*Melawan Diri*
_Oleh : Ninna Tiska_
Aku dengan penuh keraguan menghampiri pelatihku yang sedang memberikan nasihat dan saran kepada anak didiknya.
“Mas, haruskah aku ikut ujian kenaikan besok?”
Mas Awar, pria berusia kira-kira akhir dua puluhan itu, mengalihkan perhatiannya kepadaku. Ia menatapku dan berkata, “Tentu saja. Ikut saja tidak apa-apa … ”
“Tapi, Mas … aku kan baru ikut latihan selama sebulan ini … ” potongku, dengan khawatir.
Beberapa anak yang sedang dilatih Mas Awar sampai mengalihkan perhatian mereka karena ketidak sopananku.
“Tidak apa-apa,” tegas Mas Awar, ”Nur dan Andini juga baru berlatih beberapa bulan kok.” Pelatih muda itu tersenyum menenangkan. Ia lalu melambai kepada dua orang gadis yang sedang berlatih kuda-kuda.
Dua orang gadis, Nur dan Andini, menghampiri kami. Mereka tersenyum kepadaku.
Sepertinya mereka juga mendengar omonganku tadi nih, pikirku khawatir.
“Nggak papa, kok,” kata gadis berkuncir kuda, Ana. “Aku dan Dini juga baru berlatih dua bulan ini.”
“Iya, bahkan kami baru belajar kuda-kuda minggu kemarin,” tambah Andini, mengangguk menyakinkan.
“Oke, dengarkan,” desak Mas Awar. “Yang harus kalian lakukan adalah fokus, konsentrasi dan yakin. Percaya pada diri, pasti bisa.”
Aku masih menatapnya ragu-ragu.
Tapi, ini kan bukan kenaikan tingkat biasa, pikirku resah.
“Nah, kalian berlatihlah bertiga. Ingat, kalian harus yakin 100%. Fokus. Abaikan yang lainnya.” Sang pelatih menepukkan tangan dengan semangat dan tersenyum menghampiri anak-anak lain yang sedang berlatih kuda-kuda.
Tapi, ketakutan dan keraguanku masih menyelimuti benakku. Aku menatap kedua rekan senasibku. “Bagaimana kalau besok bajanya nggak pecah?” tanyaku, khawatir.
Nur dan Andini malah tertawa kecil.
“Yaa … nggak papa to. Kan kita memang belum waktunya naik tingkat,” ujar Nur dengan santai.
“Iya, Ka. Tapi, kalau bisa pecah ya _alamdulillah_, kita nggak perlu ikut latihan dasar lagi,” Dini juga tampak sama santainya dengan Nur.
“Kenapa? Kalian takut po?”
Sebuah suara asing menyapa kami.
Aku menoleh dan bertatapan dengan seorang pria paruh baya berbaju hitam dan celana silat hitam. Pak Guruh, guru besar Persaudaraan Silat Kilat Petir.
Beliau tersenyum kepada kami, seperti tersenyum kepada anak-anaknya yang akan berangkat ujian masuk sekolah.
***
Aku menghembuskan napasku.
“Ika?” panggil Andini yang duduk bersila disebelahku. Aku menoleh, menatap seringai jahil diwajahnya. “Masih takut po?”
Aku tersenyum dan menggeleng.
Aku memfokuskan pandanganku kedepan. Seorang pemuda berseragam hitam sepertiku sedang memasang kuda-kuda. Gerakan tangannya yang mengayun cepat menghantam sebuah baja melintang di depannya.
_Taaanggg …_
Terdengar suara potongan baja yang menghantam lantai keras balai desa.
Fokus, Ka … Tenang dan konsentrasi. Ingat, nasihat Pak Guruh …
***
Aku tidak lagi bisa melihat jelas teman-temanku yang berdiri dipinggir arena. Mereka berubah menjadi gambaran-gambaran kabur. Bahkan suara-suara yang menyemangatiku sebelumnya juga tak dengar.
Aku hanya melihat jelas targetku. Terpampang ditengah jalanku. Sebilah baja kokoh tak tergoyah. Aku memfokuskan seluruh indraku dan semua saat itu hanya satu tujuanku.
Dan aku melihatnya … sebuah jalur cahaya samar … membentuk sebuah retakan ditengah baja yang kokoh…
_Taaaangg …._
Sebuah suara familiar menyusup gendang telingaku.
“Lepaskan …”
Aku mendengar suara pelatihku dan buru-buru menghembuskan napas yang kutahan.
Aku bisa melihat jelas senyum bangga pelatih dan guruku dan dengan masih diselimuti rasa tak percaya serta takjub aku memberikan salam hormatku kepadanya.
No comments:
Post a Comment