Yang Tercinta : Bapak
Di Peristirahatan Abadi
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Bapak, kutulis surat ini ketika keelokan senja
mulai menyapa dan menumbuhkan rasa rinduku padamu karena kutahu hari ini genap
13 tahun engkau pergi dariku.
Bapak, selalu aku mohonkan dan harapkan agar
engkau tinggal di sebuah taman sebagaimana salah satu taman di surga dengan
dikelilingi harumnya bunga-bunga dan keelokan warnanya.
Dalam secarik kertas ini, aku tuangkan bagaimana
rasa rinduku tanpa kau di sisiku. Masih begitu jelas dalam ingatanku bagaimana
engkau akan meninggalkanku selamanya karena sudah tiba masa penjempuntanmu.
Masih terngiang di telingaku kata-kata itu.
“Aku mau pulang.” Suaramu menghujam sudut
kedalaman sukmaku, mengiris , mencacah kekukuhan hatiku.
Benarkah itu suatu tuntutanmu, Bapak? Tuntutan untuk sebuah
keikhlasan? Ataukah sekedar sebuah permintaan untuk mendapatkan perizinan?
Waktu
itu aku diam, Bapak. Kediaman yang tak bermakna. Kediaman yang mengembara tanpa
kejelasan. Kutelan air liurku meski
masih terasa tersekat di kerongkongan. Kutahan bibirku untuk tidak bergetar dan
kutahan pula nafasku yang makin memburu. Aku harus tenang meski ketenangan ini
kupaksakan, Bapak. Lalu Kupandangi
wajahmu lekat-lekat. Wajah dengan mata yang menerawang menembus
sudut langit-langit kamar. Lalu diam memejam.
Kugenggam
jari-jemarimu. Kusatukan sela-sela jariku dengan jari-jarimu. Kuarahkan pada
detak jantungku biar engkau merasa jantung ini masih berdenyut untukmu.
Perlahan
kutundukkan kepala, kuarahkan bibirku
pada cekungan matamu. Kuciumi sudut-sudut mata kiri dan kananmu. Kuciumi
kerut-merut di pipimu dan kubisikkan kata-kata.
“Pak,
ini rumah Bapak. Bapak mau pulang ke mana? Ke rumah Mbakyu Rini atau rumah
Mbakyu Narmi? Bapak kangen sama mereka?” sebenarnya kupaksakan mengeluarkan
kata-kata itu lalu kuusap rambutmu dengan jari-jari bergetar.
Kuamati
dalam-dalam. Bapak menyunggingkan senyum dari sudut-sudut bibirmu yang masih terhiasi
kumis kecil. Kumis itu ikut tertarik searah sudut bibirmu. Mancung hidungmu
masih tegak perkasa Bapak, dan ketebalan
alismu masih hitam garang.
Aku
lihat ada air menggenang di sudut matamu. Bapak menangis. Mengapa? Kucoba
mengeja maknanya. Haru, gelisah, ataukah kecewa? Tersinggungkah Bapak? Ataukah
karena kesalahanku memahami keinginanmu? Bapak, ceritalah Pak. Seperti dulu
ketika Bapak mendongengi aku tiap menjelang tidur. Si Kancil yang cerdik, Yuyu Kangkang, dan Joko
Kendil. Coba Bapak ingat-ingat, bagaimana aku terpingkal-pingkal mendengar
suara Bapak yang sengau ketika menirukan “Enthit”.(Nying nandur akngu yo wuk
yo.Me’en ngabeh yo wuk yo). Tapi tidak
terjadi saat itu karena Bapak hanya memejam dengan nafas mulai
terpatah-patah.
“Pak … istigfar ya,
astaghfirullahaladzim….astaghfirullahal adzim ….” kubantu Bapak mengucapkan
kalimat-kalimat thoyibah.
“Astaghfirullahaladzim…” Bapak menirukan
ucapanku. “Aku ingin pulang….ikhlaskan …” suaramu parau mengulangi keinginanmu. Jantungku serasa berhenti berdenyut. Bapak
menangis lagi. Aku bingung , Pak … apa yang harus kukatakan? Ikhlas?
“Pak,
kalau memang itu sudah keputusan Bapak, aku ikhlas Pak… aku izinkan Bapak
pulang. Tapi maafkan dulu semua salahku ya, Pak. Aku hanya bisa merawat Bapak
seperti ini. Aku minta maaf kalau cara aku merawat Bapak tidak sesuai dengan
keinginan Bapak. Kalau aku belum bisa membalas budi pada Bapak., ya Pak…
“Alhamdulillah, waktu itu aku
mendapatkan kekuatan. Kuciumi lagi pipimu,
Bapak. Lalu air mata kita bersatu.
Alhamdulillah , aku telah mendapatkan kekuatan untuk mengatakan itu.
Bapak
mengangguk lalu kembali bertanya.
“Iklhas?
Betul?” kenapa Bapak bertanya seperti
itu? Sementara aku sendiri tak tahu harus mengatakan apa? Akhirnya aku mendapat
kekuatan dari Allah.
“Ya,
Pak. Aku ikhlas.... “
Mendengar jawaban itu Bapak tidur lagi. Lelap
sekali. Nafasmu teratur rapi tak seperti nafasku yang semakin
menyesak ke dada ini. Nafas yang seakan lega mendengar jawaban yang
aku berikan. Nafas yang tak punya beban. Tapi aku tambah bingung melihat kondisi Bapak. Aku panggil dokter.
Semua dicek. Tekanan darah Bapak normal, gula darah Bapak juga normal. Akhirnya
dokter memasang infus. Sepergian dokter kami semua membaca surah yasin, memohon
maaf secara bergantian.
“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun….” Ucap Mbak
Parmi. Bapak pergi meninggalkan kami ketika aku akan mengganti infus yang sudah
tinggal sedikit.
Bapak.
selama sekian tahun engkau masih menggendongku. Sampai sat ini pun. Tidak
berarti menggendong secara fisik, tetapi gaji pensiun Bapak yang ikut
menggendong kebutuhanku. Engkau begitu ceria menghadapi hidup
meskipun hanya terbaring. Ketika aku menyanyi-nyanyi, engkau ikut aku menyanyi
lalu tertawa keras sekali. Masih terngiang pula di telingaku, engkau
bersholawat keras sekali. Masih terpampang jelas di pelupuk mataku, bagaimana Bapak
bangun malam-malam dan mau mandi. Bapak bilang kalau hari sudah pagi.
Kecerianmu,
lelucon-leluconmu yang selalu membawa suasana rumah kami jadi berwarna. Di saat
seperti ini aku ingat semua Bapak bagaimana tingkah laku Bapak yang suka
menggoda cucu-cucu Bapak. Yang menggendong cucu-cucu Bapak sambil nembang. Kata mbakyuku, Bapak dulu
semasa masih muda memang ikut menjadi anggota permainan sandiwara daerah. Kata
mbakyuku juga, permainan Bapak menyenangkan. Sehingga banyak penonton yang
mengidolakan. Suara Bapak juga bagus. Itu aku paham sekali. Karena Bapak suka
sekali memutar radio uyon-uyon. Bapak juga membeli
kaset-kaset drama tradisonal.
Bapak,
kini tak akan lagi kudengar bagaimana senda guraumu, bagaimana
lantunan-lantunan gending Jawamu ketika menina bobokkan
cucu-cucumu. Tak kudengar lagi bagaimana suara Bapak yang lantang ketika
mengikuti kelompok yasin. Bapak, kuiringi kepergianmu dengan senyum pula,
senyum keikhlasan.
Bapak,
tugasmu sudah selesai. Sudah berhasil menjadikanku seorang guru. Berhasil
memompa semangatku untuk menghadapi hidup yang demikian pelik. Berhasil
memberikan teladan untuk selalu ceria menghadapi segala permasalahan. Bapak,
air mataku ini adalah air mata bahagia. Air mata syukur karena telah berhasil
mewujudkan keinginan Bapak. Aku tahu keinginanmu itu karena Bapak sebagai
pesuruh SD selalu bersamaan dengan guru-guru. Tentu engkau memandangi guru-guru
iru seakan menmandangi anakmu di masa mendatang.
Bapak, maafkan aku, sampai di ujung usiamu, aku
belum bisa membahagiakanmu. Bahkan aku masih merepotkanmu. Lihatlah Bapak, aku
sekarang menangis mengingatmu. Mengingat semua perhatianmu padaku, bagaimana
perjuanganmu menjadikanku seperti ini. bangun pagi, dengan sepeda onthel kau berangkat ke sekolah untuk
menyapu, membersihkan sekolah. Aku akan ingat itu semua.
Bapak,
beristirahatlah dengan tenang. Semoga Allah menjadikan peristirahatan Bapak sebagai taman
seperti salah satu taman di surga, dimana para malaikat membentangkan sayapnya
sampai ke arsy. Dan semoga Allah akan mengumpulkan lagi keluarga kita di
surga-Nya.
Blitar, 13 Juni 2020
Penulis
Penulis
mempunyai nama lengkap Dra. Hariyani, M.Pd. yang lahir di Blitar, 23 desember
1968. Alumni IKIP Malang S-1 Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia, S-2
Universitas Negeri Malang. Sejak 1992 berprofesi sebagai guru yang dimulai dari
GTT di SMP2 Kademangan Blitar, MAN Kota Blitar, MTsN Kepanjenkidul Blitar,
STIEKN Blitar, LBB IPIEMS. Dan mulai tahun 2003 mengajar di MTsN 1 Kota Blitar
pengampu Mata Pelajaran Bahasa Indonesia sampai sekarang. Sebenarnya dia gemara
menyanyi. Ketertarikan untuk lebih aktif menulis ketika ada aturan WFH yang
disebabkan pandemic covid-19 yang melanda seluruh negara di dunia sejak bulan
Maret 2020.. Alamat E-mail adalah hariyanijoedi@gmail.com.
Dengan nomor WA aktif 081334301712
No comments:
Post a Comment