Bubur Ayam
Arya
Hariyani
"Sayang, cari
buryam yuuk!" ajak suamiku ketika mobil mulai memasuki jalan
perkotaan.
Jam digital di
speedometer masih menampilkan angka 06.00.
Matahari masih nampak memicingkan matanya yang sayu. Malas-malasan
bangun dari tidurnya. Mungkin masih kedinginan sehingga lebih nyaman
bersembunyi di balik awan tebal. Awan pun tak mau beranjak dari posisi nyaman.
Hanya sesekali beringsut.
Karena hari ini hari
Minggu yang nota bene hari libur sekolah dan pegawai instansi pemerintah,
jalanan tak seramai biasanya. Saat hari
sibuk, anak-anak sekolah saling
mendahului karena takut terlambat. Tidak ada yang berjalan santai. Semua serba
terburu-buru. Apa sebenarnya yang diburu? Waktu? Waktu berjalan sesuai dengan
detak detiknya. Selalu setia dan konsisten. Tak perlu diburu. Yang perlu
disandarkan adalah kemalasan dan ketidakdisiplinan.
"Apa itu,
Mas?"
"Makanan, Sayang,
bubur ayam."
Baru kali ini aku
mendengar nama makanan ini. Selama ini aku hanya mengenal bubur kacang ijo,
bubur merah, bubur tahu kuning, dan bubur sumsum. Yang aku suka adalah bubur
dengan cita rasa manis. Bubur tahu kuning biasanya hanya dimakan oleh anak kecil
atau untuk menyuapi bayi karena teksturnya yang lembek.
Bubur ayam? Aku belum
bisa membayangkan bagaimana penyajian dan rasanya. Pingin? Sama sekali belum
ada keinginan menyantap karena lidahku belum bersahabat. Bagaimana bersahabat jika mengenal saja belum.
Maklumlah, suamiku
orang Jakarta. Apa yang disukai suamiku aku harus mengetahuinya. Aku mencoba menelusuri informasi dari google tentang menu makanan yang ingin
kukenal ini.
Buryam adalah makanan
favorit dan khas terhidang saat sarapan. Karena enak terhidang saat panas, cocok juga
disantap kala hawa dingin. Ciri khas buryam adalah taburan ayam suwir atau
irisan ayam kecil-kecil. Ada beberapa penyedap di atasnya yaitu taburan daun
bawang dan daun seledri, kacang kedelai goreng, bawang goreng, dan ditambah
kerupukudang kecil. Namun, bermacam-macam pula selera menyantapnya. Ada
yang dengan kuah kuning, ada pula yang tanpa kuah. Bagaimana dengan di Kota Blitar ini? Adakah
yang menjualnya?
Mobil berjalan pelan.
Mataku terus mencermati kiri kanan badan jalan jika ada warung atau pedagang
kaki lima yang memajang tulisan nama masakan kuliner itu. Nah, itu dia di kiri jalan. Batinku.
“Berhenti, Mas. Kelewat
sedikit. Tadi aku baca ada yang jual Bubur Ayam.” Aku meminta Mas Joedi
menghentikan mobil. Dilihat dari layar
monitor mobil , belakang mobil aman. Mas Joedi memundurkan mobil
sedikit.
Kami turun dari mobil.
Melihat bannernya, cukup menarik juga. Menggiurkan untuk segera mencicipinya.
Aku menelan air liur.
Meski masih pagi, sudah
ada beberapa orang yang makan di situ. Ada juga jasa pengantar makanan online yang nongkrong di dekat resto. Kami masuk mencari tempat duduk. Aku melirik
semangkok buryam yang disantap lelaki paruh baya di
meja sebelahku. Aku piker satu
porsi sudah cukup kenyang untuk sarapan. Warna hijau daun seledri dan daun
bawang menambah selera makanku.
Namun, ketika melihat
ada kuah warna kekuningan, jadi tak ada selera untuk mencobanya. Rasa eneg melihatnya. Bayanganku pada sesuatu
yang menjijikkan. Warna kuning pada makanan yang lembek mengingatkanku pada orang
mabuk dalam perjalanan Perutku jadi mual.
"Gak pakai kuah, gak
pakai kacang ya, kasi kecap asin aja." Itu request dari suami. Waduh, perutku terasa tambah seperti
diaduk-aduk mendengarnya. Bagaimana rasanya? Makan bubur cuma pakai kecap asin. Kalau di rumah, bubur itu pasti
sudah aku kasi gula merah. Manis dan sedap. Batinku.
Untung saja warung ini
masih menyediakan berbagai menu. Ada mi ayam, mi pangsit, bubur kacang hijau, bubur ketan hitam, dan pempek. Aku bisa
memilih yang lain. Inginnya menyamai selera suamiku, tetapi selera hilang
karena bayanganku sendiri.
"Saya minta bubur
ketan hitam campur kacang hijau saja, ya, Mbak."
"Iya, Bu."
Dengan cekatan
pramusaji itu menyiapkan pesanan. Menyiapkan mangkuk, menuang bubur beras putih
yang masih panas, menaburi dengan ayam suwir, sejumput irisan daun bawang dan
seledri, tak lupa bawang merah goreng, dan si kriuk kerupuk udang kecil-kecil.
Begitulah cara penyajian bubur ayam.
"Kecap asinnya
ambil sendiri sesuai selera, ya, Pak!" pesan pramusaji itu sambil
meletakkan semangkok bubur ayam di depan suamiku.
Sebenarnya menu bubur
ayam kurang ideal untuk sarapan. Kandungan nutrisi di dalamnya hanya kalori dan
karbohidrat. Sedangkan yang paling banyak dibutuhkan saat sarapan adalah
protein. Namun, tak perlu khawatir. Dengan tambahan telur rebus bertambah
pulalah proteinnya. Lalu makan buah sesudahnya, lengkaplah kandungan nutrisinya.
Suamiku membuka tempat telur pindang coklat diletakkan.
Diambilnya sebutir lalu ditaruhlah di
mangkoknya. Dia mengambil sebotol kecap asin lalu dicipratkan
secara merata di atas buburnya. Bagaimana rasanya, ya? Aku masih heran
dibuatnya.
Melihat cara makannya
yang begitu lahap dan tampak nikmat, air liurku mengucur. Namun, saat melihat
nasi lembek itu, hiii .. kerongkonganku seperti tersumbat. Ah, kalau aku terus melihatnya, bisa-bisa aku
tak jadi makan karena perutku sudah terasa penuh.
"Mari, Buk. Bubur
cangjo ketan hitamnya." Aku mengucapkan terima kasih dan segera kusendok
bubur manis yang legit ini. Hmmm , harum daun pandan menyeruak. Segera
kuseruput. Memang benar, mengundang selera.
Sejenak kulupakan bubur
ayam suami. Aku fokus pada pilihanku.
Memang soal nikmat hanyalah soal selera. Selera hanya bisa timbul karena biasa.
Aku yang belum pernah mencicipi bubur ayam maka aku tak biasa. Andai aku sudah
terbiasa, tentu kenikmatan makan bubur ayam akan kucapai.
"Enak, Mas?"
Iseng saja kutamyakan itu di sela-sela makanku meski aku sudah tahu jawabannya.
"Lumayan, ala
Jakarta punya," komentarnya sambil mendecakkan lidah. "Mau
nyoba?" tawarnya sambil menyodorkan sesendok buryam itu. Aku segera
menutup mulutku karena perutku seperti diaduk-aduk.
Rupanya suamiku belum
paham juga dengan kondisiku. Dia pikir aku hanya tidak berani mencicipi padahal
perut ini melilit karena mual.
“Nggak, Mas. Bubur
manisku juga belum habis. Takutnya kekenyangan
nanti.”
“Khan , Cuma sedikit.”
Masih juga dia menyodorkan sesendok..
“Sudah, Mas saja. aku
belum ingin.” Aku tetap menolaknya.
***
Sambil
menanti suamiku menghabiskan bubur ayamnya, aku berdiri mendekat ke pemilik
rumah makan. Pemilik rumah makan adalah satu keluarga muda. Sekira berusia
35-an. Suami istri yang fokus menjalankan bisnis kuliner . Semua menu itu mereka
masak sendiri. bahkan berdua meladeni
pembeli. Kerja sama yang apik dan
kompak. Semua ini tentu butuh proses. Tak semudah membalikkan telapak tangan. Dengan rasa ingin tahu yang tinggi aku
menanyai.
“Mbak,
sudah lama, ya, buka kuliner ini?”
“Belum
Bu. Kami mengawali usaha kami dari
kecil-kecilan, Bu. Berjualan keliling dari tahun 2009-2014, kaki lima 2014-2017 yang mangkal di depan
SMPN 1."
"Delapan tahun berjualan
bubur ayam, berarti sudah punya banyak
pelanggan, ya , Mbak."
"Alhamdulillah, Bu."
Sambil mengemas kerupuk untuk pesanan buryam pesan antar atau pesan
ambil.
"Setiap ada usaha pasti Allah memberi
jalan."
"Betul, Bu."
"Lalu, kapan mulai buka rumah makan ini?"
"Awal tahun 2018- sekarang, alhamdulillah, punya tempat
sendiri, Bu."
Rumah hadiah dari orang tua di
Jalan Melati 34 itulah yang akhirnya bisa digunakan untuk membuka rumah makan
sendiri. Di rumah makan inilah bisa memyediakan beraneka macam menu. Rumah makannyavdiberi nama Bubur Arya. Ini
artinya mempunyai ciri khas aneka makanan berbentuk bubur yaitu bubur ayam,
bubur ketan hitam, dan bubur kacang hijau. Namun, selain itu menyediakan juga
mi ayam, mi pangsit, ada juga pempek.
Beraneka minuman juga disediakan. Dari minuman dingin,
hangat, maupun panas. Jus bermacam-macam buah seperti alpukat, jeruk, jambu
merah, apel, anggur, nanas, dan lain-lain.
Aneka milkshake juga
disediakan. Seperti cappuccino, green
tea, strowberry, dan coklat. Tinggal pilih sesuai selera di lidah. Harganya
pun pas di kantong remaja sampai dewasa.
Pelayanan bisa makan di
tempat, pesan ambil, dan pesan antar menggunanakan jasa Grab food. Dengan
layanan buka mulai pukul 07.00 s.d.
20.00 sehngga sangatlah fleksibel sesuai
kebutuhan karena kesibukan orang yang berbeda-beda.
Melihat perkembangan aneka
menu, tentulah omzetnya juga mengalami perkembangan.
"Wah, berapa ya,
Bu?" masih agak bingung menjawab ketika aku menamyakan omzet per bulan.
"Yang jelas ada kenaikan, Bu. Naik drastis ketika sudah buka rumah makan
ini. Dulunya sekitar 1,5 juta per bulan, kini 15 juta per bulan.
"Alhamdulillah, semoga
semakin berkembang, ya. Nantinya bisa buka cabang."
"Semoga, Bu. Insya Allah
nanti kalau sudah mendapatkan orang kepercayaan akan membuka cabang."
"Sayang, udah?"
"Ya, Mas."
Kami membayar makanan yang
sudah kami nikmati untuk sarapan pagi ini. Suamiku sempat heran karena begitu
murah.
"Ya jelaslah, di Jakarta
memang tempat orang berduit, jadi mahal makanannya. Kami semua tertawa . Tawa yang bersahabat.
***
Biodata Penulis
Nama : Hariyani, M.Pd.
Alamat
:
Jalan Cilincing 28 Kel Bendo, Kec. Kepanjenkidul, Blitar
Penulis lahir di Blitar, 23 Desember
1968 lulusan S-2 Pendidikan Bahasa Indonesia UM. Kegiatannya menulis terus
berlanjut dengan senangnya mengikuti proyek-proyek nulis bareng. Buku-buku yang
telah terlahir di antaranya Dwilogi
Mentari senja (Mentari Senja di Balik Awan dan Lembayung Mentari Senja)
kumpulan cerpen Senyum terakhir. Selain itu, beberapa karyanya masuk
pada antologi Belajar dari pelajar, Naskah Pendek Kota Blitar, Sulam Rindu, Guru
Petualang. Bintang Kecil (Anakku Inspirasiku), Berumah dalam Sastra Tiga,
Meracik Asa, Cinta di Ujung Pena,
Takziah Juli untuk Sapardi, Taruntun, Temu, Sepintas Lalu, Simpang Maya, Fun Learning, Amazing Fables,
Thousand of Dream, Cerita Inspiratif, dan Hanya Satu Koma Nol. Prestasi
dalam kepenulisan, meraih Juara satu dengan cerpen berjudul Bulan di taman dalam kumpulan
cerpen a Thousand of Dream, Favorit kedua melalui cerpennya Kulabuhkan Cintaku dengan Bismillah dalam kumpulan cerpen temu, dan
Terbaik kedua dengan Nonfiksinya Sosok Berilmu yang rendah hati dalam
kumpulan My Favorite Teacher
No comments:
Post a Comment