Oleh Abi Subekti
Side Story #2
30 Juni 2019. Selepas Ai meninggalkan kosan. Setelah Haris membuka amplop.
"Tulisan apa ini? China?" Haris mengerutkan dahi hingga kedua alisnya hampir bertaut.
Di dalam amplop pemberian Ai yang tebal ternyata tidak hanya berisi sejumlah uang. Terdapat juga selembar kertas tambahan, ditujukan untuk Dona, dengan aksara asing tergores di atasnya.
Dona menatap lekat kertas pemberian Haris yang kini dalam genggamannya.
"Ya, gak salah sih. Tapi lebih tepatnya ini kanji, aksara China yang yang diserap dalam sistem penulisan Jepang. Dibacanya ... Ai."
Haris menoleh bingung. "Nama ... Ai? Apa artinya?"
"Tulisannya berarti cinta ...." Dona mengarahkan tatapannya pada Haris.
Tatapan keduanya bertemu. Ada kesan menyelidik dari bola mata kecoklatan Haris yang setengahnya tertutup kelopak mata akibat pandangannya yang menyempit. Ia masih belum mengerti dengan hubungan temannya itu. Goresan aksara di atas kertas ini mengejutkan sekali bagi Haris. Ditambah, kata-kata Ai pada Akmal jika ia telah bertunangan dengan orang lain.
Apa itu Dona? Hanya sekadar asumsi liar dalam benak Haris.
“Pernyataan cinta?” Hampir saja mulutnya menyimpul tanya mengenai tunangan yang dikatakan Ai tadi, tapi ia urungkan.
“Kurasa tidak.” Dona menelengkan kepala, kemudian tersenyum tipis. Ia menurunkan kertasnya hingga ujungnya bersentuhan dengan permukaan taplak meja. Separuhnya lagi masih dalam genggaman. Tatapannya lantas beralih menerawang jalanan gang yang sepi.
***
Oktober 2017
“Silakan buat kelompok dua orang-dua orang. Gak usah cari teman yang udah kenal. Orang di samping kalian langsung jadi kelompok!”
DEGG!
Begitu arahan kating pendamping “suku” selama ospek selesai. Dona serta merta memutar pandangan ke perempuan yang tepat di samping kanannya. Setiap suku yang menjadi kelompok mahasiswa baru, dibariskan per dua banjar di halaman utara UIB pagi ini.
Tatapan mereka bertemu sepersekian detik sebelum masing-masing saling membuang pandangan.
Seluruh mahasiswa baru riuh. Suara-suara antusias timbul tenggelam dibawah hangatnya sinar mentari pagi. Ini baru hari pertama ospek, namun kejutannya sudah tak terduga.
Dona mencoba mengulurkan tangan, berniat kenalan. Ia merasakan jantungnya berdebar kencang sampai-sampai serasa tepat di samping telinga.
Bukan apa-apa, Dona canggung dan malu. Perempuan di sampingnya terbilang tinggi dari perempuan pada umunya, seratus enam puluh delapan sentimeter. Perawakannya sedang, rambutnya dikuncir kuda dengan poni berujung lancip di samping kanan kiri wajah. Wajahnya juga tak seperti lumrahnya perempuan di kota ini. Wajah oriental asia timur. Hangatnya cahaya matahari membuat wajah putihnya nampak kemerahan.
Perempuan itu menggerakkan tangannya menyambut uluran tangan Dona.
“Aika. Aikawa Rachma.”
Meski Dona mengulurkan tangan terlebih dulu, tapi Ai lah yang pertama kali memperkenalkan diri.
“Dona Mardianto. Salam kenal.”
Sejenak Ai merasa namanya terdengar seperti nama perempuan, sebelum mendengar nama belakangnya yang khas laki-laki. Perempuan berambut kuncir itu lantas sedikit membungkukkan badan. “Yoroshiku onegaishimasu.”
Dona gelagapan mendengar apa yang dikatakan Ai barusan. Dirinya tidak tahu harus menjawab apa. Ia seorang penyuka anime sejak SMP, tapi jika dihadapkan langsung dengan sesuatu yang berbau jejepangan, dirinya pasti kalang kabut. Seumur-umur jadi penyuka anime, Dona bahkan tidak pernah mengunjungi festival tentang anime maupun budaya Jepang. Belajar bahasa Jepang pun ia tidak kepikiran.
Kepalanya hampir saja menggeleng kebingungan sebelum Ai menjelaskan kalimatnya tadi.
“Senang berkenalan denganmu.” Ai memperjelas kata-katanya.
“Senang ... berkenalan denganmu juga,” jawab Dona terbata-bata. Pandangannya tertunduk pada paving di bawah kaki mereka.
Ai lantas tersenyum hangat. Dona kembali menegakkan pandangan, menatap Ai sejenak sebelum akhirnya membuang tatapan.
Pembentukan kelompok per dua orang bertujuan agar para mahasiswa baru cepat saling mengenal satu sama lain. Meski barangkali diantara mereka tak sengaja mendapat teman kelompok yang sudah saling kenal sebelumnya. Selain itu, dengan berkelompok akan memudahkan masing-masing menyiapkan keperluan ospek yang harus dibawa keesokan harinya. Karena dengan berkelompok juga mereka bisa saling melengkapi kebutuhan ospek masing-masing jika ada yang kurang.
.
.
Lima hari kemudian, ospek berlalu dengan cepat. Selama satu kelompok, Dona banyak canggungnya ketimbang Ai yang lebih mengalir. Setiap kali istirahat atau sepulang ospek, Dona selalu digoda teman-temannya lantaran satu kelompok dengan Ai yang lekas populer di kampus karena kecantikannya yang tidak biasa.
Di sisi lain, Ai merasa sebaliknya. Ia melihat Dona dari sudut jenakanya yang seringkali bertingkah lucu. Ia jarang mendapat kesempatan tersebut lantaran kebanyakan laki-lakki yang mendekatinya hanya modus belaka. Sementara laki-laki yang ia rasa bisa sefrekuensi dengannya selalu minder untuk mendekat. Pun dengan Ai yang akhirnya juga malu berujung untuk akrab dengan mereka.
.
.
Perkuliahan semester satu sudah berlangsung tiga minggu. Baik Dona maupun Ai tak pernah saling berkirim pesan lagi seperti saat satu kelompok dulu. Di kampus pun keduanya hanya akan saling melempar senyum dengan sapaan sekadarnya ketika berpapasan.
Dalam hati kecilnya, Dona sebenarnya ingin mengajak ngobrol Ai ketika mereka tidak sengaja bertemu, tapi hal itu selalu tertutup oleh rasa malu serta rendah diri.
Ia tidak cukup goodlooking, menurut penilaian Dona sendiri. Penampilannya biasa, selera hiburannya biasa, hanya mahasiswa yang biasa-biasa saja. Ada bekas lubang tindik di telinga kanannya yang membuat Dona semakin merasa inferior. Dona berpikir Ai mungkin sudah berprasangka yang tidak-tidak terhadapnya sedari awal.
Pukul dua belas siang, Jam kuliah hari ini selesai. Dona beserta rombongan temannya keluar kelas, menysuri koridor lantai dua. Lantas berbelok kiri menuruni tangga. Dari bawah tangga, Ai berjalan beserta teman-temannya yang lekas beranjak naik.
Mereka berdua berpapasan. Lagi-lagi tak ada sapaan ramah terdengar. Hanya sekelebat senyum yang beradu.
Sebelum Dona akhirnya membulatkan tekad meski mulutnya terasa kelu setiap akan bersuara.
“Ai,” panggilnya beberapa saat sebelum jauh.
Ai menoleh. Ia menghentikan langkah, tertinggal di belakang dari teman-temannya yang lain. Sementara tema-teman Dona mulai menggodanya dari bawah tangga, disusul riuhnya tertawaan sesaat.
“Selesai jam kuliah, ada waktu?”
Ai mengangguk.
“Bisa ngobrol sebentar?”
“Lama juga boleh.” Bibir Ai kembali melepas senyuman. Ia mengguratkan rasa “akhirnya” karena selama ini ia bermaksud sama dengan Dona, tapi terlalu malu untuk diungkapkan. Seperti umunya perempuan lain, rasa malu yang mungkin lebih tepat disebut gengsi.
“Dimana?” tanya Ai.
“Keluar kampus barangkali.”
“Di kampus aja gimana? Males keluar, hehe.”
Dona mengangguk. Ia menyimpan rasa sumringahnya di balik senyum tanggung. “Oke, aku tunggu.”
.
.
Waktu kembali berlalu semenjak hari itu. Keduanya kini jauh lebih akrab dari sebelumnya. Dona kini mengetahuui bahwa Ai ternyata menekuni bidang modeling yang dimulainya sejak pertengahan SMA, meski saat ini, Ai juga tengah bergabung dengan Resimen Mahasiswa di kampus.
Mereka pun pernah main ke rumah masing-masing. Dona beberapa kali juga pernah mengantar Ai untuk pemotretan. Meski seringnya, Ai akan diantar kakak laki-lakinya sendiri.
***
Desember 2018. Semester tiga perkuliahan.
Hubungan Dona dan Ai sempat merenggang di semester dua. Mereka sulit bertemu hanya untuk sekadar jalan lantaran keduanya larut dalam kesibukan masing-masing. Jarang bertukar kabar, serta elum lagi Ai jadi sulit dihubungi, kalaupun Ai menghubungi balik, itu hanya seadanya. Dona berpikir mungkin ia tengah dekat dengan orang lain.
Dari sana Dona kembali sadar diri meski harus sekuat tenaga menahan letupan perasaan. Tak apa lah hanya pernah dekat sebentar. Namun, besar harapannya untuk dekat kembali dengan Ai.
.
Dona baru saja menapak turun dari tangga begitu melihat sosok Ai berjalan di depannya. Ia terkesiap, merasakan ada adrenalin tak biasa menyerap benaknya. Kebetulan yang tak diduga.
"Ai!" teriak Dona. Suranya terdengar gemetar, dan lagaknya cannggung.
Ai menolehkan kepala nenuju sumber suara. Lantas tersenyum lalu membenarkan posisi tote bag pada bahu kiri. "Hai."
Tidak hanya Dona, Ai pun juga merasakan canggung. Lama mereka tidak bersua.
"Mau ke kantin dulu? Atau langsung pulang?
"Kantin dulu bolehlah, aku haus."
Hari ini perkuliahan Dona maupun Ai telah berakhir. Tidak ada kerja kelompok, tugas praktik, ataupun tugas tambahan perkuliahan lainnya di kampus. Hanya tugas rumah seperti biasa. Mereka bedua beda jurusan, dengan jadwal kuliah yang berbeda pula. Dona Mnajemen, Ai Akuntansi.
Selesai memesan, keduanya duduk berhadapan di bangku kantin, Ai menata rambut hitam panjangnya yang tergerai dengan kedua tangan, mulutnya menggigit ikat rambut. Tak berselang lama ia mengikat rambutnya yang kini nampak seperti ekor kuda.
Ada alasan lain Ai jarang membalas chat Dona, dan ada alasan lain juga Dona berharap bisa dekat kembali.
“Gimana kabarnya?” Hanya basa basi konvensional.
“Baik. Kamu?”
“Baik juga kok. Nanti ada pemotretan kah?" tanya Dona dengan ragu. Tangannya memutar-mutar sedotan dalam gelas es cokelat yang baru datang.
Pukul sebelas lebih lima belas siang. Pelataran utara UIB diguyuri sinar matahari yang menyengat siang ini. Angin hanya berembus seadanya membuat kantin kecil dengan atap asbes ini terasa panas.
"Ada, sore," ucap Ai singkat, lalu bibirnya bergerak menyeruput segelas es kopi, "kamu ada acara hari ini, Don?"
"Enggak sih. Hanya ngerjain tugas rumah aja. Giamana perkembangan modelingmu?"
Mata keduanya bertemu sebentar sampai Ai menundukkan kepala mengamati gelasnya. Ai menangkap kesan positif dari pertanyaan Dona. Mungkin dari sekian banyak teman laki-laki, hanya Dona yang selalu percaya pada pencapaian dirinya. Bukan sekadar perhatian romantisme, tapi motivasi positif bahwa Ai harus menjadi diri sendiri dalam mengejar apa yang ia cita-citakan. Hati Ai bimbang.
"Ya, begitulah. Orang tuaku mulai melarang seperti biasa, dan aku berontak seperti biasa. Menurutmu apa yang harus kulakukan?"
Sebenarnya, sedari awal orang tua Ai mendukung hobi modeling anak bungsunya itu. Namun, hal ini berubah ketika mereka mengamati dunia modeling puterinya mulai meluas kemana-mana. Ai yang terlanjur nyaman akhirnya menjadi kerap berselisih paham dengan orang tuanya tentang bagaimana ia harus menjadi seorang model.
"Butuh saran atau hanya sekedar curhat?"
"Menurutmu?" Ai meletakkan kepalanya di atas meja, beralaskan kedua lengan. Matanya bergerak kesana kemari tanpa maksud yang jelas.
Dona justru tertawa. Seakan tak percaya, setelah sekian lama, momen bersama Ai kini kembali.
“Maaf-maaf. Menurutku, kembali ke dirimu sendiri Ai. Jika menurutmu apa yang kamu lakukan berdampak baik jangka panjangnya ya silakan. Bagaimana resikonya, apa yang kamu dapat dari itu, dan apakah yang kamu pertahankan saat ini bisa mengantarkan pada cita-citamu di masa depan? Hanya kamu yang tahu kan. Kebanyakan orang tua pasti menginginkan kehidupan anaknya lebih baik, meski terkadang cara mereka seperti tidak baik di mata kita. Jadi alangkah baiknya komunikasikan lagi dengan orang tuamu Ai. Barangkali dengan merubah konsep modelingmu mereka akan setuju dan kembali mendukung."
Mendegar jawaban Dona ada perasaan tenang menghinggapi hati Ai. Perempuan itu masih tertunduk. "Mereka memintaku untuk berjilbab. Orang tuaku membolehkan dengan sayarat itu."
Dona nampak menimbang-nimbang apa yang akan ia katakan kali ini. Hal semacam ini adalah sesuatu yang sensitif bagi beberapa orang, tak terkecuali Ai. "Hmmm, menurutku tak ada salahnya untuk dicoba."
"Ya."
Dona ikut menunduk memandangi es cokelatnya yang tinggal separuh. Berpikir apa kata-katanya barusan salah.
Ai kemudian menegakkan kepalanya kembali. “Menurutmu aku cantik gak kalau berjilbab?”
“Ha,” Tengorokannya tercekat, “can ... cantik kok. Mungkin.” Dona membuang muka. Ia tidak berani membalas tatapan teman perempuannya itu.
Raut muka Ai berubah jutek.
“Pastinya ... tetap cantik dong ... emang ad ngaruh?” ucap Dona mencoba memperbaiki perkatannya.
“Mungkin,” jawab Ai sambil tersenyum. Ia kemudian beranjak dari kursi, lekas melangkah. “Aku pulang dulu ya Don. Terima kasih sarannya.”
Dona terksiap melihat Ai langsung cabut. Ia ikut berdiri. “Sebentar, gimana dengan menwa?”
“Baik. Aku tambah semangat setiap latihan.”
“Malam Minggu ada waktu?”
Ai mengangguk. Ia setengah tersenyum, air mukanya terlihat manis.
“Aku chat aja nanti. Hehe.”
Bunga-bunga kembali mekar di dalam hati Dona. Dirinya yakin, masih ada kesempatan. Ai menurutnya bukanlah perempuan yang gampang didekati jika tidak merasa cocok dengan diri Ai sendiri. Dan sedari awal Ai merasa cocok dengannya. Dona memutuskan untuk segera mengutarakan perasaannya sembari menanti waktu yang tepat.
“Oke.” Ai berbalik, melanjutkan langkah menuju kasir lantas membayar.
***
Butir demi butir air terjun dari langit. Titik-titik air menghujam tanah membentuk pola, semakin rapat, semakin rapat memebentuk genangan air. Deru suara hujan memukul genting rumah. Berbaur dengan semilir angin yang meniupkan udara dingin.
Malam Minggu ternyata datang tidak seperti yang diinginkan. Dona duduk di kursi meja belajar di dalam kamarnya. Kedua lengannya menumpu meja, memegang ponsel, lalu berselancar kesana-kemari melampiaskan kecewa.
Dari balik kaca jendela yang setengah kelambunya terbuka, rinai hujan terus mengguyur. Seantero Blitar Raya hujan deras. Ai dan dirinya sepakat membatalkan rencana jalan mereka. Barangkali minggu depan atau kapannya lagi yang sama-sama senggang.
Kling!
Pesan chat masuk. Dari Tia─teman satu kelas Dona sewaktu SMK. Mereka berdua masih sering kontak satu sama lain. Saat ini keduanya pun sama-sama kuliah di UIB, tapi beda jurusan. Tia mengambil prodi Administrasi Publik.
Sebuah pesan gambar masuk. Dona menunggu pengunduhannya selesai.
Ternyata tagkapan layar dari status whatsapp Ardi, kakak tingkat menwa Tia, kakak tingkat Ai juga tentunya. Tia dan Ai adalah teman satu angkatan di menwa UIB.
Sependek yang Tia tahu, Ai adalah teman dekat Dona. Yang mana justru dalam status wa tersebut, dua puluh menit sebelumnya, Ai justru tengah makan bersama Ardi di sebuah kafe. Makanya ketika melihat hal tersebut, Tia langsung mengambil tangkapan layar, lalu menannyakannya langsung pada Dona.
Dada Dona bergetar. Hatinya bergejolak penuh tanya. Bagaimana bisa. Malam ini hujan masih turun. Janji mereka batal, dan saat ini Ai tengah menikmati makan bersama orang lain. Kakak tingkat menwanya lagi.
Selama dekat dengan Ai, Dona terus memikirkan bagaimana jelasnya perasaan dirinya mengenai Ai. Ketika kedekatan mereka merenggang pun perasaan itu malah menjadi-jadi yang ditahannya sekuat tenaga.
Selalu terbersit dalam benak Dona untuk menyatakan apa yang dirasakannya pada Ai, tapi ia bimbang. Ia merasa jawabannya telah jelas bahkan sebelum mengungkapkannya. Dan ya, nampaknya sudah sangat jelas.
“Enggak, kami cuma temen biasa kok.”
“Pikirku pacaran Na, dirimu dengan Ai. Maaf ya, aku juga kaget sih.”
“ ....”
“Tapi Na, emang Ai dan Bang Ardi di menwa keliatan selalu akrab sih.”
“Bagus dong. Lah lu akrab sama siapa?”
“Akrab sama orang tua lah :):),” balas Tia dalam ruang chat.
“Dih.”
Dona hendak menulis terima kasih pada Tia. Namun ia urungkan. Ungkapan itu bisa disalah pahami olehnya.
.
.
Keesokan lusa, Dona dan Ai bertemu lagi di kantin kampus. Mereka mengobrol seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Karena faktanya memang tidak terjadi apa-apa.
Dona berulang kali memikirkan apakah ia harus bertanya mengenai perasaan masing-masing saat ini. Apakah perlu? Apakah pantas? Pikiran itu terus berputar di kepalanya, kemudian menguap begitu saja terbawa angan-angan. Ia terus saja ragu-ragu.
“Eh besok siang ada kuliah?” tanya Ai di sela menyeruput es di kantin kampus.
“Ada sebenarnya, tapi kosong diganti lusa. Ada apa?”
“Kalau mau, boleh anterin pemotretan di studio di kota? Mungkin mulai pemotertan besok aku akan biasain pakai jilbab” Ai tersenyum malu-malu.
DEG!
Dona mengangguk kecil. Dadanya berdegup seiring harapannya yang timbul tenggelam ditengah perasaan campur aduk yang coba terus diredamnya.
Keesokan harinya.
Setelah bersiap akan berangkat, sebuah pesan mendarat dari Ai. Ia memohon maaf ke Dona karena dirinya telah berangkat lebih dulu sedari pagi. Ai mengatakan Bang Ardi menawarkan tumpangan karena kebetulan dia ada urusan yang jalannya satu arah dengan studio pemotretan. Dona tak langsung menjawab. Ia membuang ponsel ke atas kasur. Merebahkan diri, berdebum diantara bantal dan guling.
Matanya terpejam, menarik napas panjang-panjang, lalu dihembuskan setenang mungkin. Harapannya seketika runtuh. Perasaan Dona campur aduk tak karuan. Ia merasakan ada beban kuat menekan dada. Begitu menekan sampai ia harus berulangkali mengambil napas panjang. Jemarinya begitu berat digerakkan untuk mengetik balasan sampai misscall dari Ai memaksanya untuk lekas menyusun kalimat balasan. “Iya gak papa Ai. Ganbare!”
.
Dua minggu berlalu. Hubungan mereka berdua kembali merenggang. Jauh semakin renggang.
Ai sibuk dengan kegiatan-kegiatannya yang lain. Seminggu sebelumnya ada diklat lanjutan di menwa yang di sisi lain membuat Ai justru semakin dekat dengan Ardi.
Jika ditarik ke belakang, kedekatan mereka sebenarnya sudah terjalin lama. Sejak dua bulan yang lalu meski di satu sisi Ai juga tengah dekat dengan Dona sebelumnya. Kedekatan yang terjalin pelan, sangat halus yang tanpa disadari Ai, hatinya kini lekas bertaut ke tumpuan lain. Menutup perasaanya pada Dona yang lebih dulu hadir.
Di lain sisi, Dona semakin terpuruk dengan perasaanya sendiri. Ia mencoba mengalihkan pikirannya bahwa kedekatan mereka selama ini hanyalah sebatas teman belaka. Dirinya saja yang terlalu menganggap lebih.
.
Empat hari kemudian. Dona baru mendengar kabar dari Tia bahwa Ai dan Ardi akhrinya jadian.
.
.
Januari 2019.
Hari ini, sepulang kuliah, Dona mengajak Ai untuk bertemu di balkon lantai tiga kampus. Kebetulan Ai ada latihan menwa. Jadi ia meminta untuk bertemu sore hari di sela istirahat latihan. Dona membulatkan tekadnya. Meski tahu apa yang telah terjadi. Terpenting baginya saat ini adalah bagaimana perasaanya bisa lega, dan satu-satunya cara adalah mengungkapkannya pada Ai.
Angin bertiup mengibaskan rambut Dona yang lekas memanjang. Matanya menatap hamparan hijau batang-batang padi di timur gedung kampus. Pegunungan berjajar di sisi selatan, menjadi pagar batas ujung cakrawala. Ia setengah berdiri dengan kedua lengan bertumpu pagar tembok yang memutar sepanjang balkon bangunan kampus.
Lantai tiga gedung utama kampus seolah menjelma dunia atas yang diberkahi sinar matahari berlimpah ruah. Suasananya adem, terang dan bersih. Di tengah antara gedung sisi timur dan baratnya membentang kanopi hijau dari selatan hingga ujung utara. Ini tak seperti dua lantai dibawahnya yang teduh dan lebih "gelap."
Suara derap kaki terdengar. Suaranya tenang dengan hentakan berat menyentuh lantai. Ai berjalan mendekati Dona yang telah menunggu kedatangannya. Dona menoleh setenang mungkin. Desiran adrenalin merayapi badannya. Jantungnya bertalu kencang tak beraturan.
Aura kecantikan Ai memancar dari balik balutan seragam menwa yang kini dipadukan dengan jilbab hitam. Dona tereperanjat, pertama kali dirinya melihat langsung sosok Ai yang menurutnya kini terlihat berbeda. Sedetik kemudian ia tersadar akan tujuannya kemari.
"Hai Dona. Maaf, lama ya nunggunya." Ai mendekat dengan ramah, wajahnya menampilkan keceriaan. Lantas menjajari Dona yang masih dalam posisinya semula.
"Enggak. Sekalian ngadem nih. Gimana latihannya?" Dona berbasa-basi.
"Lancar dong. Kuliahmu?"
Dona tersenyum. "Lancar kok."
Hening. Keduanya diam, hanya saling melempar padangan kesana-kemari.
"Ai."
"Ya."
"Apa ... ada ... sesorang ... yang kamu sukai?"
DEG!
Ai kemudian paham tujuan Dona mengajaknya bertemu. Sebenarnya Ai sendiri tidak menyangka sewaktu Ardi menyatakan perasaannya dulu secara tiba-tiba. Ia bimbang mengingat sebelumnya dirinya lebih dulu dekat dengan Dona. Akrab. Namun, Dona yang tak kunjung menyatakan kejelasan perasannya sering membuat dirinya ragu. Ia kadang berpikir bahwa hubungan mereka berdua hanyalah sebatas teman ... juga.
Hal itu yang membuat Ai akhirnya mengikuti kata hatinya. Merasa terlanjur nyaman bersama Ardi.
"Kenapa?"
Dona memutar badan. Menatap Ai dalam-dalam. "Aku menyukaimu Ai."
Entah mendapatkan kekuatan dari mana, Dona dengan tegas langsung mengatakannya tanpa terbata-bata. Jantungnya masih bertalu kencang, tapi hatinya telah bulat.
Ai terkesiap. Ia seketika terdiam. Perasaan aneh menyeruak dalam benaknya. Ia tidak mengerti perasaan macam apa itu.
Perasaan bersalah? Aku merasa bersalah telah menerima Ardi? Tidak, menurutku tidak.
Ai tak menyangka Dona akan seblak-blakkan ini. Lidahnya kelu ketika berusaha menyimpul kata. Ia telah menjalin hubungan dengan Ardi. Lalu apa yang harus dikatakannya pada Dona.
"Aku sudah tahu tentangmu dan Ardi. Selamat ya."
"Don ...."
Dona tersenyum, memalingkan muka, matanya kembali menatap hamparan hijau persawahan. Angin menderu, menerpa perasaan canggung dua remaja itu.
"Aku tidak akan mengacau. Aku ... hanya ... hanya sekedar ingin mengungkapkan perasaanku selama ini padamu Ai," Dona menatap Ai kembali, "ya barangkali bisa membuatku lebih lega,” Dona tersenyum lebar, senyum lega keputusasaan, “dan ya, aku merasa lebih lega sekarang. Fyuh." Ia membuang napas panjang.
"Dona aku minta maaf ...."
"...."
Mereka berdua terperangkap tatapan masing-masing.
"Maaf untuk?"
"Segalanya. Segalanya ... Hontou ni gomennasai ne (Aku sungguh minta maaf)" Ai membungkukkan badan dalam-dalam.
"I ... iya, ki ni shinaide kudasai. Daijobu desyo. Ahaha (Ti ... tidak. Jangan dicemaskan. gapapa kok)” Dona tertawa sembari menggaruk kepala bekakangnya yang tidak gatal.
“Tidak ada minta maaf jika dirimu tak pernah melakukan kesalahan apapun, Ai."
"Aku mengingkari perasaanku sendiri─"
"Tidak. Kau justru mengikutinya dengan benar."
klik untuk mendengarkan
Pretender – Official HIGE DANdism
Original source: https://www.youtube.com/watch?v=TQ8WlA2GXbk
.
.
.
Mereka kembali terdiam. Angin kembali bertiup menerpa tubuh keduanya. Memutar kenangan dalam kepala masing-masing.
"Yakinlah pilihanmu sudah benar, Ai. Aku berharap tidak ada perbedaan dalam perteman kita. Aku menyadari posisiku di mana saat ini." Dona tersenyum. Senyum yang dilega-legakan. Sementara tatapan Ai masih mengurungnya.
"...."
"Jangan serius-serius," tangan Dona bergerak menepuk lengan atas Ai, membuat Ai merekahkan bibirnya untuk tersenyum canggung, "ini hal biasa dalam perjalan remaja kan."
"Ya ... aku rasa," balas Ai singkat. Ia menahan senyumnya.
"Baiklah. Aku permisi dulu. Maaf, waktu istirahatmu terganggu."
Dona melangkah meninggalkan Ai yang masih terpaku di tempatnya semula. Perasaannya kini terasa enteng. Beban yang mendesak di dada telah menguap bersamaan dengan menguapnya perasaan yang sebelumnya terpendam. Tidak ada lagi yang dirasakan Dona saat ini selain kelegaan mengutarakan apa yang seharusnya bisa ia utarakan sejak dulu.
"Dona. Kita masih bisa "bersahabat" kan? Aku masih boleh minta bantuanmu kan?"
Frasa baru dalam hubungan mereka. Kata alternatif untuk menyebut hubungan yang masih terjalin menjadi lebih dari sekedar teman.
Entah bagaimanapun pendapat Dona mengenai dirinya saat ini, Ai tidak peduli. Toh semuanya telah terjadi, dan Dona, seperti apa yang ia duga sebelumnya telah mengatakan perasaanya meski terlambat. Ai tidak mau kehilangan seorang teman yang pernah dekat dengannya dulu. Setidaknya pribadi positif Dona selalu bisa membuatnya nyaman. Terdengar jahat karena ia sekarang menjalin hubungan dengan Ardi─mungkin memang “jahat”
Dona balik badan, mengernyit sebentar. "Ya."
Ia mengeluarkan beberapa kopian kertas dari saku hoodie hitam yang ia kenakan, lantas menunjukkannya pada Ai. "Aku buka jasa joki tugas sekarang. Jadi silakan menghubungi jika ada perlu. Silakan scan nomor di sini,” ucap Dona, telunjuknya menunjuk kotak barcode di pojok kanan bawah.
"Ahahaha." Setelah tadi menahan bibirnya untuk tersenyum, kini Ai justru tertawa kencang melihat tingkah Dona. Ia melihat diri Dona yang tak berubah sedari mereka kenal dulu.
***
Pertemuan mereka usai. Ai kembali melanjutkan latihan. Sementara Dona mampir ke toilet dekat tangga lantai satu. Tidak untuk menuntaskan hajat. Ia hanya duduk di pinggiran bak keramik. Mengelap matanya yang sembab oleh air.
"Njir, njir ... kok yo nangis ... barang.” Dona mencoba menenangkan diri meski masih sesenggukan. Ia bermaksud mengambil selembar tisu lagi di genggaman yang kini ternyata tinggal bungkusnya saja. “Dih, entek."
.
.
.
.
“Don, flashbacknya udah selesai.”
Suara Haris menyadarkan Dona dari lamunan. Tanpa berkata apapun ia sekonyong-konyong melangkahkan kaki menuju ruang tengah.
“Tunggu Don, kalau boleh tahu. Kertas itu bakal kamu simpan?”
Langkah Dona terhenti di depan kelambu. Ia berbalik. “Hmm, sepertinya akan kubuang. Membuangnya ... ke tempat yang seharusnya.”
Haris terdiam. Dona seolah tak peduli dengan Haris. Ia melanjutkan langkah, menghilang di balik kelambu.
No comments:
Post a Comment