dan beberapa siswa mulai membersihkan ruang itu. Mereka tampak takut dan khawatir, namun kupastikan bahwa semua baik-baik saja.
Saat kami tengah sibuk membersihkan, kulihat gadis itu berdiri di pojok kelas. Dia tersenyum ke arahku. Dari nametag yang terpasang di bajunya, gadis itu bernama Alice.
Alice lahir dari Ibu orang Jawa, dan ayahnya orang Belanda. Wajahnya terlihat Indo.
###
Ruangan itu telah kami bersihkan, sudah bisa difungsikan lagi sebagai kelas.
Alice masih disitu. Dia tidak pergi. Namun dia tidak akan menampakkan diri lagi, itu karena tujuannya telah tercapai. Pesan yang ingin dia sampaikan telah terwakilkan lewat cerita pendek yang kutempel di mading beberapa hari yang lalu. []
Ditulis oleh Ahmad Fahrizal Aziz
No comments:
Post a Comment