Fara memesan kopi hitam, tak seperti biasanya. Sementara Jalu justru memesan Lemon Tea. Mereka sedang duduk bersantai dengan Pak Anjar, Kepala Bagian Kemahasiswaan, di suatu kafe dekat Pasar Wilis.
Minggu depan mereka akan yudisium. Sebulan kemudian kontrak kerja mereka juga akan berakhir.
"Jadi, rencana kalian setelah ini apa? Bapak harap kalian tetap di kampus, sebentar lagi ada CPNS Karyawan, kalian juga bisa direkom untuk dapat beasiswa S2 Dikti," ucap Pak Anjar, memulai obrolan.
Jalu dan Fara saling menatap, berharap salah satu di antara mereka yang lebih dahulu menjawab.
"Saya insyaallah tetap di kampus pak," sahut Fara.
"Jalu?" tanya Pak Anjar.
"Saya ...," Jalu berpikir keras, berusaha menata kalimat sebaik mungkin.
"Saya sedang mengirimkan lamaran ke salah satu harian di Jakarta pak," lanjutnya.
"Oya, kamu yakin tidak ingin bekerja di kampus? Kamu tinggal lanjutkan pekerjaan yang sekarang, kalau daftar ke sana belum tentu diterima, kan?" sahut Pak Anjar.
Jalu hanya tersenyum.
"Butuh waktu kalau harus beradaptasi dengan staf baru, makanya kalau kalian masih berminat, akan sangat direkomendasikan menjadi karyawan tetap. Kalian juga berkesempatan menjadi dosen," tawar Pak Anjar.
Fara hanya mengangguk, sorot matanya dengan cermat memerhatikan ekspresi wajah Jalu.
"Terima kasih pak, senang sekali bisa belajar banyak selama ini, kerja paruh waktu di sela kuliah dan organisasi, tetapi saya sudah putuskan untuk hijrah ke ibukota," tegas Jalu.
Tak berselang lama, pramusaji mengantarkan tiga piring ayam rica-rica ke meja mereka.
"Ah ya sudah, makanan sudah datang, ayo kita makan dulu," ajak Pak Anjar.
Secara informal, makan siang kali ini semacam tanda perpisahan untuk Jalu. Sejak semester 3, Jalu dan Fara sudah bekerja paruh waktu, menjadi staf Pak Anjar, Kepala Bagian Kemahasiswaan.
###
"Kamu gimana sih, gak habis pikir deh. Pak Anjar udah oke banget buat nawarin kita tetep kerja disitu, bahkan jadi pegawai tetap. Kok kekeh nolak? Cari kerja itu sulit tauk," protes Fara pada Jalu.
Mereka sedang duduk berdua di teras kos-kosan Fara.
"Aku pengen lanjutin jadi wartawan, lama pengen hijrah ke ibukota," tegas Jalu.
"Yakin? Emang ibu kamu kasih restu?"
"Ha?"
Jalu terdiam. Memang, sampai sekarang Ibunya belum merestuinya untuk bekerja di ibukota, apalagi jadi wartawan. Ibunya tak terlalu suka dengan pekerjaan yang menurutnya penuh resiko itu.
"Aku heran deh sama kamu Jal, apa sih yang ada dalam pikiranmu..."
"Aku cuma bosen kerja dalam ruangan," sela Jalu.
"Ha? Harusnya selama ini kamu dah bisa adaptasi dong!"
"Harusnya!"
"Ya harusnya!"
Jalu memandang ke arah Fara, sedikit menggeser duduknya agar lebih dekat.
"Udah malem, aku mau balik," bisiknya.
"Heh kita belum selesai," gerutu Fara.
"Apanya yang belum selesai?"
Fara tercekat. Spontan saja kalimat terakhir itu keluar dari mulutnya.
"Eh... ehm... enggak. Ya udah pulang sana, aku juga udah ngantuk. Bye bye."
###
Perkenalan Jalu dan Fara terjadi sejak semester pertama. Mereka teman satu kelas, jurusan Ilmu Komunikasi.
Mereka berdua sama-sama diajukan menjadi ketua kelas, sebab dari data yang ada keduanya pernah menjadi ketua OSIS saat sekolah.
Jalu menang dalam voting. Fara akhirnya jadi wakil ketua. Mereka sering intens berkomunikasi.
Masuk semester dua, mereka pisah kelas. Baru berjumpa satu kelas lagi pada semester tiga.
Saat Kemahasiswaan kampus membuka pendaftaran untuk staf kontrak, Jalu dan Fara mendaftar. Dari 76 pendaftar, hanya mereka berdua yang terpilih. Keakraban itu pun berlanjut.
Jalu menjadi staff urusan beasiswa dan Fara jadi staff urusan kemahasiswaan. Pekerjaan mereka berdua saling terkait.
Pada akhir pekan mereka juga kerap ditugaskan bepergian keluar kota untuk survey, terutama pada musim pendaftaran mahasiswa baru. Survey domisili para calon penerima beasiswa.
Awalnya, urusan beasiswa dijadikan satu dengan kemahasiswaan. Namun karena banyaknya jenis beasiswa, dibuatkan sub bagian tersendiri. Meski Fara di sub bagian kemahasiswaan, ia juga ditugaskan untuk menghimpun data calon penerima mahasiswa. Baru nama-nama yang sudah fix dikirimkan ke Jalu.
Tugas Jalu menginput data dari Fara, membuat pengumuman penerima beasiswa, dan koordinasi dengan pihak Bank untuk pencairan dana.
Jalu dan Fara juga sering lembur sampai larut malam, biasanya ditemani Pak Tomo, security . Kadang juga Pak Hasan, jika shift mereka bergantian.
Mereka pun juga satu organisasi, di UKM Penelitian. Semua orang tahu jika ada Jalu, disitu kemungkinan juga ada Fara. Begitupun sebaliknya.
Namun, Jalu ingin pindah ke Ibukota. Ia ingin mencari pengalaman baru, meski ia sadar belum tentu direstui oleh sang Ibunda.
-00-
3 Bulan berlalu
Kursi Jalu digantikan Hamdi. Sudah dua bulan sejak penerimaan staf baru. Hamdi adalah teman seangkatannya, hanya saja beda jurusan.
Hari-hari yang sibuk menjelang penerimaan mahasiswa baru, apalagi ada empat jalur beasiswa yang secara khusus harus mereka tangani berdua.
Dari pembawaan, Hamdi lebih formal dari Jalu. Mungkin karena latar belakangnya anak pendidikan. Hanya saja, ia masih butuh adaptasi.
Fara sering melihat ada banyak pengumuman yang salah, mulai dari tanda bacanya, kalimatnya kurang bagus, hingga informasi yang tertukar dari beasiswa satu dan lainnya.
Tak mudah memulai bekerja dengan partner baru, Fara pun akhir-akhir ini merasa sangat lelah karena harus menjadi guide bagi rekan kerjanya itu.
"Mohon bantuannya ya," ucap Hamdi saat pamit pulang.
Tiba-tiba Fara terpikir untuk menghubungi Jalu. Dia hanya ingin ngobrol, itu saja. Namun, smsnya tak juga dibalas.
Facebooknya juga sudah seminggu terakhir tak dibuka.
Fara menyeduh kopi di pantri, lalu berdiri di samping jendela. Dari dalam ruangan, terlihat anak-anak UKM Sepak bola sedang berlatih.
Ia tak punya alasan untuk pulang cepat seperti sebelumnya, karena sekarang dia sudah kerja full time di tempat itu. Tak ada tugas kuliah yang harus ia selesaikan.
Ia mengambil ponsel, menelepon nomor Jalu, ternyata nomornya tak aktif.
"Kemana sih anak itu," keluhnya.
B E R S A M B U N G
Bagian 1 bisa dibaca DISINI (klik)
No comments:
Post a Comment