Oleh Abi Subekti
Side Story #1
Tiga tahun sebelum perkuliahan. 2016
Suara derap sepatu membelah teras panjang, di depan deretan ruang kelas yang tertutup rapat. Setiap tapak langkahnya terasa santai, tapi berat menghujam ubin putih di bawahnya. Di ujung kelas, langkahnya berbelok ke kiri turun ke sebuah setapak berpaving kotak yang mengarah ke sebuah bangunan gedung berdinding tinggi.
Gedung bercat biru tua beraksen putih nampak begitu gagah memancarkan aura semangat. Gedung ini merupakan aula serbaguna sekaligus gelanggang olahraga sekolah. Pintu lebarnya masih terbuka meski saat ini jam dinding menunjuk angka empat sore kurang lima menit. Yuga, melangkah pasti dengan tas raket di punggung.
Matanya sekilas bertatapan dengan seorang gadis yang tengah duduk di bangku pinggir garis lapangan dalam aula, tepat di sisi kiri pintu masuk. Rambutnya tiga sentimeter lebih panjang di bawah bahu. Cardigan cokelatnya menjuntai, gadis itu menaruh tas di pangkuan sembari mengayunkan kedua kakinya bergantian. Mereka sama-sama tak tersenyum karena bertatapan tidak sampai satu detik.
Yuga meneruskan langkah menuju jejejeran loker di sisi seberang lapangan. Mengeluarkan kunci dari saku, membukanya, lantas bergegas memasukkan tas raket tadi ke dalam loker. Jejeran loker ini berada di belakang deretan enam kursi berwarna merah, sama seperti kursi yang diduduki gadis itu.
"Maaf." Suara si Gadis membuat Yuga menoleh. Ia telah berdiri di belakangnya. "Masnya perwakilan ke ... Festival Antar Sekolah? Kata klub saya, saya disuruh menemui perwakilan lain di sini, jam ... setengah empat," ujarnya sedikit terbata.
"Bukan. Tapi teman saya Mbak. Perwakilan buat festival kan?" tanya Yuga memastikan.
"He’eh, temannya mana ya Mas?"
"Itu baru masuk." Jari Yuga menunjuk belakang. Mengarah ke temannya yang tengah melangkah masuk. Si Gadis terkesiap membalik badan. Kebetulan yang begitu tiba-tiba. Bahkan langkahnya pun senyap─hampir tidak terdengar tapak kaki menyentuh lantai.
Laki-laki yang ditunjuk juga membawa tas raket di punggung. Rupanya mereka berdua baru saja latihan bulu tangkis di lapangan depan masjid sekolah.
"Wah, maaf-maaf ganggu nih," celetuknya dengan senyum genit. Seperti tak percaya dengan Yuga yang didekati seorang gadis.
"Apaan lu! Di cariin tuh. Aku pulang duluan." Yuga menepuk lengan temannya dan langsung ngibrit tanpa basa-basi.
"Eh ...."
"Maaf, Masnya yang ditunjuk jadi perwakilan ke Festival Antar Sekolah?" Mata hitam si Gadis menelisik. Kornea kirinya tidak pas di tengah. Namun, bergeser sedikit ke kanan. Sedikit, mungkin hanya bergeser sekian mili dari posisi kornea normal.
"Oh, iya. Perkenalkan, Haris ...," katanya sembari mengulurkan tangan. Ia nampak antusias.
"Masha, Mas ... Haris?"
“Iya, Mbak.”
Haris mempersilahkan Masha untuk duduk di kursi samping mereka, memulai perbincangan terkait apa yang akan mereka lakukan sebagai perwakilan untuk festival. Festival Antar Sekolah adalah festival tahunan yang di dalamnya termasuk lomba, pameran, bazar kreatif, juga musyawarah seluruh himpunan ekstrakurikuler, di seluruh sekolah menengah atas, kejuruan, juga aliyah di kabupaten ini. Dimana festival tahun ini diselenggarakan di SMKN 1 Blitar. FAS biasanya berlangsung satu minggu, bertempat di sekolah lain secara bergilir.
Haris ditunjuk oleh klub bulu tangkisnya untuk perwakilan satu induk ekstra, yaitu ekstra olahraga SMKN 1 Kademangan. Pun halnya dengan Masha dari klub basket. Mereka berdua ditunjuk untuk mengikuti musyawarah himpunan ekstra olahraga. Sebenarnya selain mereka berdua, anggota klub-klub di bawah ekstra olahraga juga dikirim, hanya saja sebagai kontingen lomba.
"Terima kasih Mas, bisa dilanjut besok aja untuk rembukannya, udah sore. Masnya jadi nebeng?" tanya Masha. Langkah keduanya semakin menjauh dari aula yang pintu lebarnya kini tertutup rapat.
"Sebenarnya gak enak hati saya Mbak, tapi kalau memang satu arah dan Mbaknya gak keberatan sih gak apa-apa. Nanti boleh saya aja yang nyetir?"
Haris tinggal di Lodoyo, sementara Masha di Kanigoro.
Masha mengatakan ia sudah biasa pulang-pergi ke sekolah lewat selatan, melalui jalur Lodoyo ke barat melewati hutan Betet. Ia tak keberatan jika Haris nebeng pulang dengannya.
Sesampainya di budaran air mancur halaman depan sekolah, Masha membelokkan langkah ke kanan menuju arah parkiran belakang, meninggalkan Haris yang berdiri menunggu dekat gerbang depan.
"Boleh-boleh, tapi kalau Masnya bisa ya?" teriak Masha sambil menahan tawa.
Di sisi lain, dalam benaknya, Haris bertanya-tanya apa maksud Masha barusan.
“Hanya menyetir sepeda motor kan atau jangan-jangan mobil?”
Arah langkah Masha terlihat berbelok lagi ke kiri menuju areal Departemen Teknik. Tak berapa lama Masha muncul dengan motor bak roda tiga, tapi varian yang berukuran lebih kecil. Haris lantas mengerti apa maksud ucapan Masha tadi.
"Gimana Mas?" Masha hendak turun, tapi Haris melarangnya. Ia belum pernah mengendarai motor roda tiga semacam ini.
Haris lalu meloncat ke atas bak belakang. "Jurusannya apa sih Mbak?"
"TKR, saya sering bawa motor ini ke rumah, soalnya bapak punya bengkel."
"Oh, kayaknya kita gak perlu kaku-kaku deh bicaranya. Gak usah panggil Mas-Mbak, hehe." Haris tertawa kecil.
Dari balik kaca helm, bibir Masha juga menyimpul senyuman. Tatapan matanya fokus pada jalanan di timur SMK yang ramai oleh lalu-lalang kendaraan.
FAS telah dimulai. Hari ini hari ketiga, Masha dan Haris masih harus mengikuti musyawarah Himpunan Ekstra Olahraga setiap pagi hingga lepas Dhuhur sampai hari terakhir besok. Musyawarah himpunan ekstra umumnya akan dilaksanakan selama empat hari. Kemarin Haris mengusulkan memasukkan tenis meja sebagai salah satu cabang lomba baru untuk tahun depan, bersanding dengan sepak takraw. Namun, hasilnya sepak takraw diloloskan pada akhir musyawarah hari ini.
Mereka berdua melangkah keluar ruang kelas tempat musyawarah. Berjalan menyusuri lorong-lorong panjang depan kelas yang terhubung satu sama lain. Semenjak ditunjuk menjadi perwakilan dua minggu sebelum festival, keduanya kini terlihat lebih akrab. Keduanya lekas mengenal satu sama lain. Masha beberapa kali ganti nebeng Haris ketika berangkat sekolah, karena motor roda tiga yang biasa dibawanya kadang dipakai bahan praktek.
SMKN 1 Blitar saat ini sunyi senyap dari suara para siswa. Kecuali keramaian akibat festival itu sendiri di beberapa areal tertentu. Hal ini karena festival selalu digelar saat liburan semester, karena ketika liburan semuanya akan lebih santai. Tak ada masalah untuk lembur menyiapkan seabrek keperluan acara, dan tentunya festival bisa dikunjugi masyarakat umum juga anak-anak.
Kali ini liburan semester genap kelas sebelas. Maka ketika masuk kembali, Haris dan Masha akan naik ke semester gasal kelas dua belas.
"Ris! Ris ... masih semangat kan?" tanya Masha menelisik. Sekeluarnya dari musyawarah Haris hanya diam.
"Masih lah," terangnya singkat.
"Gak papa kok, santai aja. Lagain tahun depan kan bisa diajukan lagi."
Mereka berdua berbelok, menuruni tangga kecil lantas kembali berjalan lurus di jalanan berpaving menuju gedung olahraga.
"Aku sih gak papa, Sha. Tapi menurutku kan udah dua ajang sepak-menyepak di festival. Sepak bola ada, futsal? Juga dah ada kan. Ini di tambah sepak takraw lagi. Ya, menurutku mendingan tenis meja. Banyak juga kan klub tenis meja yang berkembang seantero kabupaten." Nada bicara Haris terdengar naik.
Masha masih diam menatapnya.
"Yang penting kita udah usaha maksimal Ris ...," jawab Masha mencoba menenangkan temannya itu.
Mereka kini telah memasuki gedung olahraga dimana saat ini pertandingan voli babak delapan besar sedang digelar. Di dalam gedung, riuh penonton timbul tenggelam mengikuti arah pukulan dan serangan kedua tim yang begitu sengit.
"Pake tadi bilang tenis meja kan cuma pukul-pukul biasa. Lebih estetik sepak takraw. Apaan maksudnya. Pengen kucegat nanti tu anak. Maruk eram."
"Hei!" Masha mengernyit. Matanya mentap Haris dalam-dalam. Beberapa saat lamanya mereka saling tatap dalam diam.
Haris tersenyum, kemudian menepuk pelan bahu Masha. " Hehe, canda kali Sha. Gila apa cari gara-gara di sini. Sama tuan rumahnya lagi."
Mereka berdua menyudahi pembicaraan hasil musyawarah. Berbaur dalam timbul tenggelamnya animo penonton. Tim voli SMKN 1 Kademangan yang juga lolos delapan besar masih akan bertanding nanti setelah pertandingan ini.
***
Lima bulan pasca festival. Mereka berdua tambah akrab satu sama lain. Keakraban tak biasa. Lebih ke perasaan karena kenyamanan memiliki seorang teman ... atau sahabat barangkali atau ... entahlah.
Haris dan Masha menjadi kerap berbobcengan ketika berangkat sekolah. Terkadang, mereka juga saling mengantar jika salah satunya sedang tidak ada kendaraan.
Pertemanan dekat lawan jenis bukan hal umum dalam masyarakat. Di banyak tempat, di belahan bumi manapun hal ini masih menimbulkan banyak perdebatan. Tak jarang gosip tersebar luas kalau keduanya berpacaran. Bahkan pertemanan mereka bisa sampai memantik kecemburuan bagi pengagum masing-masing.
Tak ada yang salah dengan itu, karena keduanya tidak pernah membuka secara gamblang pertemanan mereka. Masa putih abu-abu memang banyak menyimpan hal-hal unik.
Sembari menyeder tiang beton, Masha sibuk mengelap telapak tangannya dengan tisu basah. Hari ini ada praktek bongkar mesin yang membuat telapaknya belepotan oli. Ia menunggu di bawah kandang ayam berbentuk panggung. Tiupan angin menggoyangkan ikatan kuncir rambutnya. Ia masih menunggu Haris membersihkan kandang bersama beberapa temannya, yang kemarin lusa baru panen.
Masha terpaksa menunggu karena Ia nebeng Haris lagi hari ini. Lima belas menit berlalu, Haris keluar bersama beberapa temannya. Jadwal membersihkan kandang tak dilakukan bersama satu kelas, karena kelompok yang dibentuk akan mendapatkan tugasnya masing-masing.
Haris kemudian bergegas mengahmpiri Masha yang masih berdiri menyender pada tiang cor, yang kini tengah bercengkrama dengan ponsel. Dari belakang, seperti biasa, teman-teman Haris menggodanya dengan candaan. Haris sedikit mengumbar senyum, ia sudah semakin terbiasa dan tidak mau ambil pusing dengan godaan teman-temannya.
"Kan udah dibilangin nebeng temenmu aja, kesorean kan." Haris membuka perbincangan. Tangannya menepuk-nepuk paha, membersihkan celana olahraga yang dipakainya.
Masha tersenyum. "Gak papa kok. Kuy, ngobrol dulu aja."
"Gak romantis banget di bawah kandang ayam." Haris melangkah mencari tempat duduk menjauh dari kandang. Mereka sampai di sebuah bekas pondasi bangunan dekat pohon, pinggir sungai kecil yang melintasi SMK mereka.
Masha lekas mengikuti. Ia menata posisi roknya sesaat sebelum duduk. "Aku dah punya doi nih Ris."
Haris menoleh, menyeringai. "Ya bagus dong. Berarti kamu masih normal. Aku juga ikut seneng."
"Kamu, punya gak?"
"Punya ...." jawabnya singkat.
“Kok gak ngomong?”
“Kamu juga baru ngasih tahu.”
"Ya, emang baru.” Masha memberi penekanan pada jawabannya yang disusul tawa kecil. “Kamu percaya gak sih, persahabatan antar lawan jenis bisa terwujud sempurna layaknya persahabatan sesama jenis?" Masha menatap Haris lekat. Angin dari selatan menderu menerpa keduanya.
"Ya, percaya aja. Tapi aku tak menjamin selama apa hal itu akan bertahan."
"Dirimu mulai tak yakin ya, Ris. Aku yakin itu akan bertahan selamanya meski dalam bentuk lain."
"Kamu bahkan sudah mengakui hal lain, Sha. Mungkin akan lebih baik kita tak menggabungkan perasaan tertentu dalam pertemanan. Aku punya crush. Seseorang yang aku suka, kau pun sekarang juga punya. Justru yang terpenting adalah bagaimana crush kita masing-masing menyikapi pertemanan kita berdua ini."
Masha membuang pandangan. "Doiku bahkan sangat paham tanpa harus kuberitahu."
"Boleh tahu siapa doimu?" tanya Haris penuh selidik.
"Tak akan kuberitahu," jawab Masha genit. Ia berdiri cepat. Melangkah jahil tanpa peduli akan Haris yang hanya terbengong.
Angin kembali menderu, menggoyangkan rumput-rumput, menggelitik dahan pohon agar menggugurkan daun-daun tua, kemudian meniupnya usil, menjatuhkannya ke segala arah. Langit barat pun lekas memudar kemerah-merahan, disusul Haris yang berlari mengejar di belakang Masha.
***
Pada penghujung kelas dua belas. Ujian Nasional telah usai. Para siswa saat ini tengah berada pada fase penentuan langkah mereka melanjutkan masa depan. Seperti umumnya budaya SMK, mayoritas siswa pasti akan memilih untuk langsung bekerja. Tapi melanjutkan studi juga bukan pilihan yang buruk.
Tak seperti biasanya, akhir-akhir ini Masha dan Haris jarang terlihat bersama. Sudah cukup lama mereka tidak berangkat bersama, terakhir pada saat UN dilaksanakan. Mereka berdua larut dalam perjuangan masing-masing untuk melamar pekerjaan, setidaknya itu fokus mereka saat ini.
Ternyata keberuntungan belum berpihak pada Masha, ia telah tiga kali melamar pekerjaan bahkan sebelum dirinya dinayatakan lulus. Namun, belum ada satu pun yang berhasil. Itulah kenapa Ia memilih ikut orang tuanya menjenguk kampung halaman sang ayah di Pasuruan. Sebenarnya ayah Masha memintanya untuk ikut menngelola bengkel. Ayah menilai Masha cukup berpengalaman untuk diajak mengembangkan bengkel yang telah dirintisnya sejak masih muda, tapi Masha menolak. Ia ingin bertualang mencari pengalaman dan uang di luar apa yang sudah ia tekuni saat ini.
Selepas Isya’. Masha tengah sibuk menata beragam keperluan yang akan dibawa. Kereta yang membawanya beserta keluarga akan bertolak besok subuh, Kedua tangannya masih sibuk ketika chat dari Haris masuk menyapanya─tak dihiraukan. Begitu selesai, barulah Masha memungut ponselnya, lalu membalas singkat sapaan Haris.
Saat ini, Haris masih menunggu informasi lebih lanjut dari tempat ia melamar pekerjaan. Sama seperti Masha, Haris juga masih belum diterima di manapun.
"Sha ... tolong ambilin lulur ibu di mangkok di dapur," perintah Ibunya dari ruang keluarga.
"Iya Buk," sahut Masha cepat. Ia bergegas ke dapur mengambilkan apa yang ibunya suruh. Nahas, begitu dipakai menunduk mengambil kuas lulur yang terjatuh. Masha kelupaan kalau ia menaruh ponsel di saku dada baju tidurnya. Tak ayal ponsel yang masih menyala itu tercebur dalam bak bekas cuci piring yang masih menyisakan busa, bahkan bekas nasi masih terdapat di dalamnya.
Dengan panik, tangan Masha segera meraih ponsel yang terlanjur basah kuyup. Ponsel itu masih menyala, namun saat dipencet-pencet justru berkedip-kedip, lalu mati dan tak dapat dihidupkan kembali. Masha bergegas memberikan semangkuk kecil lulur tadi pada ibunya yang tengah duduk sembari menonton televisi di ruang keluarga. Ia segera berlari ke kamar, membongkar ponsel yang masih basah tersebut. Di elapnya setiap bagian lantas diangin-anginkan dengan hairdryer. Percuma, ponselnya tetap tertidur, menolak bangun.
"Duuuhhh ... gimana nih, banyak barang penting lagi di dalemnya," gerutu Masha kebingungan. Celingukan kesana-kemari.
Sementara Masha masih bergelut dengan paniknya. Haris setia menunggu balasan, yang pasti tak akan pernah di balas lagi.
Ia akan pindah rumah empat hari lagi. Masih di kota yang sama, tapi di tempat yang lain. Pindah dari Lodoyo ini ke Kademangan, dan Haris selalu kelupaan menyampaikan hal itu pada Masha. Begitu ingat, ia menyusulkannya lewat chat yang juga tidak akan pernah Masha baca.
Haris sempat terpikirkan untuk menemui Masha di rumahnya malam ini. Namun, hal itu diurungkannya karena ternyata jarum jam sudah menunjuk pukul sebelas.
Ia juga tahu kalau Masha akan pergi keluar kota besok. Hingga Haris memakluminya dengan anggapan Masha pasti sibuk mempersiapkan barang yang akan dibawa, atau paling Masha sudah tidur karena harus berangkat subuh. Ia akhirnya bulat memutuskan untuk menemuinya besok subuh di stasiun tempat Masha akan berangkat.
Haris kemudian turun dari ranjang, membuka pintu kamar, melangkah menuju kamar mandi lantas menggosok gigi. Kebiasaan yang diajarkan orang tuanya sedari kecil. Setelahnya ia kembali merebahkan diri di ranjang, Haris akhirnya ketiduran ditemani alunan musik dari pemutar audio daring di ponsel.
Terdengar pintu diketuk bebarapa kali. “Ris ....” Suara Ibu Haris dibaliknya.
Haris mengulat malas, ia susah payah membuka kedua mata yang teramat lengket. Mengerjap sebentar, lalu tangannya meraih ponsel. Cahaya terang ponsel membuat matanya terpejam setenagah perih. Ia memeriksa penunjuk waktu di layar depan. Pukul delapan lebih sepuluh.
"Astaghfirullah.” Haris tergelagap. Menyadari keterlambatannya ia cepat-cepat mengirim alamat rumah barunya pada Masha.
Ya, percuma saja ....
***
Satu minggu berselang.
"Kok rumahnya dijual sih?" Masha celingak-celinguk mendapati rumah lama Haris dijual. Tak ada seorang pun yang bisa menjawab pertanyaannya. Tetangga hanya mengatakan rumah ini dijual karena keluarga Haris pindah menghuni rumah neneknya yang terbengkalai lama di Kademangan, tapi mereka juga tidak tahu mengenai alamat pastinya.
Kini Masha mempunyai ponsel baru sekembalinya dari kampung halaman sang ayah, meski ponselnya kali ini lebih sederhana dari yang dulu. Kartu nomornya juga diganti karena ikut rusak. Seluruh nomor temannya hilang termasuk Haris. Ia lantas melangkah lunglai, kemudian menstarter motornya dan bergegas pergi membonceng kecewa. Hatinya penuh sesak oleh sesuatu yang tertahan.
Di sepanjang jalan, Masha berusaha menahan setiap keping ingatan yang bergelayut dalam pikiran. Entahlah, mungkin dirinya akan bertanya pada teman Haris yang ia kenal, atau berharap keberuntungan mau mempertemukan mereka kembali.
No comments:
Post a Comment