Sumber gambar: Pinterest
Oleh Anisa Dewi
Setelah beberapa hari yang lalu, Ajeng berdebat dengan ayah dan ibunya karena Ajeng tidak disetujui menikah dengan kekasihnya yang bernama Pila Maheswara. Ajeng begitu marah selama ini dia sudah menuruti apa keinginan orang tuanya dan selalu mematuhi perintahnya.
Akan tetapi, Pila selalu menghasut Ajeng untuk melawan orang tuanya. Bagi Ajeng, Pila adalah kekasih terbaik untuknya, dilihat dari beberapa perhatian dan kasih sayang yang dilakukan oleh Pila selama mereka berdua berpacaran selama satu tahun ini. Ajeng begitu dibutakan dengan cinta, karena Ajeng baru pertama kali jatuh cinta pada lawan jenis. Malam itu disaat ayah dan ibunya sudah tidur, Ajeng mengemasi barang-barangnya.
“Aku harus pergi bersama Pila, mungkin ini adalah jalan yang terbaik untukku,” ucap Ajeng sendirian.
Tak begitu lama setelah membawa satu koper dan satu tas kecil, Ajeng pelan-pelan keluar rumahnya untuk menemui Pila yang sudah menunggunya diluar rumah.
“Siap, Jeng?”
“Siap Sayang, ayo berangkat.”
Pila menaiki motonya pelan-pelan agar kedua orang tua Ajeng tidak mendengar suara motor. Pila tak seperti Ajeng yang membawa koper, dia hanya membawa tas saja. Mereka berdua menuju Dermaga, Pila yang tak mempunyai orang tua lagi merasa bebas ingin ke mana saja, sedangkan Ajeng kabur dari rumah tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya.
“Pila … kita yakin mau ke Bali?”
“Iya Jeng, di sana nanti kita bisa tinggal di rumah saudaraku. Jadi kita bisa numpang dulu beberapa waktu di sana sampai aku bisa mengumpulkan uang untuk nge-kos, apa kamu tidak yakin untuk kita pergi ke sana? Apa kamu ingin aku antar pulang lagi?”
“Hmmm, tidak Pila. Aku ingin hidup bersamamu, semoga ini jalan yang terbaik untuk kita.”
“Iya, ayo kita naik kapalnya segera.”
“Oke, Pila.”
Pila dan Ajeng naik ke kapal, tak begitu lama kapal segera berangkat menuju Pulau Dewata Bali. Ajeng merasa ragu dengan keputusannya, tapi ketika Pila memegang tanganya Ajeng begitu yakin kembali akan keputusannya yang meninggalkan kedua orang tuanya. Tengah malam tiba Ajeng menyenderkan kepalanya ke pundak Pila. Mereka akhirnya tertidur dan sampai ke Bali pada pagi harinya.
“Pil, bangun, orang-orang udah pada turun tuh. Ayo kita segera ambil motormu lalu turun.”
“Iya, Jeng.”
Pila segera mengambil motornya lalu membonceng Ajeng, masih dilanjut lagi perjalan sekitar dua jam menuju rumah saudara Pila yang dekat dengan Pantai Sanur. Ajeng begitu senang, karena baru pertama kali dia berada di Bali dan bahkan sekarang akan tinggal di sana bersama kekasihnya.
“Aku seneng banget Pil, berhenti bentar yuk, menikmati suasana pantai.”
“Ahh besok aja Jeng, aku capek nih. Perjalanan naik motor dua jam. Besok aja ya.”
“Iya, Sayang.”
Akhirnya, sampailah Ajeng dan Pila di rumah saudaranya yang ada di Bali. Mereka berdua lalu tidur dalam satu kamar walaupun mereka belum resmi menikah, dikarenakan hanya ada satu kamar kosong untuk mereka yang sudah dipersiapkan oleh saudaranya. Di tempat yang berbeda pagi harinya, ayah dan ibu Ajeng ke kamar anaknya, mereka berdua kaget tidak ada Ajeng di kamar dan pakaian beserta barang-barang lainnya juga tidak ada di kamar, ayah menemukan surat lalu dibaca oleh ayah dan ibunya di ruang tamu.
Teruntuk Ayah dan Ibuku Sayang,
Ayah … Ibu, maafkan Ajeng yang telah memilih jalan ini. Ajeng sudah lelah berdebat dengan ayah dan ibu mengenai meminta restu untukku menikah dengan Pila. Aku begitu mencintainya, aku tau kalian orang tuaku yang telah merawatku dan membesarkanku hingga sekarang ini, tapi bukankah selama ini aku selalu menuruti apa kemauan ayah dan ibu? Tapi kalian sedikit saja tidak mengerti perasaanku ini. Aku mohon jangan cari aku ayah … ibu, mungkin ini adalah jalan terbaik untuk Ajeng. Dan ketika ayah dan ibu telah membaca surat ini mungkin Ajeng sudah pergi jauh bersama Pila di suatu tempat yang sangat jauh. Nanti jika saatnya telah tiba Ajeng pasti akan datang kembali kepada ayah dan ibu. Jangan khwatirkan Ajeng, baik - baik saja kok. Jaga diri ayah dan ibu baik-baik ya:)
Ajeng
Setelah membaca surat dari Ajeng, ibu jatuh pingsan. Dan ayah membawanya ke rumah sakit, setelah menunggu lumayan lama. Ternyata ibu terkena stroke setelah membaca surat dari Ajeng. Ayah sangat begitu marah dengan perilaku anak semata wayangnya itu, dan sudah dipastikan para tetangga akan mencemooh keluarganya, karena Ajeng telah kabur dari rumah.
“Ibuuuu …,” teriak Ajeng yang membuat Pila kaget.
“Kamu kenapa sih teriak gitu, Jeng?”
“Gak tau kenapa Pil, tiba-tiba keinget sama orang tuaku. Ada firasat yang kurang mengenakan gitu.”
“Mungkin kamu hanya belum terbiasa aja jauh dari mereka. ‘Kan selama ini kamu selalu tinggal sama mereka.”
“Hmm iya kamu bener, Pil. Aku boleh minta tolong gak, Pil? Ambilkan minum untukku haus banget nih, hehe.”
“Iya, aku ambilkan sebentar.”
Hingga sore hari Ajeng dan Pila tidur, tepat jam empat sore mereka bangun untuk mandi dan makan. Setelah pukul delapan, Pila meminta sesuatu hal kepada Ajeng yang sebelumnya tidak pernah Ajeng pikirkan selama mereka berdua berpacaran.
“Ajeng, aku boleh meminta sesuatu gak sama kamu?”
“Iya, apa Pil?”
“Aku ingin kita berdua melakukan hal itu.” Pila sambil memberikan isyarat kepada Ajeng.
Ajeng terdiam sejenak dengan permintaan Pila. Meskipun, umur Ajeng sudah berusia dua puluh tahun, tetapi Ajeng masih belum bisa bersikap dan berpemikiran layaknya orang dewasa.
“Kenapa kamu diam, Ajeng?”
“Hmm bagaimana ya, Pil.”
Pila berusaha membujuk Ajeng dengan rayuan manisnya, hingga Ajeng akhirnya pelan-pelan mau melakukan hal yang diinginkan Pila. Padahal Ajeng sudah sering kali diingatkan oleh kedua orang tuanya untuk tidak berbuat hal yang dilarang oleh agama, dengan mengatasnamakan cinta.
“Pil, aku takut!” wajah Ajeng mulai cemas, ketika Pila memegang tangannya.
“Tidak perlu takut Ajeng, apa pun yang terjadi aku akan selalu bersamamu, suka maupun duka kita lalui bersama.”
“Jika aku hamil, apakah kamu akan bertanggung jawab akan hal ini?”
“Tentu Ajeng, satu minggu lagi kita akan melangsungkan pernikahan yang mungkin hanya kecil-kecilan saja.”
Setelah mendengar ucapan Pila, Ajeng hanya terdiam dan menikmati apa yang dilakukan oleh Pila padanya. Ajeng merasakannya dengan penuh cinta, sampai dia tidak berpikir dampak besar apa yang akan diterima di masa yang akan mendatang.
“Pila! aku masih baru pertama kali melakukan hal ini.”
“Sudahlah, Jeng. Nikmati saja, aku akan melakukannya pelan-pelan tanpa menyakitimu.”
******
Waktu berjalan dengan singkat tak terasa Pila dan Ajeng sudah sekitar dua minggu berada di Bali. Akan tetapi, ucapan Pila yang akan menikahi Ajeng belum juga terlaksana ketika Ajeng bertanya mengenai hal itu, Pila hanya mengalihkan topik pembicaraan.
Sedangkan, saudara Pila yang tempatnya digunakan mereka berdua tinggal sekarang ini, terkadang menyindir Ajeng karena tak mau berbuat sesuatu, padahal Ajeng juga sudah membantunya membersihkan rumah.
Saudara sepupu Pila, bernama Farah Maharani. Dia tinggal seorang diri di Bali, karena kedua orang tuanya bekerja di luar negri. Maka dari itu, Pila sering ke rumah Kak Farah untuk tinggal sementara waktu. Dan sejak kecil Kak Farah sering bersama Pila, saat kedua orang tua Pila masih hidup.
Kak Farah selalu mengizinkan Pila datang kapan pun dia mau. Kak Farah bekerja diperusahaan ternama yang ada di Bali, di rumah yang besar dan pekerjaan mapan dia memutuskan untuk tinggal di Bali dari pada tinggal bersama kedua orang tuanya yang ada di luar negri.
“Eh, Ajeng. Kamu tuh ya udah numpang tidur di sini berhari-hari dan numpang makan apa gak tau malu sih?” ucap Farah saudara Pila.
“Bukannya Pila juga tinggal di sini, Kak? Tapi kenapa hanya aku saja yang selalu Kakak sindir seperti ini?” jawab Ajeng.
“Pila itu saudara sepupuku, kalau kamu siapanya aku? Udah numpang seenak jidatnya aja!”
“Aku ini calon istrinya Pila, Kak.”
“Haha ngimpi banget kamu. Asal kamu tau aja ya, Pila itu udah sering bawa cewek ke sini dan gak ada tuh yang dinikahi Pila sama sekali haha. Udah kamu jangan ngayal gitu ya, cepetan kamu bersih-bersih rumah dan besok kamu harus kerja di warteg loh ya!”
“Tapi, Kak.”
Belum sempat dijawab pertanyaan Ajeng, Kak Farah langsung pergi. Ajeng merasa bingung dengan semua perkataan kak Farah tadi, dia melangkahkan kakinya ke kamar, ternyata Pila sudah pulang. Beberapa hari ini dia selalu berpamitan kepada Ajeng ingin mencari pekerjaan, tetapi setiap pulang dia selalu dalam keadaan mabuk. Ajeng sama sekali bingung dengan semua keadaan ini. Lalu dia duduk di depan cermin.
Aku masih tak mengerti perkataan Kak Farah tadi, apa Pila berbohong denganku? Tentu tidak. Aku sudah menyerahkan tubuhku padanya malam itu, kenapa dia mengingkari janjinya bukan?
Lalu Ajeng keluar dari kamar, keliling ke tetangga sekitar untuk melepas rasa bosannya, terdapat ibu-ibu yang sedang membicarakan Pila, tapi Ajeng mendengarnya.
“Eh Bu, saya liat Pila bawa cewek lagi ke sini. Gak ada kapok-kapoknya ya ngerjain kaum wanita hanya diperas tubuh dan hartanya saja,” ucap ibu berdaster merah.
“Iya Bu, emang ya si Pila itu laki-laki buaya darat. Jangan sampai anak perawan kita naksir sama dia, emang sih ganteng tapi perilakunya masyallah banget. Harus hati-hati bener kayaknya dia pakai susuk deh biar para wanita suka sama dia,” sahut ibu baju biru.
Ajeng bergegas menghampiri ibu-ibu tersebut.
“Mohon maaf Ibu, tadi saya sekilas dengar ibu-ibu ini sedang membicarakan calon suami saya ya? Ibu-ibu ini apa tidak ada pekerjaan ya? Kok hobi banget ngomongin orang.”
“Haha calon suami?” jawab ibu berdaster merah.
“Memangnya kenapa, Bu?”
“Udah deh, nanti juga tau sendiri haha,” jawab ibu baju biru.
Tak menjawab lagi pertanyaan Ajeng, ibu-ibu itu segera pergi. Begitu tanda tanya sekali semua ini, Ajeng merasa bingung dengan siapa Pila sebenarnya, yang Ajeng tau Pila adalah kekasih terbaik untuknya yang selalu mengerti keadaannya dalam keadaan suka maupun duka selama mereka berdua berpacaran. Ajeng tak menggubris perkataan ibu-ibu tersebut baginya mungkin hanya sirik semata.
Ajeng masih bingung dengan semua yang terjadi, dan Pila hari demi hari mulai berubah sikapnya. Beberapa kali dia sering mabuk ketika Ajeng menasehatinya dia marah dan hampir memukul Ajeng. Dia tak menyangka perilaku asli Pila terlihat begitu jelas saat mereka berada di Bali. Dengan terpaksa Ajeng harus bekerja di warteg agar bisa mendapatkan uang dan makanan. Akan tetapi, ketika Ajeng mendapatkan uang, gajinya selalu diambil oleh saudara sepupu Pila. Ajeng tetap diam, karena berbuat apapun tidak akan ada gunanya.
“Hmm, udah sore nih. Aku pulang ajalah.” ucap Ajeng sendirian.
Pakaian Ajeng sekarang begitu lusuh, wajahnya tak cantik lagi seperti dulu. Karena dia sudah tidak ada waktu untuk berdandan merawat tubuhnya sama sekali, selesai kerja pun Kak Farah selalu meminta Ajeng untuk membersihkan rumah.
Ajeng berjalan melewati tempat penjual sate babi, asapnya menutupi jalan Ajeng. Sialnya, ada genangan air yang membuat jalannya licin hingga Ajeng terpeleset jatuh ke jalan raya yang banyak sekali kendaraan bermotor lewat sore hari itu.
Tak sengaja ada orang yang mengendarai motor dengan kencang dan akhirnya ban motor tersebut melintas di kaki Ajeng hingga dia jatuh pingsan. Orang yang menabraknya, langsung pergi ketika yang ditabrak terlihat mengalami kecelakaan yang teramat parah. Beberapa warga yang melihat kecelakaan itu, langsung membawanya ke rumah sakit.
“Permisi, ada orang di rumah,” ucap salah satu warga.
“Iya Pak Wayan, tumben ke sini? Ada apa ya?” jawab Kak Farah.
“Itu lo, perempuan yang tinggal di rumahmu dan kerja diwarteg itu tadi kecelakaan, sekarang udah dibawa beberapa warga ke rumah sakit.”
“Haa? Bapak gak bercanda ‘kan?”
“Enggak, Farah. Ayo buruan ke sana.”
“Iya Pak, terima kasih sudah diberi tau.”
Kak Farah lalu masuk kedalam kamar Pila dan membangunkannya, untuk memberi tau keadaan Ajeng. Mereka berdua segera bergegas menuju rumah sakit untuk melihat keadaan Ajeng. Dan ternyata Ajeng berada di ruang UGD, ketika Pila dan Kak Farah datang.
Dokter yang menangani Ajeng segera memberi tau keadaannya, jika dalam waktu dekat ini Ajeng harus dioperasi demi kesembuhannya. Dokter juga memberi tau, bahwa kecelakaan yang dialami Ajeng sangatlah parah dan dia harus kehilangan kakinya yang sebelah.
“Harus dioperasi banget ya, Dok? Biayanya nanti pasti akan mahal?” tanya Pila.
“Iya agar pasien bisa terselamatkan,” jawab Dokter.
Pila dan Kak Farah bingung siapa yang akan membiayai biaya operasi Ajeng yang mahal ini. Lalu kak Farah mempunyai sebuah ide dan dibisikkan kepada Pila, Kak Farah mempunyai uang dan segera membayarkan untuk biaya operasi Ajeng. Setelah beberapa hari lewat, akhirnya Ajeng terbangun setelah masa operasinya.
“Pilaa.” Suara Ajeng lirih.
Pila langsung bangun dan mendekat ke Ajeng.
“Kamu udah sadar?”
“Iya Pil, tapi aku kok ngerasa aneh ya sama kakiku.
Ajeng pelan-pelan bangun dan melihat kakinya yang hilang satu. Ajeng mengingat-ingat beberapa kejadian yang dialaminya sebelum kecelakaan, ketika motor itu lewat melintas di kaki Ajeng, dia masih mengingatnya sangat jelas. Ajeng begitu kaget dan tak menyangka sekarang dirinya cacat. Pertama kalinya dia kaget dan berteriak sangat histeris.
“Aaaa … aku tidak mau begini … kembalikan kakiku,” teriak Ajeng sambil menangis.
Pila juga kaget teriak Ajeng begitu keras, dia lalu memanggil dokter untuk melihat keadaannya. Dokter memberi tau perawat untuk membius Ajeng agar tertidur sementara waktu. Tak begitu lama Kak Farah datang.
“Gimana Pil, udah bangun dia?”
“Udah Kak, terus dia pingsan lagi setelah tau salah satu kakinya sudah tidak ada karena kecelakaan.”
“Haha malangnya anak itu.”
Setelah Kak Farah dan Pila menunggu waktu cukup lama, akhirnya dia terbangun. Pila mendekat dan Ajeng memeluknya begitu erat sambil menangis dipelukannya.
“Pila, sekarang aku sudah cacat. Kakiku hanya tinggal satu, kamu masih mau bersamaku ‘kan?”
Tak menjawab pertanyaan dari Ajeng, Pila segera melepaskan pelukannya dan keluar ruangan. Sedangkan Kak Farah mendekat ke arah Ajeng dan tertawa didekatnya.
“Kenapa Kak Farah ketawa?”
“Haha lucu aja, Jeng.”
“Emangnya ada yang lucu, Kak? Atau Kakak sedang menertawakan karena kakiku yang seperti ini?”
“Kalau masalah kakimu aku juga turut prihatin sih, Jeng.”
“Lalu alasan Kakak ketawa apa?”
“Lucu aja, kamu tanya sama Pila apakah dia masih mau bersamamu haha? Jawabannya tentu tidak, asal kamu tau aja ya Pila mau sama kamu karena kamu itu cantik, tajir, dan bego haha. Bisa-bisanya ninggalin kedua orang tuanya hanya demi Pila, sumpah bodoh banget kamu, Jeng. Dan perlu kamu tau juga ya, Pila itu udah berkali-kali gonta ganti cewek cantik dan tajir, apalagi kamu yang sekarang pasti dibuang sama Pila begitu aja.”
“Gak mungkin, pasti kak Farah bohong ‘kan sama aku? Aku itu udah kenal Pila. Dia orangnya baik gak kayak yang Kakak omongin barusan.”
“Haha gue udah kenal Pila dari dia kecil sampai sekarang dia besar. Dia keliatan baik karena biar kamu bisa dimiliki olehnya dengan mudah.”
“Udah stop! Jaga ucapan kakak! Pergi sana!” teriak Ajeng sambil menangis.
“Gak tau diri banget kamu Jeng! udah berani-beraninya ya bicara gak sopan sama aku. Awas aja nanti ketika kamu pulang, kamu harus mengganti semua biaya rumah sakit ini karena yang membayar ini semua aku!”
Tak berbicara panjang lagi, Kak Farah segera keluar ruangan. Dia masih tidak percaya dengan semua ucapan kak Farah barusan, dia begitu percaya dan yakin bahwa Pila akan menerima keadaan Ajeng. Setelah pulang dari rumah sakit, Ajeng ingin menanyakan kembali kapan Pila akan menikahinya.
Lalu dia merebahkan badannya sambil menangis dalam ruangan, dengan memegangi kaki satunya yang masih utuh, dia menangis dan terus menangis belum bisa menerima keadaan ini semua. Berhari-hari Ajeng berada di rumah sakit, Pila dan Kak Farah pun sesekali juga tidak menengok Ajeng sama sekali.
Ajeng masih berpikiran positif dia berpikir mungkin Pila sibuk bekerja untuk membiayai kehidupannya dengan Ajeng ke depan. Ajeng pulang sendiri menggunakan kursi roda bekas yang diberikan oleh pihak rumah sakit.
“Assalamu’alaikum,” ucap Ajeng memasuki rumah.
“Iya siapa.” Kak Farah keluar dan membukakan pintu.
“Kak, aku pulang.”
“Oh udah pulang.”
“Kenapa Kakak sama Pila gak nengok aku sama sekali beberapa hari ini?”
“Haha, males!”
Ajeng segera masuk ke kamar pelan-pelan. Pila sedang tidur, Ajeng duduk disampingnya dan mengelus elus kepala Pila hingga dia terbangun dan tiba-tiba marah kepada Ajeng.
“Ngapain sih ,Jeng? Gangguin orang tidur aja.”
“Iya aku minta maaf, kamu kenapa sih, Pil? Beberapa hari ini kamu gak nengokin aku di rumah sakit? Dan pulang ke sini pun aku sendiri.”
“Udah gede ‘kan, Jeng? Masa manja terus sih?”
“Nggak gitu, ya udah gakpapa. Aku cuma mau tanya, kamu kapan nikahin aku, Pil?”
“Haha, nikah?”
Pila segera keluar kamarnya, Ajeng merasa bingung kepada Pila. Dia berkata akan menikahi Ajeng, tetapi dia sama sekali tidak ada niatan untuk membicarakan kelanjutannya dan ketika ditanya dia hanya tertawa.
Ajeng khawatir jika Pila benar seperti yang dikatakan Kak Farah waktu di rumah sakit. Ajeng sudah memberikan tubuhnya dengan cuma-cuma waktu itu kepada Pila, Ajeng masih bersabar dan akan bertanya kembali kepada Pila.
“Jeng, ini setrikain bajuku ya?” Kak Farah masuk ke kamar.
“Kenapa harus aku? Ini ‘kan baju Kakak? Dan aku baru aja pulang dari rumah sakit.”
“Oh mulai ngelamak lo ya? Tau diri dong, siapa yang bayarin biaya operasi lo itu? Gue tau! Lo harus ngelakuin apa yang gue suruh! Kalau enggak lo bakal tau akibatnya!” sambil menjambak rambut Ajeng.
Kak Farah keluar kamar, Ajeng menangis karena dia diperlakukan tidak baik terus menerus. Ketika malam harinya Pila tak ada di rumah, Ajeng masih menunggu Pila pulang ke rumah hingga dia ketiduran. Beberapa hari Pila tak pulang ke rumah, Ajeng begitu khawatir dengan keadaan Pila lalu dia bertanya kepada Kak Farah.
“Kak Farah, beberapa hari ini Pila enggak pulang. Kakak tau nggak di mana Pila?”
“Haha mana gue tau, udahlah gak usah nyariin Pila. Jahitin baju gue ini dong, robek! Benangnya ada di lemari situ.”
Ajeng segera menjahit baju Kak Farah yang robek, jika Ajeng menolak permintaan Kak Farah pasti dia akan dimarahi dan dianiaya olehnya. Setelah beberapa saat Ajeng selesai melakukan perintahnya, dia duduk di ruang tamu. Tak begitu lama, Pila datang membawa wanita cantik yang bertubuh sexy. Ajeng kaget melihat Pila, lalu dia bertanya.
“Pil, kamu dari mana aja beberapa hari ini gak pulang?”
“Sibuk ada urusan.”
“Terus siapa wanita ini?”
“Pacar baruku!”
“Pacar? Aku ini pacarmu, Pil? Dan aku juga calon istrimu ‘kan? Apa kamu lupa akan hal itu?”
“Haha bercanda kali ya lo? Mana mungkin gue mau nikah sama wanita cacat kayak lo!!!”
“Ha? Apa maksud kamu berbicara seperti itu, Pil? Bukannya waktu itu aku sudah menyerahkan tubuhku kepadamu? Lalu kamu berjanji akan menikahiku? Tidak hanya itu, aku meninggalkan kedua orang tuaku hanya demi kamu, dan juga ketika kita semasa pacaran kamu meminta uang kepadaku aku selalu memberimu. Lalu ini kah balasanmu untuku?”
“Haha udah lah gak usah sok drama, Jeng.”
“Dasar laki-laki brengsek!”
Pwaakkkkkk!!! Pila menampar Ajeng hingga dia yang duduk di kursi roda terjatuh ke lantai.
Ajeng tak menyangka, Pila tega berbuat kasar kepadanya. Ajeng langsung masuk ke kamar dan menangis di sana. Dia begitu menyesal karena memilih pergi bersama Pila dari pada bersama kedua orang tuanya. Keesokan harinya, Ajeng dipaksa oleh Pila dan Kak Farah memakai baju kotor yang sobek-sobek dan mukanya diberi kotoran. Ajeng dibawa didekat lampu merah pagi-pagi sekali, Ajeng dipaksa oleh mereka berdua untuk mengemis.
“Kenapa kalian membawaku ke sini? Maksud kalian apa?” tanya Ajeng.
“Ya untuk ngemis lah apa lagi hahaha,” jawab Kak Farah.
“Pila … antarkan aku pulang, aku ingin pulang ke rumah kedua orang tuaku.”
“Haha, hasilin dulu uang yang banyak buat bayar utang ke Kak Farah dan ngasih gue duit yang banyak. Baru gue anterin lo pulang.”
“Mungkin lima tahun lagi ya ‘kan Pil hahha,” ledek Kak Farah.
Pila dan Kak Farah segera meninggalkan Ajeng yang berada di lampu merah. Dia menangis di sana tak menyangka Pila laki-laki yang dia cintai dan sayangi tega-teganya berbuat seperti itu padanya. Tak begitu lama banyak orang yang iba melihat Ajeng dan memberinya uang.
Ajeng begitu lapar tapi dia tidak bisa berjalan untuk membeli makanan, datanglah seseorang membawakan roti kepada Ajeng. Dia begitu bersyukur masih ada orang yang membantunya. Sore harinya, terdengar gemuruh hujan deras, dan Pila segera membawa Ajeng pulang.
“Wahh hari pertama banyak banget Jeng hasil kamu ngemis, dapat limaratus ribu haha.”
“Bagi dong, Kak,” ucap Pila.
“Gak dulu! Biar Ajeng lunasin dulu biaya operasinya dia. Yang sepuluh juta itu kurang Sembilan juta lima ratus.”
“Yaelah.”
“Kalian puas? Sudah memperlakukan aku seperti ini? Mulai besok aku tidak mau mengemis lagi!” tegas Ajeng.
Pila dan Kak Farah mengancam dan menganiaya Ajeng jika dia tidak mau mengemis lagi. Hari semakin hari terus berjalan sudah hampir dua bulan Ajeng mengemis di jalanan yang berbeda, wajahnya begitu lesuh jarang diberi makan oleh Kak Farah, walaupun Ajeng sudah banyak membawakan hasil dia mengemis.
Badannya begitu kurus, Ajeng menangis atas semua yang terjadi ini, bagi dia ini sebuah karma karena Ajeng tidak mematuhi perintah kedua orang tuanya. Setiap hari Ajeng berdoa kepada Allah SWT, memohon ampunan atas segala dosa-dosanya. Serta meminta tolong kepada-Nya, untuk segera diberikan bantuan terlepas dari kejahatan yang dilakukan oleh Pila dan Kak Farah.
******
Ajeng begitu ikhlas atas semua yang dia alami selama di Bali. Beberapa hari kemudian, ada seorang pria memakai sarung dan baju koko menghampirinya. Ajeng terlihat sedang menangis dan merasa tidak kuat lagi jika harus berlama-lama dengan keadaannya yang sekarang.
“Kamu kenapa menangis?” seseorang pria itu menghampirinya.
Ajeng hanya terdiam, dia tidak mengenali pria itu. Ajeng takut jika pria itu orang jahat yang akan berbuat lebih jahat dari Pila dan Kak Farah.
“Tidak perlu takut, saya tidak akan berbuat jahat kepadamu. Jika saya bisa membantu, Insya Allah saya akan berusaha menolongmu.”
“Saya sedih, setiap hari saya selalu dipaksa mengemis di sini. Padahal saya tidak mau, ingin menolak dan pergi saya tidak bisa karena kaki saya seperti.” Ajeng mulai berani berbicara kepada pria itu.
“Sudah jangan bersedih, mari ikut saya.”
“Ke mana?”
“Ke musala, untuk salat dan membersihkan diri kamu.”
Ajeng dibawa pria tersebut menuju musala, lalu terdapat perempuan di sana yang membantu Ajeng membersihkan diri dan mengajaknya salat. Semenjak di Bali Ajeng sama sekali tidak pernah salat lagi, mungkin itu yang membuat Allah murka kepada Ajeng. Setelah selesai salat mereka bertiga mengobrol bersama.
“Perkenalkan nama saya Bagus Tri Wicaksono, ini adik saya yang bernama Ayunda Maharani.”
“Kalau saya Ajeng.”
“Kalau boleh tau kenapa Mbak Jeng mengemis di dekat jalan raya? Saya liat Mbak Ajeng masih muda. Dan mohon maaf, apakah Mbak sudah tidak punya keluarga?”
“Saya punya keluarga, tetapi saya melakukan suatu hal kebodohan kabur dari rumah meninggalkan kedua orang tua saya demi seorang laki-laki yang brengsek itu!” Ajeng mulai menangis saat bercerita.
Ajeng menceritakan dari awal hingga akhirnya, Bagus dan Ayunda juga turut bersedih mendengar cerita Ajeng.
“Jika boleh tau Mas Bagus ini siapa ya? Kok mau membawa saya ke musala ini?”
“Saya adalah Remaja Masjid yang membantu membersihkan masjid Mbak Ajeng, dan Ayunda adik saya adalah guru ngaji di musala ini. Sebenarnya saya sudah lama sering melihat Mbak Ajeng mengemis dibeberapa jalan. Tapi saya masih belum bisa menghampiri Mbak Ajeng karena sibuknya kegiatan di Masjid sebelah, Mbak.”
Ajeng hanya mengangguk, dan bersyukur Allah telah mendatangkan hambanya yang baik untuk membantunya.
“Mbak Ajeng apa ingin pulang ke rumah?” tanya Ayunda.
“Iya tentu saya ingin pulang, tapi saya tidak mempunyai uang untuk pulang ke rumah. Hasil setiap hari saya mengemis selalu diambil oleh mereka berdua.”
“Apa Mbak Ajeng mau saya dan Ayunda antarkan pulang ke rumah?” tanya Bagus.
“Iya saya mau. Tolong antarkan saya pulang segera, saya sudah merindukan ayah dan ibu.” Ajeng mulai meneteskan air matanya lagi, semenjak dia berada di Bali dia tidak pernah tau bagaimana kabar kedua orang tuanya.
“Kalau boleh tau, rumah Mbak Ajeng mana ya?”
“Gresik Jawa Timur, Mbak Ayunda.”
“Baiklah besok saya dan Ayunda akan mengantar Mbak Ajeng pulang ke Gresik. Sementara waktu, Mbk Ajeng tinggal di sini dulu ya bersama Ayunda yang akan menjaga hingga besok pagi kita berangkat bersama-sama.”
“Iya terima kasih, Mas Bagus … Mbak Ayunda. Saya senang bisa mengenal kalian berdua.”
“Sama-sama, Mbak Ajeng.”
******
Malam harinya Ajeng begitu cemas dan gelisah, padahal Bagus dan Ayunda sudah bersedia mengantarkannya pulang. Ajeng teringat beberapa kejadian yang menyakitkan selama dia di Bali. Dulu Bali bagi Ajeng begitu indah dan menarik, tapi begitu banyak duka yang dia alami selama dia di Bali.
“Bali tak seindah yang kubayangkan,” ucap Ajeng penuh dengan kesedihan yang mendalam.
Karena beberapa jam Ajeng terus teringat beberapa kejahatan yang telah dilakukan oleh Pila dan Kak Farah. Ajeng menjadi takut jika diajak oleh Bagus dan Ayunda, rasa khawatir dan cemas menyelimuti diri Ajeng.
“Apa aku pergi saja ya? Aku takut jika Ayunda dan Bagus akan membawaku ke tempat yang lain dan berusaha berbuat yang tidak-tidak kepadaku. Atau bahkan mereka berdua akan membunuhku karena suruhan dari Pila?”
Ajeng berusaha menaiki kursi rodanya sendirian untuk keluar ruangan musala. Karena Ayunda sedang tidur di kamar sebelah. Ajeng berusaha pelan-pelan keluar dari musala tersebut agar tidak ada yang melihat Ajeng.
Dia sangat terlihat kebingungan tidak tau mau pergi ke mana, dan sangat tidak mungkin jika Ajeng pulang ke rumah Kak Farah. Saat Ajeng terus berjalan menggunakan kursi rodanya yang diberikan oleh Bagus tadi, dari kejauhan Pila dan Kak Farah melihat Ajeng untuk segera menghampirinya.
“Ternyata kamu di sini ya, Jeng!” ucap Pila penuh dengan kemarahan.
“Kamu mau kabur ya, Jeng? inget hutang operasi kamu sama aku masih banyak, Jeng! kamu harus melunasi dulu!” sahut Kak Farah sambil menarik rambut Ajeng.
“Aku tidak mau mengemis Kak Farah! Berhenti menyiksaku! Tolong … tolong,” teriak Ajeng sangat keras.
Kebetulan Bagus lewat sekitar situ. Bagus segera berteriak meminta tolong kepada warga-warga disekitar. Pila dan Kak Farah langsung naik mobil untuk segera melarikan diri dari kepungan para warga.
“Sial, kita gak bisa dapetin Ajeng lagi. Gue gak mau tau lo harus ganti rugi semua biaya operasi Ajeng, Pil!”
“Gak bisa gitu dong, Kak. Dapet duit dari mana gue? Kalau gak dari hasil ngemisnya Ajeng. Udah tenang aja dulu, gue bakal minta bantuan temen-temen gue buat ngambil Ajeng lagi. Mau ke mana juga Ajeng di Bali? Dia gak punya saudara atau teman juga di sini.”
“Terserah lo!”
Ajeng menangis untung saja Bagus segera menolongnya, jika tidak kemungkinan Ajeng sudah dibawa kembali oleh Pila dan Kak Farah untuk dipaksa mengemis di jalanan.
“Terima kasih, Mas Bagus sudah menolong saya.”
“Iya sama-sama Mbak Ajeng, tapi kenapa Mbak Ajeng keluar dari musala?”
Ajeng pelan-pelan menceritakan rasa ketakutan dan kecemasnnya kepada Bagus. Setelah melihat Bagus menolongnya, Ajeng tidak mempunyai rasa curiga lagi terhadapnya. Dan dia juga meminta maaf kepada Bagus karena telah berburuk sangka kepadanya dan Ayunda.
Pagi harinya, Bagus meminjam mobil untuk menghampiri Ayunda dan Ajeng yang berada di musala. Setelah beberapa jam melakukan perjalanan akhirnya Ajeng sampai di rumahnya. Terlihat bapak yang sedang duduk di teras, bapak melihat Ajeng yang keluar dari mobil lalu berteriak menghampirinya.
“Sayangku, Ajeng … anak Bapak.”
Ajeng langsung memeluk bapaknya begitu erat sambil menangis.
“Ajeng apa yang terjadi padamu? Kenapa kakimu seperti ini, Nak?” tanya bapak.
Ajeng dan semuanya langsung masuk ke dalam rumah. Ajeng menceritakan semua yang terjadi di Bali bersama Pila. Ajeng mengakui kesalahan dan penyesalannya, dia kebingungan mengapa ibunya tidak ada di rumah, bapak meceritakan bahwa ibunya telah tiada karena sedih terlalu dalam hingga sakit terus menerus selalu mempikirkan Ajeng. Dia menangis dengan histeris dosanya begitu besar kepada kedua orang tuanya. Dia meminta ampunan dan memeluk bapaknya.
TAMAT.
No comments:
Post a Comment