Suamiku seorang Introvert
Oleh Hariyani
“Sisi baik seseorang selalu ada.
Manfaatkan sebaik mungkin dari peluang yang diberikan agar menjalani hidup ini
dengan nyaman dan aman”
Rembang petang yang elok dengan panorama merah merona di
langit Barat. Kami, pemburu senja, sedang menatap cakrawala sembari menikmati
teh hangat yang baru kuhidangkan di meja teras rumah. Tak mau melewatkan momen yang hanya sekejap ini, aku berusaha
mengabadikan melalui kamera
gawaiku. Senyumku menghiasi. Kembali aku
duduk di sampingnya. Sambil menghirup teh hangat yang harumnya menggoda untuk
segera diseruput, aku mencoba menyampaikan keinginanku pada suamiku.
“Mas, bolehkah aku menuliskan perjalanan
cinta kita yang unik, tetapi penuh berkah ini?”
Aku meminta izin kepada suamiku.
Ingin sekali rasanya mengabadikan perjalanan hidup kami. Kisah cinta yang
terjadi selama satu bulan sampai ke jenjang pernikahan. Perasaan cinta yang begitu saja dihadirkan
pada usia senja kami. Usia yang sesaat lagi akan tenggelam seperti tenggelamnya
piringan matahari senja. Sesaat karena akan segera bersembunyi di balik awan pekat .
Ini adalah pernikahan kami yang
kedua. Segalanya yang tak pernah kuduga. Allah memberikan hadiah yang begitu
bermakna. Allah mempertemukan kami dalam satu peristiwa yang tak sengaja lewat
dunia maya. Allah mengambil suamiku ternyata untuk dikirimkan lagi
penggantinya. Sungguh, inilah rahasia Allah yang Maha Mengetahui akan kebutuhan
manusia.
Seperti mendapatkan angin segar,
aku mendengar jawabannya yang cukup singkat, tetapi meyakinkan.
“Boleh.” Sebenarnya hanya satu
kata. Namun, bisa mengirimkan energi yang kuat padaku. Artinya, aku mendapatkan jalan. Aku akan leluasa
bertanya apa pun yang berkaitan dengan peristiwa atau objek yang ingin aku deskripsikan dalam
ceritaku nanti. Aku tidak hanya ingin membuat cerita pendek, tetapi novel yang
akan aku garap. Yang penting mengantongi izin inilah yang menjadi cambuk bagiku
karena akan banyak mengupas tentang segala peristiwa yang kami alami.
“Terima kasih, ya, Mas.” Aku
mendekatinya, menyalami, dan mencium punggung tangannya. Suamiku mengelus
rambutku dan tersenyum.
***
Kebetulan sekali masa pandemi adalah masa pembelajaran jarak jauh secara
daring (dalam jaringan). Kesempatan lebih leluasa jika mengajar sambil menulis.
Kegiatan pembelajaran yang tidak menguras tenaga dan tidak membutuhkan banyak
waktu untuk di luar rumah akan sering membuatku duduk di depan laptop. Betapa
jenuhnya ketika tak boleh banyak keluar rumah, sementara sebelumnya, aku lebih
suka beraktivitas di luar rumah.
Memang benar, kejenuhan demi kejenuhan aku rasakan sejak
pandemi. Aku mencoba lagi untuk menghibur diri dengan bernyanyi di rumah.
Berkaraoke. Namun, usaha ini tak mampu mengusir kejenuhanku. Aku tak mungkin melakukannya
setiap hari. Bagaimana dengan tetangga-tetangga yang merasa terusik? Bagaimana
pula dengan suamiku? Akan menambah
bising tentunya. Kalau menyibukkan diri
dengan menulis, setiap saat aku akan bisa melakukannya sesuai dengan keinginan.
Kesempatan yang sangat luas harus segera kusambut. Sambil mengajar di depan
laptop, aku akan menulis. Keyakinanku sangat kuat bahwa aku bisa.
Ada sebuah ajakan dari seorang
teman untuk mengikuti tantangan menulis tanpa henti di grup FB Media Guru
Indonesia. Tantangan yang diberikan adalah tantangan 30 hari menulis, 60 hari
menulis, 90 hari menulis, dan seterusnya. Keyakinanku semakin kuat untuk
mewujudkan keinginanku menulis novel. Aku segera menuliskan bab-bab novelku, mulai dari awal perjumpaanku dengannya sampai
aku menikah resmi. Total ada 32 bab. Aku rasa sudah cukup kalau aku kembangkan
menjadi satu novel.
***
Suamiku adalah tipe introvert.
Suka keheningan. Tidak suka sering berkumpul dengan banyak orang karena
menurutnya hanya membuang energi. Kalau bepergian, sukanya hanya nonton film.
Kegiatan nonton film tidak perlu membutuhkan banyak omong. Penonton akan duduk
diam dan fokus pada film yang ditontonnya.
Kalau diajak bepergian ke luar rumah atau hanya sekedar omong-omong yang
tidak berguna, dia akan segera mengajak pulang. Sifatnya yang pendiam ini akan bisa aku
imbangi dengan menulis. Pikirku.
Menghadapi orang yang seperti ini
tidak bisa dipaksa untuk berbicara omong kosong. Pernah aku mencoba mengajaknya
berunding. Apa jawabannya? ‘Tauk’, ‘terserah’, ataupun ‘apa aja’. Jadi, percuma
juga mengajak bertukar pikiran atau ‘curhat’. Keadaan seperti ini membuat aku
akan nyaman-nyaman saja berlama-lama di depan laptop. Suamiku asik dengan
hobbinya, aku pun asik dengan hobi baruku.
Aku membuka kembali laman Facebookku.
Aku masih menyimpan semua chat dengannya. Setiap momen aku screenshoot dan aku simpan secara privasi. Aku temukan semua kenanganku tiga tahun yang
lalu. Aku baca-baca lagi untuk aku jadikan sumber inspirasi. Perjalanan cinta
di usia senja melalui chat WhatsApp mulai awal berjumpa sampai menikah resmi .
Menikah pertama setelah awal berjuma masih belum tercatat dan dilakukan di
Jakarta, di kota suamiku. Sedangkan menikah kedua adalah menikah resmi tercatat
yang dilaksanakan di kotaku.
Percakapan-percakapan itulah yang
menjadi sumber pengembangan peristiwa dalam novelku. Perjalanan yang tentu meghadirkan konflik
baik itu
lahir maupun batin. Tanpa ada
konflik, novel seakan tidak bisa menimbulkan gejolak batin pada pembacanya. Aku
menemukan beberapa konflik dari percakapan chat kami.
Suamiku suka dengan hobi baruku
ini karena dia merasa nyaman dengan ketenangan dan kesenangannya. Aku tidak
menciptakan kebisingan di rumah, tetapi
aku juga bisa sejalan dengannya yaitu nyaman dengan aktivitas di rumah aja
yaitu di depan laptopku dengan tenang. Aku tidak sering bepergian sehingga
kapan dia membutuhkan aku, aku akan segera dapat memenuhi keinginannya.
“Sayang, kok, gak pulang-pulang,
sih.” Protesnya ketika aku mempunyai banyak urusan di luar rumah.
“Maaf, Mas, tadi ada rapat
mendadak dan ada tugas yang harus diselesai kan hari ini juga . Jadi, aku
terlambat pulang. “
“Kasi tahu, dong, kalau mau
pulang telat.”
Begitulah keinginannya. Aku harus
menghabiskan waktu di rumah lebih banyak daripada di luar rumah. Dia memang
ingin perlu banyak perhatian. Kasih sayang yang aku berikan setiap saat yang
sangat dibutuhkan. Sering berada di dekatnya, inilah yang membuatnya bahagia.
Dengan begitu, berjam-jam aku
betah mengetik. Bahkan dari ujung pagi sampai ujung malam. Menulis bisa aku
lakukan sambil melakukan pekerjaan yang lain. Aku harus bisa menyelesaikan
novelku ini dalam waktu 40 hari maksimal. Kuyakinkan diriku dalam hati. Laptop
aku matikan ketika aku sudah merasakan panas di kursiku dan panas pula
laptopku. Aku harus bisa membuktikan bahwa aku bisa menulis. Meskipun tulisan
yang aku buat berawal dari masalah kehidupanku sendiri.
Alhamdulillah, aku berhasil
menerbitkan novel pertamaku. Yang sangat membuat aku terharu ketika aku
mandapatkan kesaksian dari beberapa teman. Mereka mengikuti ceritaku saat membacanya dari media sosial tempat aku
mengunggah tulisan sebagai syarat mengikuti tantangan. Tambahan lagi pengantar
yang diberikan oleh sahabatku semasa kuliah yang kini sudah menjadi dosen di
PTS Malang, sangat menghargai dan memotivasiku untuk terus berkarya. Novel pertamaku dibaca sekitar tigapuluhan
pembeli. Di antara mereka memberikan kesaksian yang membuatku terus ingin
melanjutkan kisahku.
[“Ya, Allah, seperti ini ya, perjalanan hidupmu. Air
mataku terus mengalir dalam setiap menekuri kata-katamu.”] Mbak As memberikan
jawaban ketika aku menanyakan bagaimana perasaanya setelah membaca movel
perdanaku. Di grup WhatsApp itu mereka saling memberikan kesaksian.
Kesan yang diberikan cukuplah
menjadi evaluasi bagiku. Aku sudah bisa menghadirkan hatiku ketika aku menulis.
Bagaimana tidak? Setiap aku menghadap
laptop, kurangkai kata-demi kata, aliran air mata ini juga terus terurai tiada
henti. Entah sampai habis berapa tissu aku gunakan untuk mengusapnya seakan tak
ada habisnya sampai beberapa hari.
***
Keinginanku untuk mempelajari
karakternya, membuat aku sering membaca
tipe-tipe orang yang introvert. Ada keunikan tersendiri ketika aku menemukan
jawaban yang memang sama dengan kepribadian pada diri suamiku. Misalnya saja,
seseorang yang introvert mempunyai kesenangan untuk menjadi kolektor.
Memang, keherananku semula pada
suamiku yang suka mengoleksi gambar-gambar alutsista, gambar kucing, mobil
balap di gawainya yang ratusan jumlahnya. Aku berpikir untuk apa gambar-gambar
itu dikoleksi? Bahkan mobil-mobilan dari besi dengan berbagai merk masih
disimpannya di box-box. Entah sejak kapan dia mengoleksinya.
Setelah aku mempelajari
karakternya dari google aku jadi mengerti. Suka kesendirian, sangat berdedikasi
menjalani kesukaannya, ide-ide kreatifnya muncul saat sendiri, tidak suka
berbasa-basi, dan masih banyak ciri pribadinya yang sangat menarik perhatianku
untuk aku jadikan objek tulisan.
Aku yakin aku akan bisa sukses
menulis novel tentang penemuan-penuam baruku yang notabene berbeda dengan suami
pertamaku ini. Aku akan menulis lagi novel lagi. Meskipun kadang-kadang dia
sangat sensitif ketika aku menanyakan suatu hal yang pribadi.
“Sayang, kenapa sih, kok,
tanyanya sampai ke itu-itu juga?”
“Mas, sebuah cerita akan seru
jika kita mampu menghadirkan konflik.”
“Aaahh, konflik, apa itu, masa
bodo dengan itu.”
Meski aku kecewa dengan
jawabannya, aku sudah mengantongi izin menulis perjalanan cinta kami. Aku tetap
berani menuliskannya. Mungkin hanya
karena sifatnya yang introvert ini yang membuatnya malas untuk banyak
bercerita. Dia akan membiarkan aku menemukan sendiri.
Aku terus berusaha mencari ke
sana ke mari. Ke adik-adiknya dan juga melalui media sosial. Adik-adikknya pun
memberikan jawaban yang begitu memuaskan. Aku mendapatkan informasi mengenai
tokoh yang menjadi pusat konflik. Dia lah tokog antagonis dengan berbagai
perilakunya.
Media sosial pun memberikan
informasi yang jelas mengenai tokoh antagonis itu dari unggahan-unggahannya.
Apa pun yang dikatakan berkaitan dengan peristiwa yang dialaminya dapat aku
jadikan bahan pengembangan ide.
Selain itu. aku mendapat jawaban pula ketika
aku dimintanya untuk mencari dokumen-dokumen yang dia butuhkan. Dokumen-dokumen
itu mampu berbicara padaku tentang konflik-konflik yang terjadi pada kisah kami.
Antara sedih dan bahagia. Sedih karena apa yang menjadi dugaanku benar dan senang
karena tanpa dokumen itu, aku tak akan menikah dengannya. Inilah jalan hidup
manusia yang tak pernah bisa direncanakan. Tak bisa ditebak. Aku sampaikan
temuanku, dia pun tak memprotesku. Diam dan mengangguk itu sudah menjadi
jawaban bagiku.
Suamiku, sumber inspirasiku.
Suamiku memberikan keleluasaan padaku untuk menemukan apa yang aku butuhkan. Terima
kasih untuk izin yang telah kau berikan.
***
Biodata Penulis
Nama : Hariyani,
M.Pd.
Alamat : Jalan Cilincing 28 Kel
Bendo, Kec. Kepanjenkidul, Blitar
Penulis
lahir di Blitar, 23 Desember 1968 lulusan S-2 Pendidikan Bahasa Indonesia UM.
Kegiatannya menulis terus berlanjut dengan senangnya mengikuti proyek-proyek
nulis bareng. Buku-buku yang telah terlahir di antaranya Dwilogi Mentari senja (Mentari Senja di Balik
Awan dan Lembayung Mentari Senja) kumpulan cerpen Senyum terakhir. Prestasi
dalam kepenulisan, meraih Juara satu dengan cerpen berjudul Bulan di taman
dalam kumpulan cerpen a Thousand of Dream, Favorit kedua melalui cerpennya Kulabuhkan Cintaku dengan Bismillah dalam kumpulan cerpen Temu, dan Terbaik kedua
dengan Nonfiksinya Sosok Berilmu yang rendah hati dalam kumpulan My Favorite
Teacher
Sertifikat atas nama Dra.
Hariyani, M.Pd.
Cover atas nama : Hariyani
No comments:
Post a Comment