Apa yang banyak orang pikiran ketika begabung FLP Blitar? Pertama, tentu untuk belajar menulis. Kedua, untuk mencari teman dengan minat dan passion yang sama tentang kepenulisan.
Saya, sejak awal kembali ke FLP Blitar, lebih berorientasi pada tujuan kedua itu. Tentu sangat menarik, sekaligus membahagiakan, punya suatu forum yang mempertemukan orang dengan minat dan gairah yang sama terkait dunia kepenulisan.
Suatu forum yang poin perbincangannya sama-sama dipahami dan dimengerti. Suatu hiburan akhir pekan yang produktif.
Namun, kira-kira pertengahan 2015, saya mulai kenal dengan dua pustakawan yang sering bercerita tentang Bung Karno dan sekaligus menanyakan tentang komunitas apa yang saya ikuti.
Pak Purwodarsono misalnya, bertanya banyak hal tentang komunitas menulis dan secara tak langsung saya memperkenalkan FLP Blitar. Itu terjadi, kalau tak salah ingat sekitar awal 2016.
Di ruang koleksi khusus Bung Karno, saat masih di lantai atas, yang sering saya temui adalah Pak Budi Kastowo. Mereka berdualah pustakawan yang kadang-kadang duduk satu forum bersama saat kami mendiskusikan tentang kiprah dan pemikiran Bung Karno.
Lalu, ruangan lantai atas itu menjadi tempat berkumpul rutin FLP Blitar. Sejak lama, pustakawan memang ingin ada suatu komunitas, yang pure dari masyarakat dan aktif berkegiatan di sana.
Memang, sudah ada FKPA (Forum Komunitas Pembaca Aktif), namun itu forum dari internal perpustakaan, bukan atas inisiatif masyarakat dari luar.
Kadang-kadang, saya juga sering "dipasrahi" sejumlah undangan, saat dulu Perpus Bung Karno beberapa kali mengadakan seminar akbar yang mengundang 1.000 orang.
"Tolong bantu carikan 50 peserta dari unsur penulis dan pegiat literasi," pesan Pak Budi.
Ya, begitu kira-kira undangan itu saya sebarkan saja ke semua anggota FLP Blitar tanpa terkeculi plus teman-teman dari LPM atau komunitas lain.
Hal itu tidak sekali dua kali, namun beberapa kali. Terakhir, saat pelatihan menulis travel note kemaren. Ini bukan previlage, namun anggota FLP Blitar yang hadir memang punya kualifikasi untuk menghasilkan karya pasca pelatihan.
Itu terbukti, meski ada satu orang yang tidak mengirim tanpa alasan yang jelas. Padahal, harusnya bisa full perfect.
Ternyata program-program lama itu berubah. Kini program lebih diorientasikan pada pelatihan-pelatihan dalam banyak bidang, karena berubahnya konsep perpustakaan berbasis inklusi sosial.
2018, formasi pustakawan diperkuat oleh Mbah Gudel (Bambang In Mardiono), sosok sepuh legendaris yang menjadi "juru kunci" Istana Gebang.
Kami kemudian membuat Komunitas Malas Baca yang kemudian menjadi Komunitas Muara Baca. Diresmikan 8 Juni 2018 di rumah Pak Budi Kastowo sekaligus buka puasa bersama.
Sejak aktif di Perpus Bung Karno, saya pernah diundang menjadi pembicara mewakili pembaca bersama dua Kepala Dinas. Juga diminta menulis untuk Majalah Perpustakaan.
Kini, intensitas keaktifan saya memang berkurang. Sebenarnya karena harus wira wiri keluar kota. Namun suasana pandemi toh membuat saya tetap berada di Blitar sampai sejauh ini.
Namun sebagai sebuah komunitas, perlu adanya regenerasi. Artinya, jika memang nanti ada undangan jadi narasumber, diminta menulis dan komunikasi lainnya, harus berganti orang. Bukan one man show.
Memang membanggakan sekaligus enak juga sih terus dielu-elukan bahkan mendapatkan panggung terbuka mewakili komunitas. Namun komunitas kan banyak orangnya. Mereka yang paham arti kaderisasi pasti akan malu jika bertahun-tahun terus manggung sendiri. Menikmati posisi PeWe.
Merambah ke KPU Kota Blitar
Saya tidak pernah minta. Jujur. Tiba-tiba ketua KPU Kota Blitar menghubungi dan mengajak ngopi di De Classe dan Gelato.
"Saya berangan-angan KPU itu punya buku," kata Pak Choirul Umum, ketua KPU.
Ya, tetapi saya perlu mengajak tim. Entah kebetulan atau bagaimana, salah satu komisioner adalah mas Rangga Bisma Aditya.
Kalian ingat, saat FLP Blitar mendelegasikan peserta pelatihan menulis Balai Bahasa Jawa Timur di Kebun Kopi Karanganyar. Mas Rangga lah yang menghubungi dan meminta saya mengirimkan 5 orang.
Tetapi, ternyata ada 13 anggota FLP Blitar yang berminat ikut. Saya WA beliau, dan 13 nama itu dimasukkan semua ke dalam daftar list peserta. Saat itu, mas Rangga belum menjadi komisioner KPU.
Begitupun saat ada kunjungan Rumah Pintar Pemilu. FLP Blitar dapat undangan khusus. Ya, dan dari semua undangan, delegasi dari FLP Blitar paling banyak. Ini sangat menghebohkan.
Dan akhirnya, FLP Blitar mengerjakan project buku sejarah Pemilu di Kota Blitar.
Lanjut ke Perpus Kota dan AsaFm
Dan ternyata, teman-teman juga mulai lihai menjalin koneksi. Misalnya, saya ingat ketika Lulu bertanya soal bagaimana harusnya menjalin relasi dengan Dinas Perpustakaan Kota Blitar. Luluk sering dipasrahi surat pendelegasian.
Memang semua sudah diatur oleh Tuhan, di dalam Perpustakaan itu ada Bu Anggun. Beliau pernah ikut pertemuan FLP Blitar, saat dulu masih bertugas (kalau tidak keliru) di Pemkot.
Sekarang, FLP Blitar punya relasi yang sangat baik dengan Dinas Perpustakaan kota. Mungkin bisa dibilang Luluk lah yang awal membukanya, baru gayung bersambut hingga sekarang.
Lewat Bu Anggun juga, kemungkinan FLP Blitar juga dapat jadwal siaran di radio AsaFm. Ayahnya adalah penyiar di sana, sekaligus pembina program karena kiprah panjang beliau di dunia pe-radio-an. Eh.
Sepertinya Mbak Imrok lah yang awal berkomunikasi soal program ini, hingga sekarang. Lalu, direspon oleh kepemimpinan Pak Hendra dengan sangat baik.
Whats next?
Jadi kemana lagi? Sebagai komunitas, FLP Blitar sudah sangat lumayan. Meski belum sempurna.
Saat kita dipercaya oleh institusi lain, inginnya menyajikan yang terbaik. Masih ingat bagaimana kita memulai agenda parade puisi ala kadarnya sampai akhirnya menjadi kebiasaan.
Atau saat kita serius membuat draft pertanyaan siaran agar menghasilkan jawaban-jawaban yang maksimal.
Kita selalu berharap bisa memberikan yang terbaik semampu yang bisa kita lakukan.
Itu berarti, kita semua yang tergabung di FLP Blitar adalah "marketing tak langsung". Saya bahkan tak menduga kalau komunitas yang mulanya untuk mengisi waktu luang ini ternyata dipercaya banyak orang.
Ternyata bukan ilmu menulis yang paling banyak saya dapatkan saat di FLP Blitar, namun "ilmu marketing". Namun ibarat sebuah produk, kita memang harus punya nilai jual yang tinggi.
Bayangkan saja, mana mungkin kita diminati kalau produknya tak menarik? Tetapi jangan bangga dulu ya, karena di Blitar ini memang belum ada komunitas kepenulisan yang terbuka, selain FLP Blitar.
Kalau ada yang lebih baik, lebih profesional dari FLP Blitar, ya pasti mereka yang dapat ruang. Jangan lekas jumawa, kita masih harus terus mengasah kualitas individu atau komunitas lewat program-program.
Ya, sebagaimana slogan FLP : Berbakti, Berkarya, Berarti. Kita berikan apa yang kita punya, karena toh nantinya juga akan kembali ke kita.
Terima kasih untuk waktu-waktu yang penuh manfaat. Sementara saya coba jalin relasi di Perpustakaan Kabupaten, dan mungkin kedepan ke Perpustakaan-perpustakaan desa. Ya kan?
Blitar, 24 Juni 2021
Ahmad Fahrizal Aziz
No comments:
Post a Comment