Tiba-Tiba Ada Pocong
"Saya nggak mau
tahu, pokoknya kalau hari ini nggak bisa bayar kontrakan silahkan pindah dari
sini!" teriak Bu Lani.
Aku meringis tak tahu
harus bicara apa lagi. Bagaimanapun Bu Lani sudah berbaik hati pada kami dengan
menunda pembayaran selama tiga bulan. Lagipula dia juga butuh uang untuk biaya
kuliah anak-anaknya.
"Iya, Bu"
sahutku kelu.
Tiba-tiba dari jauh
terdengar sepeda motor suamiku, Mas Arsep. Tumben jam segini dia sudah pulang.
Semenjak Virus Corona melanda biasanya Mas Arsep pulang tengah malam karena
sepi penumpang.
Tak lama Mas Arsep
sudah muncul di pagar rumah kami.
"Bu Lana!" Sapa
Mas Arsep.
"Maaf, Dek Arsep.
Saya butuh uang," keluh Bu Lani.
Tampaknya Mas Arsep
sudah paham. Dia merogoh saku dalam jaketnya lalu memberikannya pada Bu Lani.
"Maaf, ya Bu. Kami telat bayarnya!" katanya kemudian.
Bu Lana menghitung uang
itu. Lalu tersenyum dan pamit undur diri. "Nah, gitu dong. Saya sudah
menganggab kalian seperti keluarga sendiri. Tapi ya bagaimana lagi? Anak-anak
mau bayar kuliah," katanya. "Ya, sudah saya pamit ya, Dek Arsep. Neng
Ika." Bu Lana pun meninggalkan pelataran rumah kami.
Sekarang ganti aku yang
bertanya-tanya, dapat darimana Mas Arsep uang sebanyak itu. Tanpa sengaja aku
terus menatap Mas Arsep.
"Oh, Abang tadi
pinjam uang. "jelas Mas Arsep seperti mengerti kebingunganku.
Aku tersenyum.
"Alhamdulilah. Terimakasih, Mas!" Kataku.
"OEKK. OEKK!"
Terdengar suara Si Bungsu Sanin menangis. Usianya memang masih tiga bulan.
Ketika melewati pintu
kamar, aku merasa ada yang aneh dengan tengkukku. Seperti ada yang meniupnya.
Ada seseorang dibelakangku. Aku berhenti sejenak dan menoleh. Tapi tak ada
siapa-siapa.
Di keranjang, Sanin
menangis dengan kencang. Kuangkat Sanin dan mulai menimang-nimangnya.
Kudendangkan lagu faforit Sanin. Biasanya mulut Sanin akan berusaha bergumam
jika mendengarnya.
Aneh.Sanis tak mau diam.
Tangisannya kian kencang. Aku pun duduk dan berusaha menyusui Sanin. Gagal.
Sanin tak mau menyusu.
"Kenapa,
Nak?" Kutatap Sanin bingung. Aku baru sadar. Sanin menangis tanpa air
mata.
Aku langsung paham.
Sesuatu tak kasat mata sedang mengganggu Sanin. Kutaruh Sanin ke keranjang
kembali. Aku berwudhu dan mulai membacakan Al-Qur'an untuk Sanin. Tak lama
Sanin bisa tenang dan mau menyusu kembali.
Mas Arsep menghampiri
kami. "Sanin kenapa?" tanyanya.
Kuceritakan semua
padanya. Mendadak wajah Mas Arsep seputih kapas. Ah, dia memang menyayangi
kami. Selama ini dia tak pernah gengsi bekerja apa saja untuk mencukupi
kebutuhan keluarganya. Jadi wajar kalau dia sekhawatir itu.
"Bundaaaa!"
terdengar teriakan Saka dari kamarnya. Saka adalah anak laki-laki kami yang
kedua. Usianya delapan tahun.
Saat aku dan Mas Arsep
tiba di kamarnya, Saka menelangkupkan tangan ke muka dan berjongkok di sudut
ruangan. "Jangan mendekat!" katanya sambil menangis.
"Kamu kenapa,
Dik?" tanyaku bingung.
Nafas Saka
tersengal-sengal. Kupeluk dia dengan erat. Bisa kurasakan jantungnya berdegub
dengan kencang. Dia menangis. Sudah lama
Saka tak menangis.
Mas Arsep memberikan
botol minum pada Saka. Perlahan Saka mulai berhenti menangis dan tenang.
"Ada apa?"
tanyaku lagi.
"Ada pocong,
Bun!" Saka mulai bercerita. "Baunya anyir dan penuh darah"
lanjut Saka.
Aku dan Mas Arsep
saling pandang. Lima belas tahun kami tinggal disini, tak pernah ada kejadian
apapun. Kupejamkan mata, mencoba merasakan sesuatu. Ada apa? Kenapa baru
sekarang ada peristiwa seperti ini? Lalu aku teringat uang yang Mas Arsep
berikan untuk membayar kontrakan.
"Mas! Sebenarnya
uang tadi dari mana?" tanyaku pada Mas Arsep. Perasaanku tidak enak. Sepertinya
ini ada hubungannya dengan apa yang terjadi pada Sanin dan Saka.
"Sudah kubilang
aku pinjam, kan!" Mas Arsep tampak gugup. Lalu berlalu meninggalkan kami.
Aku tak pernah melihat
ia begini sebelumnya.Aku curiga. Diam-diam kuikuti Mas Arsep. Mas Arsep masuk
ke gudang kami. Hanya sebentar lalu keluar lagi dengan wajah pucat. Sesekali
dia menatap ke arah gudang.
Setelah Mas Arsep
pergi, aku ganti masuk ke dalam gudang. Kunyalakan lampu. Apa yang tadi dicari
Mas Arsep? Entah kenapa malam ini aku merasa bulu kudukku merinding sekali.
Beberapa kali mataku mengitari ruangan. Tapi sepi. Tak ada siapapun.
Lalu aku melihat sebuah
kardus di ujung ruangan. Ketika kubuka, tampak sebuah tas hitam wanita disana.
Penuh penasaran kubuka isi tas itu. Ya, ampun uang yang banyak sekali. Tapi
milik siapa? Aku rasa Mas Arsep telah berbohong kepadaku.
"Mas, ini tas
siapa?" Aku menunjukkan tas wanita itu pada Mas Arsep.
Mas Arsep tampak kaget.
Lalu mengambilnya dariku. "Ini... aku menemukannya di
jalan,"terangnya.
"Kenapa tidak
dikembalikan. Bukankah tadi ada KTPnya?"tanyaku lagi.
"Rumahnya jauh.
Lagipula orangnya sudah meninggal. Kecelakaan." lanjut Mas Arsep lagi.
"Apa?"
Sekarang aku tahu barang tak kasat mata apa yang mulai mengganggu kami. Bisa
jadi dia pemilik tas ini.
"Tapi dia mulai
mengganggu anak-anak kita. Mungkin tak
suka tasnya kau ambil!" seruku.
"Sebenarnya aku
juga bingung. Padahal tadi aku sudah mengambil beberapa untuk bayar kontrakan.
Tapi uangnya kembali utuh." cerita Mas Arsep.
Brakk! Terdengar ada
yang membanting pintu rumah kami. Kami berhambur ke ruang tamu. Pintu rumah
kami membuka dan menutup dengan sendirinya. Kulihat sekelebat bayangan putih
seperti pocong bergantungan di pintu. Menyusul bau anyir yang menusuk hidung.
Aku merasa perutku benar-benar mual. Aku berlari ke kamar mandi. Lalu muntah.
Kukuatkan diriku dan
mengambil air wudhu. Aku paham sesuatu yang tak kasat mata sedang mengganggu
kami. Jadi aku minta Saka juga berwudhu. Mas Arsep turut berwudhu. Kami shalat
berjamaah bersama.
Aroma ketela bakar
menyeruak ke dalam hidungku. Sanin menangis keras.
Semalaman kami membaca
Al-Qur'an. Sampai kurasa hawa rumah sudah normal kembali. Sanin sudah tenang.
Pintu rumah kami tertutup seperti semula. Aku pun menghela nafas lega.
"Besok aku kirim
lewat JNE saja ya, Pak. Tas itu harus dikembalikan." Kataku resah.
Mas Arsep diam saja.
Matanya nanar. Beberapa kali aku menghela nafas panjang. Tidak sabar menunggu
pagi.
@@@
Keesokan harinya, aku
memaketkan tas itu ke alamat yang tertera di KTP dalam tas. Asmanira Yuna. Jl.
Rinjani No.32.
“Huft ...!” Aku lega semua
sudah selesai.
”Alhamdulilah!” Aku
bersyukur, keluargaku akan damai kembali.
@@@
Sampai di rumah kulihat
Saka sedang menunduk mengamati sebuah kardus. “Apa itu Saka?” tanyaku sembari
menyentuh bahu Saka.
Saka menoleh. Bukan
wajah imut Saka yang kulihat tetapi wajah pucat pasi seorang perempuan. Aku
berjengit dan terlonjak ke belakang.
“Bunda kenapa?” suara
Saka.
Wajah pucat perempuan
itu menghilang. Itu benar-benar Saka. Aku terengah-engah. “Bunda tak
apa-apa.”kataku lega.
Ah, mungkinkah aku
mulai berhalusinasi. Aku menghampiri kardus yang tadi di buka Saka.
“Innalillah!” Pekikku seraya terduduk lemas. Mendadak kepalaku pusing. Air
mataku mengalir begitu saja. Kardus itu berisi tas yang tadi aku paketkan lewat
JNE. Bagaimana itu bisa terjadi?
“Bun!” seru Mas Arsep.
“Sebenarnya aku sudah membuangnya. Tapi tas itu selalu kembali lagi.” terang
Mas Arsep.
Kriiingg!
Tiba-tiba ponselku
berdering. Aku menatap layar di ponsel. Dari Rengganis, anak sulungku yang
sedang kuliah di Jogja. “ Halo!”sapaku
Hanya terdengar isakan.
“Tolong Rengganis, Bunda!”
“Kamu kenapa, Nak?” tanyaku.
“Sepertinya Rengganis
diikuti Pocong, Bun! Dimana-mana ada Pocong. Rengganis takut, Bun”
Aku mendekap mulut.
Bahkan Rengganis juga? Apa salahnya?
“HWAA!” Terdengar
pekikan Rengganis di seberang. Lalu panggilan terputus.
“Halo, Rengganis!”
teriakku putus asa.
“Apa yang terjadi
padamu, Nak?” Aku tergugu.
Mas Arsep memelukku erat.
BRAKK! Suara pintu kamar
Sanin dibanting.
“OEKK! OEKK!” Disusul
tangisan kencang Sanin.
@@@ --- END ---@@@
No comments:
Post a Comment