Oleh Abi Subekti
#2 – Mas-mas Loper Koran
23-24 Juni 2019
-Ditulis oleh Dwi Masha Putri Arman
Haaaiii guys!!! Salam kenal aku Masha. Kali ini giliranku yang akan menuliskan ceritanya. simak baik-baik ya, seru lho!
Waktu itu hari Minggu, 23 Juni 2019. Aku datang ke kosan lebih pagi, sekitar pukul tujuh pagi. Aku langsung ke kosan sepulangnya mengantar ibuku dari Pasar Kanigoro. Memang tidak biasanya sih aku datang sepagi itu. Namanya juga anak gadis, pasti bantu-bantu rumah dulu kan. Namun, karena pekerjaan rumah lagi sepi, cuma rutinitas biasa, aku bilang pada ibuku untuk langsung ke kosan, dan ibu langsung membolehkan.
Setibanya di kosan, kuparkir motor di teras depan yang sempit. Aku bergegas masuk dengan uluk salam. Pintunya sih terbuka, tapi kudapati Haris sama Dona masih molor di ruang tengah. Dua motor mereka juga belum dikeluarkan dari ruang tamu, tuman! Terpaksa aku mengeluarkan satu persatu motor mereka lalu menatanya di teras berjajar dengan motorku. Hari ini sampai dua hari kedepan, Cokro pulang kampung ke Talun. Jadinya kosan ditunggu oleh mereka berdua saja.
Setelah selesai mebereskan ruang tamu, juga sudah kusapu lantainya. Aku hanya duduk santai di bangku cor teras. Setelah sebelumnya kubangunkan kedua temanku itu dengan meninjak betis mereka. Karena sebelumnya kugoyang-goyangkan tubuh mereka sekuat apapun, kedua bocah itu tidak kunjung bangun, malah melenguh malas lantas tertidur lagi.
Pagi itu langit redup keabu-abuan, suasananya sendu. Hawa dingin sesekali menerpa, membawa udara lembab yang terhirup hidung. Seingatku sebelum subuh tadi memang hujan deras. Aku memandangi langit bergantian dengan sekeliling gang yang sepi. Tak banyak terlihat kedaraan lewat di jalan utama, mungkin efek hujan dan saat ini libur semester di UIB.
Karena selain warga, mahasiswa UIB lah yang biasa meramaikan jalan sekitar sini. Dibalik pagar jeruji setinggi dua meter di seberang jalan, depan kosan. Kampus tempatku menempuh studi juga nampak begitu sepi, bahkan terlihat seperti tak ada kehidupan.
Yah, Musim liburan justru malah mebuat banyak kegiatan kampus mati suri. Sebenarnya ada beberapa mahasiswa yang tergabung di UKM tertentu masih aktif seliweran di kampus, meski tidak setiap hari. Setahuku anak mapala sering tidur di sekretnya di belakang ruang kelas gedung sisi timur lantai bawah. Mungkin yang lain sibuk memanfaatkan liburan seperti kami.
Kurasa hampir setengah jam aku
duduk. Dona baru melangkah keluar dan langsung jongkok sedheku di sampingku. Matanya yang masih terlihat malas menatap
jalanan. Nampaknya Ia baru mandi, tercium dari wangi tubuhnya. Rambutnya yang basah nampak mengilatkkan pantulan cahaya mentari pagi yang lekas bersinar. Namun, titik-titik air terlihat kembali bertebaran di udara. Ah, gerimis lagi.
Kami hanya berdiam diri merenung sendiri-sendiri ketika seorang mas-mas loper koran meminggirkan sepeda listriknya di depan samping kosan. Aku dan Dona sigap berdiri. Nampaknya mas-mas loper koran ini pasti akan meminta bantuan kami. Karena kalau mau mengantar koran tidak mungkin, kami tidak pernah berlangganan koran apapun.
“Ngapunten titip sepeda dulu Mas, Mbak, mau ke konter depan sebentar, gerimis soalnya.”
“Inggih Mas ...,” Dona mengangguk sopan. Kami lau kembali pada posisi masing-masing.
“Batinku ape rene mau ...,” kataku malas semabari merengut.
“Mulane ojo dibatin,” timpal Dona membuatku sebal.
Eh tapi ternyata batinku benar, setelah dari konter depan. Mas-mas tadi mampir setelah melihat plang kosan kami. Awalnya ia menanyakan apa kami memang menyediakan jasa bantu-bantu. Setelah yakin, kami mempersilakannya masuk. Sepeda listirk dengan seobrok kecil koran diboncengannya yang terpakir di sisi tembok, kini aku tuntun menuju teras.
Di dalam ternyata Haris sudah menyambut dengan catatannya. Ia sedari tadi duduk disana rupanya. Keliahatannya sih Haris main ponsel. Dona kemudian duduk di sebelah kiri Haris, dekat tembok, berhadapan langsung dengan mas-mas ini. Aku memindahkan kursi kayu di samping Mas-mas loper koran itu ke samping meja, berdekatan dengan Haris. Mas-mas loper koran lalu memperkenalkan dirinya. Namanya Arka. Ia mengatakan sudah bekerja menjadi loper koran selama delapan bulan ini. Mas Arka mengatakan ia berasal dari Kediri, lalu pindah ke Garum, menemani neneknya sekaligus ingin mencari pengalaman kerja di luar daerah.
“Jadi kemarin aku menerima surat peringatan dari kantor, sebagai loper resmi yang bertugas mengantar koran ke pelanggan setiap hari. Aku emang telat nganter ke beberapa pelanggan empat hari ini. Karena motorku rusak, dan kata bengkel perlu satu mingguan untuk diperbaiki. Emm, jadi ya aku hanya pakai sepeda listrik nenekku ini. Otomatis kerjaku terhambat dan akhirnya nggak bisa sepenuhnya menjangkau semua pelanggan. Belum lagi kalau masih harus menjualnya sendiri dengan melapak di beberapa tempat, kan repot banget .... Nah apa bisa aku minta tolong beberapa hari ini untuk bantu mengantar koran ke beberapa pelanggan yang agak jauh?”
“Lingkupnya mana aja mas?” Aku bertanya, setelah fokus menyimak.
“Nanti minta tolong untuk ke daerah Kanigoro, meliputi Kankab, bank-bank, beberapa toko-toko di pasar, beberapa kantor, nanti aku kasih catatanya. Lalu kota, daerah Sukorejo ke barat sampai perbatasan kota dan kabupaten. Terus daerah kota ke utara sampai penataran. Jauh banget kan ..., ehehe.”
“Hloosss mas, gampang,” timpal Dona sambil tersenyum.
Dirasa cukup, Haris segera mengeluarkan surat pernyataan, yang langsung ditanda tangani Mas Arka. Kami bertiga membagi tugas sesuai pengetahuan wilayah masing-masing.
Karena rumahku daerah Kanigoro, aku mengambil daerah yang kupahami saja. Kami menerima arahan singkat dari Mas Arka, lalu segera bergerak agar tidak kesiangan, karena koran kan biasanya dibaca pagi hari. Untuk besok, Mas Arka mengatakan akan datang lebih pagi guna menyerahkan koran-koran siap antar.
Keesokan subuh Mas Arka sudah datang menggedor pintu kosan. Jadi, tadi malam aku izin orang tuaku untuk menginap di kosan. Kami lalu menerima sepket koran untuk tugas masing-masing. Pukul enam lebih sedikit aku memacu motorku keluar gang, berbelok ke kanan melewati jalan timur kampus. Ini adalah salah satu jalan pintas tercepat menuju wilayah Kanigoro.
Terus saja kupacu motor dengan lincah melewati jalanan ramai pagi hari. Menghampiri satu persatu tempat pelanggan, menyerahkan koran-koran Jawa Poost, Radar Mbiltar. Sekitaran jam sepuluh pagi matahari telah munculkan dirinya setelah bersembunyi dibalik awan. Sinarnya cukup membuatku gerah. Aku merasakan keringat lekas bermunculan dari balik baju dan cardiganku. Apalagi di perempatan bundaran timur Kankab hari ini ramai kendraan, plus truk-truk besar dengan polusi gas buangnya.
Aku masih harus ke selatan, lalu kembali ke utara menuju perempatan lagi kemudian belok ke arah timur. Ternyata pekerjaan yang terlihat sepele seperti mengantar koran begitu melelahkan. Harus cepat, sedikit-sedikit berhenti, apalagi jika koran datang terlalu siang, aku bahkan sampai kena semprot pelanggannya.
Mataku melirik jam tangan kecil di lengan kiri, pukul sebelasan siang, tugasku baru selesai. Ternyata capek juga berkeliling mengantar koran. Kuputuskan untuk langsung menuju kosan saja. Demi menghindari banyaknya kendaraan plus polusi berlebih, terlebih siang bolong di Kanigoro panas banget. Kulitku nanti kusam lagi.
Dalam perjalanan kembali ke kosan, aku memilih jalan pintas lewat daerah Banggle, dari perempataan Kankab tadi hanya tinggal lurus ke utara, lalu lampu merah lagi, berbelok ke kiri. Jadi tembus langsung dari arah timur kampusku. Daerah sini masih banyak persawahan terhampar luas. Saat itu jagung belum panen. Masih terlihat hijau, tegap, berbaris rapi. Sesekali barisan tanaman jagung itu bergoyang-goyang diterpa angin. Angin persawahan yang sejuk terasa segar ketika merambati kulit. Mengusir rasa gerah yang menempel dan mulai membuatku kurang nyaman.
Setibanya di kosan ternyata kedua temanku belum kembali. Langsung saja aku masuk dan istirahat. Melepas jilbab biru yang kupakai, kemudian sekonyong-konyong merebahkan diri di tikar ruang tengah. Hah ... udara berhembus masuk dari pintu depan, seger banget rasanya. Setiap dari kami dibekali duplikat kunci kosan, jadi jika si empunya kosan yaitu Dona maupun Cokro sedang keluar atau pulang kampung. Kami tetap bisa leluasa masuk.
Keesokan harinya, jam setengah lima pagi Mas Arka datang kembali ke kosan, membawa seabrek koran-koran lagi. Ia membawanya tetap dengan obrok kecil yang tertumpang di boncengan sepeda listriknya. Semalam aku ijin untuk tidur kosan lagi, karena ada pekerjaan. Kami bertiga yang masih mengantuk segera membantu Mas Arka menata koran-koran itu sesuai pembagian wilayah kami kemarin. Setiap kali tidur di kosan, aku akan menempati kamar sisi utara ruang tengah. Sementara ketiga orang itu biasanya tidur di ruang tengah, atau kadang ada yang lebih memilih tidur di kamar seperti biasa. Biasanya sih si Dona yang katannya lebih nyaman di kamar.
Mas Arka kali ini memberitahu kami untuk tidak terburu-buru mengantar koran hari ini. Ia megarahkan untuk mulai mengantarkan koran jam setengah tujuh pagi saja sudah standar, apalagi dengan pembagian wilayah pastinya lebih cepat. Setelah selesai mengeluarkan koran-korannya untuk kami antarkan, Mas Arka pamit untuk mengambil lagi koran untuknya sendiri.
Sebelum pergi Mas Arka mengatakan ia nanti akan berjualan koran di kawasan alun-alun. Jika kami sudah selesai dengan tugas masing-masing. Mas Arka mempersilahkan untuk datang jika ingin membantu berjualan. Kami mengangguk mengiyakan, lantas masuk kembali dan mulai bersiap, menjalankan tugas seperti kemarin.
“Ku kira temen-temen dah di sini Mas,” ucapku santai sembari melangkah menghampiri Mas Arka yang baru menepi ke trotoar sisi selatan alun-alun. Kulihat Mas Arka tadi menawarkan setumpuk korannya pada pengendara yang lewat.
“Mungkin belum selesai, ngobrol diatas aja Sha, disitu kan teduh.” Ia sedikit melompat ke atas lantas duduk di cor keramik bawah pohon beringin. Angin dari selatan berhembus menerpa pohon beringin, memaksanya menggugurkan daun-daun tua yang sebagian serakannya menimpa kami.
Aku mengikutinya dari belakang lalu duduk di sisi kanannya. Mas Arka menghadap jalan di selatan, sementara aku menghadap timur. Kulihat tumpukan korannya masih bnyak, mungkin sekitar dua puluh eksemplar. Aku sedikit bertanya-tanya bagaimana jika koran-koran itu tak habis, Mas Arka mengungkapkan sebagai loper, resiko terbesarnya adalah ia harus berjuang menjual koran yang tersisa. Biasanya koran yang tersisa akan ia tawarkan ke padagang-pedagang pasar buat bungkus sayur, atau bisa juga bengkel-bengkel pengecatan. Namun, dengan harga yang jauh lebih murah.
Pohon beringin kembali melambai-lambaikan akar gantungnya ketika angin bertiup.
“Maaf, kalau boleh tahu Mas, sebelum jadi loper koran, Mas pernah kerja apa gitu?” tanyaku penasaran.
Mas Arka hanya tersenyum, ia melepas topinya yang kemudian dijadikan kipas. Sedikit peluh merambati dahi sampai pipinya. Terlihat bekas jambang yang baru saja dicukur. “Heleh yowes sakeneke penggawean, serabutan. Di Kediri dulu kurang cocok denganku. Ditambah aku pindah ke Blitar kan diusir orang tua. Untungnya sih, nenek di Blitar sini masih mau menerima, jadi ke Blitar aja. Ahaha, malah curhat.”
“Ehehe,” aku tertawa kecil. Sampai segitunya, pikirku. Tanganku bergerak meraih satu bundel koran lalu melihat-lihatnya. “Emm, maaf lagi mas, kepo, kok sampai diusir ya?”
“Gak papa, santai ae. Aku terlanjur ngomong juga kan. Aku ini residivis.”
Aku terperanjat mendengernya, seumur-umur aku belum pernah bertemu, malah-malah berbaur dengan seorang residivis. Walaupun tidak semua residivis itu jelek, tapi umumnya stigma yang terbangun pasti sudah kurang baik.
“Dulu sewaktu masih sekolah. SMP-SMK lah, aku udah pernah maling ayam, ayam jago aduan ... burung peliharaan pernah, malak orang juga pernah, ikut tawuran. apalagi ya ... oh aku hampir bunuh orang juga pernah, ya saat tawuran itu. Ahahahha.”
“Ha, yang bener?” Aku tercekat mendengar pengakuan Mas Arka. Seketika kulipat koran yang kubaca tadi, lalu menaruhnya pelan ke tumpukan semula. Aku menduga-duga mungkin Mas Arka sudah tobat. Tapi tetap saja itu masa lalu yang mengerikan sekali.
“Iya. Orangnya sampai kritis seminggu. Untung aja selamat, kalau enggak bisa ikut dihabisi aku.” Mas Arka menjawab dengan enteng. Ia santai sekali dengan masa lalunya yang tidak biasa.
Aku tak bisa membohongi otakku yang ketakutan hingga mengirim perintah gemetar pada tangan. Sontak aku mulai sedikit bergeser tempat duduk, berharap untuk segera pergi saja, tapi rasa canggung menyeruak mengelukan lidahku untuk bicara. Tubuhku rasanya terpatri dengan keramik. Aku hanya menunduk, bingung harus menimpali ceritanya tadi. Aggh! Aku salah tanya.
“Takut ya?”
“Haa, enggak kok Mas.” Aku menatapnya, tapi ternyata tatapannya padaku sangat tajam. Kedua bola matanya seolah mendekap tubuhku erat-erat. Rasanya tak seperti tatapan Mas Arka sebelumnya. Aku segera membuang pandangan, sementara tubuhku masih saja kaku, berusaha kusembunyikan tanganku yang semakin gemetaran.
Aku ingin segera kabur!
“Menurutmu, apa anak durhaka sepertiku masih layak untuk hidup?”
Aku mematung sejenak. Tidak tahu harus membalas apa. “Emm ... ya ... ya ... emm,” aku setengah celingukan lantaran bingung setiap kali akan menyimpul kata, “menurutku ... jika masih ada waktu, berarti masih ada kesempatan untuk berubah. Mungkin Mas Arka harus minta maaf dulu dengan orang tua. Lalu mulai ... melakukan penebusan dosa, barangkali. Dengan meminta maaf pada semuanya. Kemudian meniti hidup dari awal, dengan berubah menjadi pribadi yang lebih baik ... kedepannya.”
Mas Arka masih menatapku dalam diam.
“Maaf, aku gak bermaksud menggurui kok, hehe,” jelasku canggung.
“Penebusan dosa ya, sepertinya menarik. Masa laluku memang ... sangat gelap. Aku bahkan tak pernah menyangka akan jadi seperti itu.” Mas Arka mendongak, menerawang birunya langit berhias arakan awan-awan putih, kemudian ia memakai topinya kembali.
“Nih, uang untuk pekerjaan kalian dua hari ini. Kata bengkel motorku besok udah beres, aku dah bisa bekerja seperti biasa lagi kok.” Ia mengulurkan amplop padaku. Bibirnya merekahkan senyuman hangat. Ia kembali seperti “semula.”
Aku menerimanya dengan tangan yang masih terasa gemetar. Belum lagi perasaan campur aduk tak karuan memenuhi dadaku. Mas Arka mempersilahkan jika mau pergi sekarang, tapi entah, aku masih saja canggung. Hingga kuputuskan untuk kembali membantunya jualan meski dengan malu-malu karena aku tidak pernah menjajakan koran sebelumnya. Mas Arka bergeser ke pertigaan Jl. Mastrip, depan Pasar Wage, sementara aku tetap di Jl. Merdeka sekitar alun-alun.
***
27 Juni 2019. Tiga hari setelahnya.
Setelah menyelesaikan tugas dari Mas Arka, tiga hari ini kami hanya berdiam diri di kosan. Karena jenuh, aku memutuskan untuk mencari hiburan ke Galakzzy, warnet film terkemuka seantero Blitar. Sesaat setelah tiba, tak kusangka aku melihat Mas Arka tengah asik dengan ponselnya di depan pagar Galakzzy, masih dengan sepeda listrik biasanya. Tunggu, bukannya kemarin kata dia motornya udah beres.
Sebelum masuk, kuputuskan untuk menemuinya dulu, memberi salam, berbasa-basi menanyakan bagaimana pekerjaannya setelah hari itu.
No comments:
Post a Comment