Sumber gambar: Sehatqu
Oleh: Dinantari Susilo
Kali ini Marlin akan berkunjung. Diberi kebebasan keluar, tentu merupakan momen langka yang tak mungkin ia sia-siakan. Bisa jadi ini yang terakhir kali sebelum ia pindah rumah bersama suami. Marlin akan menegok sang adik di kota tetangga. Melalui perjalanan sekitar tiga jam, Marlin akan tiba di stasiun Kota Malang. Setiap pemberhentian kereta, satu pesan dikirimnya pada Mumun. Menyuruh adiknya bersiap-siap lalu kereta mulai berjalan lagi. Khawatir Mumun lupa Marlin akan datang.
"Mun, aku sampai Talun."
"Jangan lupa bawa helm ya!"
"Keretanya crash 30 menit, tapi kamu tetep siap-siap dari sekarang!"
“Mun? Sudah bangun kan?”
Cling! Cling! Cling! Cling!
Banyak Marlin mengirim pesan, sementara Mumun masih mesra dengan bantal dan kasur. Beberapa kali notifikasi khas berbunyi tapi tak diindahkan. Nyawa Mumun belum penuh berkumpul dan ia masih betah terpejam. Mumun hanya tahu saja itu pasti Marlin yang sekitar pukul sebelas akan tiba. Ia pikir kakak pertamanya ini sungguh berlebihan. Mumun bukan mahasiswa bodoh, tiga jam adalah waktu yang lama. Jadi, gadis bermata cekung itu izin rehat sebentar. Menyelesaikan tulisan sampai subuh itu tidak mudah. Melawan kantuk dengan berani baginya adalah perjuangan. Beruntung naskahnya terkirim tepat waktu. Pekerjaannya sebagai penulis dimulai sejak dirinya dipercaya seorang dosen sebagai asisten penelitiannya dan redaktur koran itu adalah kawan lama dang dosen. Mumun diminta setiap dua minggu menulis di kolom mereka.
Kali ini dering panggilan berbunyi. Wajah Marlin muncul di layar depan. Mumun terkejut tapi ia bersyukur itu bukan panggilan video. "Asalamualaikum ... Mumun, kok nggak balas chat Mbak? Kamu udah bangun kan?"
"Wa’alaikum salam. Iya … Kakakku tercintaa ... Sampai mana kakak?" jawab Mumun menggunakan gaya tidak biasa.
"Kepanjen. Sebentar lagi sampai. Jangan lupa bawa dua helm!"
"Iya kakak, mohon ditunggu ya."
Segera Mumun bangkit dengan malas dan menyandang handuk untuk mandi. Dilihatnya satu tas kresek hitam besar berisi cucian kotor. Terbayang pula di sana wajah Marlin yang melotot jika tahu ada cucian terbengkalai. Selepas mandi, Mumun harus membawa kresek hitam itu ke tempat laundry. “Mandi, laundry. Mandi, laundry." Begitu diulang-ulangnya. Maklum Mumun menderita sakit lupa kambuhan.
Selesai mandi ia bersiap menjemput Marlin. Beruntung Mumun masih ingat harus membawa cucian ke tempat laundry sebelum kepergok kakaknya. Diletakkan kresek hitam itu di bagian depan motor, lalu berangkat menuju tempat laundry, berlanjut menuju stasiun. Jalanan tidak terlalu ramai membuat Mumun leluasa melamun. Ia mengingat-ingat, Marlin baru tiga kali ke Malang. Inilah kali keempatnya. Marlina Pambudi, akhirnya terbebas, setelah dengan berani keluar dari pekerjaan yang dipaksakan bibinya sebagai penjaga Pom Mini dan menerima lamaran seorang kawan lama yang tak pernah terduga. Dalam batin Mumun, apalah yang membuat kakaknya yakin jika laki-laki itu jodohnya. Namun di sisi lain, Mumun turut bersyukur. Marlin mendapat pasangan disaat yang tepat.
Sudah saatnya Marlin menentukan hidupnya sendiri. Setelah terpaksa melepas cita-cita menjadi seorang arsitek, Marlin seterusnya menurut kata Budhe, kakak Bapak. Keluarga Bapak tak peduli meski Marlin telah diterima di kampus ternama dan beasiswa telah ditangan. Kata-kata Budhe lebih masuk akal buat Bapak. Kakak pertama Mumun harus tetap tinggal menjaga Nenek dan hanya mampu berkuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi. Bukan mau Marlin sejujurnya. Marlin meng-iyakan sebab Budhe yang membiayainya kuliah dan itu kampus paling dekat dari rumah.
Mumun kira Marlin adalah orang yang lemah dan putus asa, namun sebenarnya Marlin dilemma dan telah memilih menunjukkan budi berbakti. Sebagai pengganti ibu di keluarga, Marlin melepas banyak hal. Keluarganya yang pas-pasan juga alasan ia tidak bisa menolak Bapak yang kerja sebagai buruh di luar kota tak bisa menjaga ibunya. Jadilah Marlin yang tinggal. Mumun kagum pada kakaknya itu dan dia ingat sekali Marlin pernah berpesan, “Jangan lepaskan cita-citamu, Mun! Jangan seperti mbak dan masmu!”
Seketika Mumun jadi ingat kakaknya yang satu lagi. Marzuki. Laki-laki selain Bapak dalam hidup Mumun. Setelah lulus SMA, Marzuki mulanya bekerja sebagai polantas-swakarsa di perempatan jalan dan lalu pindah sebagai teknisi di bengkel tetangga. Dia memang tak sepandai Marlin tapi Marzuki adalah kakak yang menyayangi keluarga mereka. Lalu, entah darimana tiba-tiba saja Marzuki menurut ide Budhe saat Mumun kuliah di semester kedua. Marzuki disuruh jadi TKI.
Mumun menyadari bahwa mungkin dirinya pun ternyata tak jauh beda dari dua kakaknya. Mumun dilarang pulang bahkan menghadiri pernikahan Marlin oleh Budhenya sebelum skripsinya selesai. Gila betul. Namun Mumun kembali harus tersadar, Budhe memang yang mendanai kuliah Mumun. Lalu dimana letak kuasa Mumun menolak? Sering kali Mumun berfikir, lepas kuliah ia harus mendapat pekerjaan bagus agar setidaknya bisa setara dengan keluarga kakak Bapak. Mumun mau merdeka dengan caranya.
***
Setiba di stasiun, ternyata Mumun masih juga terlambat meski hanya lima menit. “Hehehe, … Aku habis begadang nulis mbak. Ada deadline dari penerbit. Maklumilah, ini pekerjaan impianku lo, mbak."
"Lagu lama kamu, Mun Mun!.” Mumun hanya tertawa kecil meski agak merasa bersalah juga.
“Ya sudah, sekarang ke kosmu aja! Semoga mbak nggak lihat kamarmu versi kapal pecah!” untuk yang satu ini Mumun lega, kamarnya sudah siap disidak.
“Mana helmnya?" tanya Marlin.
DEG! Mumun lupa.
"Muniroh, … kamu ini mikirin apa aja sih?! Dikasih amanah kecil aja kok nggak bisa!" taapan geram Marlin mengingatkan Mumun pada almarhum Ibu, pada nasib Bapak, aturan-aturan Budhe, bahkan Marzuki. Mumun seketika merasa dirinya belum sekuat tenaga menopang dirinya sendiri apalagi keluarganya.
No comments:
Post a Comment