Oleh: Dinantari S.
Speaker sudah dipasang dan darinya terdengar lantunan ayat suci murottal. Mungkin niatnya apa yang dilakukan hari ini tetap bernilai ibadah meski untuk kepentingan dunia dan semoga Allah meridhoi setiap pilihan warga desa. Satu persatu orang-orang diminta mengumpulkan undangan pencoblosan dan mulai diabsen. Dua perempuan di meja depan memanggil orang-orang sesuai antrian. “Sri Sumiatun!” seperti setengah berteriak, suara perempuan muda berjilbab putih segi empat itu khas dan menggaung jelas. Terdengar akrab. Suaranya berbaur dengan nuansa desa. Lalu seorang nenek yang bungkuk perlahan bangkit dari kursinya. “Mbok Tun,.. monggo, tapak asta riyen.” Perlahan sang nenek mendekat meja absensi dan memegang pulpen dengan tangan bergetar.
“Yoh, aku ra iso.”
“Oh,.. cap jempol mawon, Mbok. Mriki-mriki.”
Sosok yang Pupun kenal mengambil tangan kiri perempuan tua itu dan membantunya membubuhkan cap jempol denga tinta stempel dikertas yang tersedia. “Nah, sampun. Monggo pinarak riyen, Mbok. Mangke ditimbali maleh.” katanya mempersilahkan perempuan tua itu duduk kembali.
Selanjutnya nama salah satu tokoh desa dipanggil. “Monggo Pak Waton, absen riyen.” Pupun kenal laki-laki tegap memakai batik dan songkok itu. Beliau seorang guru. Sungguh tokoh masyarakat teladan, datang pagi menjadi contoh yang baik. Nama-nama kembali disebut hingga terdengar nama yang familiar.“Asti Ningsih.” Nama bibinya. Pupun tahu, sebentar lagi namanya akan disebut. Namun perkiraannya salah. Dua perempuan di dekat pintu itu tampak bingung bahkan saling bertatapan. Mencari panitia lain yang tak jauh dari mereka seolah membantu mengeja nama di kartu undangan itu. “Pupun Vahrayapalastri L.” Pupun sudah tahu, tak banyak yang bisa mengeja namanya. Ia merasa suara gadis berjilbab putih segi empat itu sama sekali berbeda dengan caranya menyebut nama-nama orang sebelum Pupun. Asing. Ragu-ragu. Tidak menunjukkan keakraban. Namanya memang sulit. Percampuran tradisi dari keluarga ayah yang memang bukan orang Indonesia.
Tak lama, tiga orang pertama masuk bilik suara. Menerima surat cinta warna-warni dari negara dan menggunakan hak pilih. Begitu seterusnya hingga tiba giliran Pupun. Dari tiga bilik, dirinyalah yang paling cepat mencoblos. Ia tak banyak berfikir untuk siapa yang ia pilih. Asal laki-laki dan nama partai yang ia dengar layak diperjuangkan. Selesai. Ia menandai kelingking kirinya dengan tinta stempel yang disediakan panitia di pintu keluar.
Sebagai orang yang hampir tak percaya dengan kebetulan, Pupun percaya apapun pilihannya jika Allah sudah berkehendak, tentulah orang itu yang akan jadi pemimpin. Pilihan dirinya, pilihan orang-orang saat ini, bukan perkara genting. Semua hanya perantara maunya Allah.
“Pun!”
DEG! Seseorang menyapanya. Pupun terhenyak lalu menoleh. Siapa kiranya? Siapa yang masih mengingatnya? Pupun tertegun.
“Eh?” Pupun tersenyum canggung.
“Wee... udah nyoblos?”
“Ah,.I-Iya. Kamu?”
“Masih antri. Kamu semangat banget ya, datang pagi.”
“Hehe.. I-iya aku malas antre. Panjang.” gadis itu agak gugup dan jadilah aneh cara bicaranya.
“He-em bener. Aku baru datang soalnya tadi masih masak buat sarapan. Kamu udah sarapan?”
“Belum.”
“Walah hehehe... semangat banget ya kamu.”
Keduanya melempar senyum. “Eh aku kesana dulu ya. Tadi aku denger nama suamiku dipanggil, aku berikutnya kayaknya.” Tiba-tiba terdengar sebuah nama lewat speaker. “Nur Laili!” “Tuh kan namaku. Duluan ya, kapan-kapan kita ngobrol lagi.” “Ah-iya iya.” keduanya melambai namun bedanya Pupun masih terdiam ditempatnya dan perempuan muda itu pergi menghambur ke kerumunan dan menggandeng seorang laki-laki.
“Siapa, Nduk?” tanya bibi yang baru keluar dari bilik suara. “Teman.” “Oh,.. temenmu TK atau SD ? Siapa namanya? Bulik kenal nggak?” “Nur. Bulik kenal?” bibinya hanya meringis menggeleng. “Orang selatan itu. Ndak kenal bulik.” meski menjawab namanya, Pupun jauh tak mengingat persis siapa perempuan itu. Nama itu keluar sekenanya setelah Pupun yang mendengar lewat speaker.
“Habis ini jadi ziarah?”
“Nggih, bulik.”
“Sarapan dulu ya.” kata bulik mengingatkan. Sebab kadang Pupun pernah sampai lama dan bahkan sembab matanya setiap pulang dari pusara kedua orang tuanya. Jelas siapa tak sedih, Pupun telah menjadi yatim piatu seketika saat usianya 6 tahun karena orangtuanya meninggal kecelakaan pesawat.
***
“Bulik...” Pupun mencoba membuka suara setelah diam yang lama. Pupun bertanya, disela-sela ia mencuci baju disamping bibi yang sibuk membersihkan kulit salak dari duri-duri halus dipermukaan kulitnya. Maklum, halaman belakang rumah Pupun ada tiga pohon salak yang sangat produktif di musim seperti ini. “Hmmm... apa?” Pupun menceritakan catatan singkatnya yang ia dapat dari pengajian ustadz sore lusa lalu, tentang Rasul dan nasionalismenya. “Menurut bulik, kenapa rasul itu bisa cinta dengan Mekkah? Selain karena kewajiban beliau sebagai rasul? Padahal kita tahu, banyak yang membenci rasul, bahkan ingin membunuh beliau.” Bulik mendelik lalu tertawa kecil pada Pupun. “Pertanyaanmu kok lucu sih, nduk. La yang sekolah itu lo kamu, masa nanya ke bulik perkara-perkara begitu.” “Jawab aja bulik, aku pengen tahu jawaban bulik.” bulik menghela nafas dan seolah berpikir keras.
“Hmm,.. Kalau menurut bulik, ya... karena Mekkah adalah rumahnya Rasul. Tempat kelahiran beliau. Selain itu Mekkah kan juga tempat banyak pristiwa penting yang terjadi. Disana ada kakbah, tempat ibadah haji sebagai rukun islam ke lima, ada gua hira, tempat nabi menerima wahyu pertama kali. Ya, masak beliau tidak cinta ?”
“Ehmm..” Pupun manggut-manggut. Sepertinya bulik mulai paham kemana arah pembicaraan ini. Bulik pernah mendengar beberapa kali dari nenek Pupun, ibunya. Pupun memang punya kenangan pahit selama sekolah disini. Menjadi keturunan Indonesia-Thailand bukan sebuah kebanggaan buatnya. Padahal matanya yang agak sipit dan kulit putihnya memang cantik, hanya kadang disalahpahami. Bulik yang bisa dibilang berusia agak muda, bisa mengerti, isu toleransi dan diskriminasi masih kental di sini. Bagi Pupun tentu akan sangat terasa, dia juga yatim piatu.
“Hei, Pun,.. kamu pasti tahu, mencintai negara adalah sebagian dari iman kan? Tempat anggonmu lahir, anggonmu iso ngomong lan liya-liyane. Itulah kenapa, bulik minta kamu pulang. Menjalankan kewajiban imanmu. Kamu lahir dan besar juga di sini kan?” Pupun hanya meringis lalu terdiam. Bulik tahu Pupun tidak seperti anak-anak di sini. Pupun sejak kecil sering jadi “kalahan” diantara teman-temannya, jarang bicara mengemukakan pendapat. Lebih lebih Pupun memang satu-satunya anak perempuan di area utara. Kawan sebayanya laki-laki semua dan mereka tidak mau mengajak Pupun bermain. Jadilah Pupun banyak kawan perempuan di area selatan saja. Tapi karena ia memutuskan belajar ke desa sebelah, menjauhlah gadis dengan segala kebisuan dari teman-temannya. Baik dari sisi utara maupun teman perempuannya di sisi selatan desa.
“Bulik cuma mau mengingatkan nduk, pulang itu hadir untuk orang yang kamu sayangi, yang merindukanmu. Nih contohnya bulik dan nenekmu.” Bulik mengusap-usap kepala Pupun. Pupun berontak. “Iih.. kotor lik,” bulik tertawa. Pupun mengira bulik akan menekankan pada, sebagai makhluk sosial kita butuh orang lain dan Pupun dituntut mau menerima setiap perbedaan dan menjadi sama.
“Desa ini tidak pernah salah sama kamu, nduk. Jangan salahkan semuanya. Selalu ada orang yang tidak suka dengan kita dimanapun berada. Entah pula berapa jumlahnya. Jadi,.. kenapa kamu harus memikirkannya disaat kamu punya orang yang sayang sama kamu. Iyo po ra ?” Pupun menggembangkan senyum. Lalu jeda beberapa waktu dan Pupun mulai mengerti maksud buliknya.
“Oh iya, aku ingat bulik! nama teman baikku di daerah selatan itu. Namanya Laili. Ehmm.. dia apa kabar ya sekarang? Apa dia sudah menikah?”
Sumber gambar: viralpublik.com
No comments:
Post a Comment