Oleh Abi Subekti
-Fragmen yang tidak terkait alur cerita utama.
#Kuitansi
KLINTING! KLINTING! KLINTING!
Lonceng kecil yang terikat di lehernya bergemerincing setiap kali badannya bergerak. Lari, berhenti, lari lagi, melompati parit, menerobos ilalang tinggi di tengah kegelapan malam yang dipeluk dinginnya udara persawahan. Ia berhenti lagi, mengengkat kepala, menoleh kesana kemari. Menundukkan kepala, mengendus-endus batang padi. Bola matanya membesar bulat memancarakan cahaya kuning terang. Kucing cokelat keabuan itu kemudian melangkah kecil, mengendus-mengendus parit. Seekor tikus kecil terlihat dalam pandangan thermal-nya.
Kucing itu mengendap hati-hati. Melangkah pelan-pelan, terus mendekat, semakin mendekat. Pinggulnya bergerak ke kanan ke kiri.
Hap! Tikus kecil yang malang itu langsung terperangkap dalam gigitan taringnya. Meronta sebentar, lalu terdiam selamanya.
Kucing berbulu panjang, dengan ekor menjuntai setengah lancip di ujungnya tersebut kemudian membuangnya ke tanah. Ia memilih tidak memakannya. Si pemilik baru saja menyuapinya dengan sebungkus makanan kucing. Membunuh tikus baginya hanya untuk bersenang-senang. Di keempat kakinya, terdapat semacam kaus kaki hitam. Di sisi dalam, kaki kiri depan, terpasang sebuah tabung kecil berwarna senada.
Kucing itu mengerang, lalu kembali berlari melanjutkan perjalanan. Ia melopat ke parit yang lebih tinggi, berjalan, lantas melompat lagi. Di depannya bukan lagi terhampar persawahan. Namun tanah lapang yang tidak terlalu luas.
Terdapat bangunan dengan atap plastik berdinding jaring rapat di samping kirinya. Di samping kanannya terdapat bangunan dan gedung-gedung. Ia berlari kecil ke arah bangunan. Melompat lagi menuju dua orang yang telah menunggunya di atas.
Satu dari mereka, si Perempuan kemudian berjongkok meraihnya. Kucing itu menggeliat, mengeong manja. Perempuan tadi lalu menggerakkan tangan, mengelusnya penuh kasih sayang.
“Jadi, ini kucingnya, Lunar?” Haris ikut membelai kucing jantan itu. Kucingnya kembali mengeong.
“Ya, namanya Ninja,” ucap perempuan yang dipanggil Lunar tanpa membuang pandangan dari si kucing.
“Niat banget kalian.”
Tidak membalas, Lunar menaruh kembali kucingnya di tanah. Memeriksa kaki kiri depan si kucing. Ia kemudian membuka tabung yang terpasanng dari lubang bawah. Mengambil kertas di dalamnya.
Coba lagi :)
Lunar langsung membuang kertas itu ke tanah lantas menginjak-injaknya. “TUMAN!”
Haris tertawa terpingkal-pingkal. Ia tak habis pikir setelah sekian lama menunggu Ninja yang mengantarkan pesan dari teman Lunar, ternyata kertas di dalamnya hanya bertuliskan coba lagi macam di tutup minuman alay-alay.
Lunar memeriksa tabung kecil itu lagi. Masih ada satu kertas terselip. “Sampek tulisane gosok terus, tak santet langsung cah-cah.”
Lantai tiga sisi timur. Ruang kelas ketiga dari tangga. Mejanya di sana berwarna merah. Berbeda dari yag lain, ternyata ada banyak laci didalamnya juga ada ubin yang berderak jika terinjak. Lantai dua, balkon paling timur, ada toren air oranye. Satu-satunya toren air oranye di kampus. kemungkinann besar di bawahnya. Tanah berlantai putih, kemungkinan sekitaran greenhouse Faperta (Fakultas Pertanian) tapi lokasi pasti belum diketahui.
Haris berkernyit. “Sulit sekali nampaknya.”
“Sudah belasan kali kami menafsirkan kodenya. Ini tafsiran baru yang dibantu oleh teman-temanmu, Ris. Bagaimana dengan lokasi terakhir, dirimu anak Faperta kan?”
Haris mengedarkan pandangan dalam gelapnya malam. Sisi selatan kampus minim penerangan. Hanya ada pantulan lampu dari rumah warga di seberangnya. Di depannya terhampar tanah lapang dengan dua bangunan greenhouse putih berdiri.
“Aku tak yakin apa kita harus mencangkul setiap jengkal tanahnya.”
“Mengangkat toren penuh air apalagi,” sahut Lunar. Tangannnya kemudian meriah Ninja, menggendongnya lagi. Lunar masih mengenakan kemeja mapalanya. Ujung celana kargo krem yang dipakainya digulung. Telapak kakinya beralaskan sandal gunung berwarna hitam.
Seminggu yang lalu, ratusan selebaran misterius bertebaran di setiap kelas UIB. Seluruh warga kampus heboh dibuatnya. Selebran itu memuat tulisan-tulisan yang membentuk kode aneh dan sebait penjelasan yang menyatakan bahwa ada tiga kuitansi resmi, bertanda tangan bank, tapi tak bernama yang didalamnya tertulis pembayaran penuh UKT dari semester satu sampai wisuda semester delapan.
Siapapun yang dapat menemukannya tinggal menulis namanya saja di dalam kuitansi itu, lalu menyerahkannya seperti biasa ke bagian keuangan. Maka ia sudah terbebas dari tanggungan pembayaran selama kuliah.
Seluruh mahasiswa yang ada berusaha keras menerjemahkan maksud dibalik kode itu. rtusan kemungkinan muncul hingga berdampak pada perkuliahan yang carut marut karena banyak mahasiswa justru berlomba-lomba mengejar kuitansi misterius itu. Hal ini sontak membuat rektorat kampus geram. Seluruh selebaran yang ada, baik yang teringgal di kampus maupun yang telah dibawa pulang harus diserahakan untuk kemudian dibakar.
Rektorat akhirnya melakukan konferensi pers guna meluruskan apa yang terjadi. Mereka mengatakan bahwa ini hanyalah akal-akalan orang iseng yang mengacau. Pihak rektorat menjelaskan bahwa kampus hanya memberi keringanan melalui beberapa program beasiswa dimana mahasiswa bisa mendaftarkan diri. Tidak dengan hal iseng yang tidak jelas jluntrungnya.
Bahkan demi benar-benar menghentikan euforia yang terlanjur meluas, pihak kampus akhirnya membuka program keringanan UKT satu semester bagi seluruh mahasiswa yang bersedia mendaftar dengan mengumpulkan persyaratan tertentu.
Taktik berhasil. Euforia mahasiswa terhenti dan kampus lekas kondusif kembali. Namun, beberapa mahasiswa masih meyakini bahwa selebaran aneh tersebut benar adanya. Mereka meyakini ada dermawan misterius yang melakukan ini. Mereka ada yang kemudian membentuk kelompok-kelompok kecil maupun bekerja individual memecahkan arti setiap bait kode demi mengungkap lokasi disembunyikannya kuitansi tak bertuan itu.
Termasuk Lunar dengan tiga orang temannya, yang kini menjalin kerjasama dengan Haris dan kawan-kawan. Malam ini, recananya mereka akan memeriksa setiap lokasi yang diyakini menjadi letak dari ketiga kuitansi itu, sesuai dengan penafsiran baru mereka.
Lewat tengah malam adalah waktu yang tepat untuk bergerak karena kampus telah sepi, menyisakan beberapa mahasiswa yang terbiasa menginap di sekret kampus, tapi mereka pun sudah masa bodo dengan hal ini. Penjaga kampus biasanya juga sudah tidur di pos depan. Beberapa kelompok lain meyakini bahwa lokasi kuitansi itu tidak hanya terbatas di dalam kampus lagi, bahkan ekstrimnya, diyakini bisa seantero Blitar Raya.
Suara derik jangkrik terus mengalun di keheningan malam. Mereka masih menunggu satu orang lagi, Vian. Kakak tingkat satu prodi Lunar, di prodi Hukum. Kalaupun malam ini ketemu, Vian tidak tertarik memiliki kuitansi itu. Ia hanya tertantang untuk kembali turut serta mencarinya. Vian juga telah berkali-kali menafsirkan kode itu dan ia menyerah. Ia lebih suka bersenang-senang dengan misteri dibaliknya saja.
Baik Haris maupun Lunar saat ini sama-sama diam. Mereka dulunya teman satu suku sewaktu ospek.
Tak berselang lama, terdengar langkah kaki menggaruk tanah dari arah belakang. Keduanya menoleh. Vian telah datang. Vian mengenakan kupluk. Memakai crewneck hitam dengan celana denim serupa. Sebuah senter kecil tergantung di pinggangnya.
“Kamu kaya mau maling aja, Mas,” celetuk Lunar begitu melihat katingnya yang baru datang.
Senyum terkembang di bibir Vian. “Bukannya emang iya?”
Lunar senyam-senyum sendiri. “Ya iya, ya enggak.”
“Gapapa lah, totalitas. Yuk, gimana nih kelanjutannya?” Ia melangkah mendekat. Kemudian menyalami Haris. Keduanya saling berkenalan.
“Mungkin Mas Vian mau baca kluenya dulu,” ucap Haris menawarkan. Lunar mengangguk, kemudian memberikan kertasnya untuk Vian baca.
Vian kemudian membaca tulisan dalam kertas itu. “Lantai tiga sisi timur. Ruang kelas ketiga dari tangga. Mejanya di sana berwarna merah. Berbeda dari yang lain, ternyata ada banyak laci didalamnya. Ada ubin yang berderak jika diinjak. Lantai dua, balkon paling timur, ada toran air oranye. Satu-satunya toran air oranye di kampus. kemungkinann besar di bawahnya. Tanah berlantai putih, kemungkinan sekitaran greenhouse Faperta (Fakultas Pertanian) tapi lokasi pasti belum diketahui.” Ia menatap Haris-Lunar bergantian.
“Sudah ada ratusan tafsiran beredar, tapi sampai sekarang belum ketemu. Setiap sudut kampus ini sebenenarnya juga sudah diubek-ubek. Kita sedang menghadapi ratusan kemungkinan. Namun, jika masih ada celah yang tak terpikirkan, nampaknya hal ini tidak terlalu buruk untuk di coba.”
Haris dan Lunar mengangguk bersama.
Lunar menurunkan Ninja dari gendongan, mengusap-usap punggung serta kepala Ninja membuat Ninja mengeong manja. Lunar kemudian menepuk punggung Ninja dua kali, kucing cokelat keabuan itu lantas berlari menjauh menuju persawahan, dan bergegas kembali ke rumah.
Ketiganya mengeluarkan alat komunikasi dari saku masing-masing. Earphone nirkabel. Mereka lalu memasangnya pada telinga masing-masing. Menyamakan frekuensi dengan teman-teman mereka di tempat lain sebagai pemandu.
Terdengar suara glitch. “Tes.”
“Terdengar jelas,” timpal Lunar yang diamini Haris dan Vian.
“Tes. Tes.”
“Kami sudah mendengarnya,” jawab Haris.
“Halo, tes.”
“UDAH KEDENGERAN COKRO!” Bentak Haris geram dengan kebiasaan temannya itu.
Suara cekakaan banyak orang terdengar dari seberang saluran.
“Udah, udah. Kita berpencar sekarang. Haris, kamu yang lebih tahu area sini. Jadi kamu di sini aja. Mas Vian cari di toren lantai dua. Aku ke lantai tiga.”
“Gapapa Lun?” Vian memastikan.
“Aman,” jawab Lunar enteng.
Mereka bertiga bersepakat. Tugas masing-masing sudah ditetapkan.
“Kalau ada yang ragu tanyakan saja,” terdengar salah satu teman Lunar ganti menjelaskan lewat saluran komunikasi, “jangan putuskan komunikasi. Jika takut kami akan temani ngobrol dari sini.”
Mereka bertiga bersepakat. Tugas masing-masing sudah ditetapkan.
“Kalau ada yang ragu tanyakan saja,” terdengar salah satu teman Lunar ganti menjelaskan lewat saluran komunikasi, “jangan putuskan komunikasi. Jika takut kami akan temani ngobrol dari sini.”
“Ya,” jawab ketiganya serempak.
Tak menunggu lama ketiganya kemudian berpencar. Lunar dan Vian melangkah menuju gedung utama. Kondisi gedung utama malam ini sangat gelap. Penerangan hanya terbatas di sudut-sudut dekat kamar mandi di samping tangga setiap lantai.
Hal ini sengaja diakukan agar tak ada mahasiswa yang berani “mengacak-acak” kampus lagi hanya untuk mencari kuitansi tak bertuan itu. sebenarnya tidak hanya gedung utama, ruang kuliah di sisi barat kampus juga gelap gulita, karena lampu hanya dinyalakan di pos dan gerbang depan. sama seperti di pelataran gedung utama. Selain minimnya penerangan, seluruh ruangan di kampus juga terkunci rapat.
Semenntara kedua temannya sudah bergerak, Haris masih berdiri di tempatnya. Ia memandangi kembali dua buah greenhouse yang berdiri kokoh di depan matanya.
"Pada tanah berlantai putih ... berlantai putih. Banyak tafsiran beredar, tapi tidak ada satupun yang sesuai. Dulu, kemungkinan terkuat artinya adalah ubin. Sembilan puluh persen ubin kampus ini berwarna putih, terlihat mustahil jika diartikan demikian. Sampai sekarang pun belum ketemu sama sekali," batin Haris.
Dalam hati kecilnya ia ragu karena lokasi pencariannya luas serta tidak spesifik, hal itu akan membuang banyak waktu. "Kecuali lokasinya di ruang-ruang khusus yang tidak boleh sembarangan dimasuki. Tafsiran terbaru ini, yang dimaksud tanah berlantai putih adalah greenhouse, memang sampai saat ini belum ada yang berpikir ke arah sana. Lantaran paving greenhouse lebih tepat berwarna abu-abu."
Ia kemudian melangkah turun berjalan menuju greenhouse pertama. Senter kecil di tangan kanannya menyorot ke beberapa arah yang didekap gelap serta dingin. Arloji di tangan kanan haris menunjuk pukul dua belas lebih dua belas. Kunci kedua buah greenhouse ini sudah digandakan Haris sewaktu praktek beberapa hari sebelumnya. Belum selesai ia memutar kunci gembok. Pikiran liar Haris kembali menghinggapi.
"Oh iya." Ia menekan tombol HT di pinggangnya. "Haris masuk. Aku ingin bertanya tafsiran apa saja yang pernah terpikirkan tentang tanah berlantai putih?"
Semua yang terhubung dalam saluran mendengar pertanyaan Haris. Tak lama setelahnya teman Lunar yang sebelumnya memberi arahan menjawab. "Sangat banyak, tapi yang populer adalah ruang kelas, kantor, lab-lab, perpustakaan, balkon setiap lantai, toilet, mushola, pos jaga, kantin. Ada juga yang pernah mengatakan ruang rektorat. Sebenarnya sampai saat ini hanya ruang rektorat yang belum pernah dimasuki mahasiswa meski di malam hari. Karena terlalu beresiko, ada CCTV di setiap sudut, ruangannya dikunci dua lapis dengan kunci gembok dan kunci pintu."
Haris mematung sebentar mendengar penjelasannya. Hampir tidak ada tempat yang tidak dicurigai. Ia mulai merasa bahwa greenhouse merupakan opsi keputusasaan. Dirinya kemudian memutar balik kunci. Berbalik badan, lalu melangkah ke atas menjauhi greenhouse. Membobol ruang rektorat bukan pilihan bagus, tapi tidak ada salahnya untuk dicoba.
Haris melanjutkan langkah melewati pelataran barat kampus. Pelataran luas berpaving merah dengan spot-spot kuning bergaris putih sebagai batas parkir. Ada satu spot terlihat dimana warna kuningnya mulai memudar serta terkelupas. Semburat putih terlihat di dalamnya. Haris menghentikan langkah. Ia terperanjat sebentar. Desiran adrenalin aneh menyeruak memenuhi dadanya.
Ia kemudian berjongkok. Tangannya merogoh kantong celana. Mengeluarkan sebuah benda yang terlipat. Butterfly knife. Pisau lipat itu kemudian diputarnya cepat hingga terbuka. Haris lantas mengorek cat yang terkelupas tadi. Semburat warna putih dibaliknya nampak rata.
"Jadi warna kuningnya, ditimpakan di atas warna putih."
Haris melanjutkan pengecekan di spot lain. Ternayata sama. "Pada tanah berlantai putih." Frasa itu berkelabatan di kepala Haris. Ia seolah tak percaya. Ini diluar dugaan semua orang. Haris saat ini tidak memedulikan greenhouse maupun ruang rektorat. Jari telunjuknya menunjuk setiap spot yang ada di pelataran. Ia tengah menghitung kira-kira berapa banyak paving yang harus ia angkat.
Sementara Haris sibuk oleh temuan baru yang mengejutkan. Vian dipusingkan bagaimana cara ia mengangkat toren penuh air hanya untuk melihat di bawahnya ada kertas atau tidak. Vian mengarahkan senternya ke setiap celah penyangga toren. Barangkali ada tempat sempit untuk sekadar menyelipkan potongan kertas.
Vian berusaha mengorek setiap sudut celah dengan besi pipih. Ia sama sekali tidak menemukan apapun meski hanya sesobek kertas. "Cih. Tidak ada," batinnya sebal.
"Aku tak pernah berpikir ada yang iseng menyelipkan kertas di bawah toren. Dibawah naungan jingga setahuku selalu identik dengan atap, di bawah meja, di bawah lemari, atau apapun yang memiliki atap. Tapi toren ... Eh," kepalanya mendongak, mata Vian mengamati tutup toren yang berwarna oranye, "tutup merupakan atap bagi air di bawahnya. Benar juga, kenapa aku tidak terpikirkan hal ini sebelumnya."
Ia segera bangkit. Kakinya berusaha meraih pijakan untuk naik. Penyangga toren di lantai dua tidak terlalu tinggi. Namun, jika tidak berhati-hati bisa terjatuh ke parit sawah di bawahnya.
Begitu pijakannya dirasa kuat, Vian kemudian menggigit senter kecil yang tadi digenggamnya. Kedua tangannya bersaha keras memutar tutup yang rapat. Berhasil. Ia lalu mengguyur isi toren dengan cahaya senter. Tidak terdapat apapun di dalamnya, kecuali lumut-lumut dan air.
"Tidak ada." Ia melompat turun, kemudian berjongkok. Vian mendengus. "Apa ya tempat yang tidak terpikirkan sama sekali." Matanya menatap gelapnya koridor. "AC. Mesin-mesin AC. Kayanya aku pernah melihat mesin AC yang baru dipasang dengan plastik kekuningan. Agak gak nyambung, tapi bukan berarti tidak mungkin."
Vian berdiri penuh semangat. Ia segera melanjutkan langkah menuju balkon belakang lantai dua. Dimana banyak mesin AC berjejeran. Cahaya senternya menghambur ke setiap celah mesin yang ada, tapi nihil tidak terlihat barang apapun.
Vian lantas naik ke lantai tiga. Ia memutuskan mengecek mesin-mesin AC yang terletak di samping toren besi di balkon belakang sisi barat. Langkahnya, pelan berhati-hati. Mesin AC di sini terpasang rendah karena posisi ruangannya yang tinggi. Ia menghamburkan cahaya senter di setiap celah.
"Aha!" Soraknya dalam hati bak menemukan harta yang dicari. Benar, di lima buah mesin AC yang baru, terdapat plastik pembungkus berwarna kekuningan pada setiap bagian bawahnya. Di kelupasnya satu-persatu hingga sampai ke mesin terakhir. Ada sesuatu menonjol di antara celah plastik yang sedikit terkelupas, dengan bagian penyangga bawah mesin.
"Akhirnya. Akhirnya."
Vian menggerakkan tangan kanannya penuh kehati-hatian. Dengan sedikit gemetaran, ia mengelupas plastik tersebut secara pelan. Ada kertas putih terbungkus plastik terselip. Vian merasakan dadanya penuh dengan antusiasme yang tertahan. Ia menggigit kembali senter. Membuka bungkusan tersebut, mengeluarkan kertasnya lalu ... Zonk. Hanya kertas servis rutin. Ia membantingnya ke lantai.
"Sialan!"
***
Setelah memastikan clip yang ia pakai membobol kunci kelas telah berhasil. Lunar lalu memutar perlahan kenop pintu. Ia sebelumnya telah mengecek satu-persatu ruang kelas di lantai tiga. Semuanya terkunci rapat.
Lunar kemudian melangkah masuk. Mengamati bangku-bangku kosong yang berserakan. Tiga jendelanya yang menghadap balkon masih terbuka. Ketika melangkah beberapa ubinnya terasa berderak karena acian semen dibaliknya kopong tidak merata. Warna merah meja dosen di depan memang terlihat lebih mentereng dari yang lain. Mejanya sedikit lebih besar. Di bawahnya ternyata memang banyak laci-laci berjejer. Total enam laci.
Lunar mendekat, berjongkok lalu mengeluarkan sebungkus plastik dari saku kemeja. Ia membukanya, jemarinya mengambil sobekan bekas cat dari beberapa meja lain. Spot warna di meja lain lebih gelap, lebih ke maroon. Sementara meja di terlihat lebih terang.
"Sip, beda."
Lunar bangkit. Ia melangkah ke belakang meja. Menggeser kursi dosen. Dengan senter di tangan kiri, tangan kanannya mencoba membuka laci satu-persatu yang ternyata juga dikunci semua.
"Dih."
Dengan sabar, Lunar mengorek-ngorek lubang kunci setiap laci dengan clip yang dipakainya membuka pintu tadi. "Ruangan dan laci-lacinya terkunci rapat. Semoga saja ini lokasi yang benar."
Dua laci terbuka. Kosong. Sebagian antusisme Lunar menguap. Namun, masih ada empat laci lagi. Ia masih optimis jika kertas kuitansi itu tersimpan di salah satunya. Dua laci lagi terbuka. Tidak ada apapun didalam.
Lunar merasakan jari-jarinya setengah keram akibat terus-terusan mengorek lubang kunci. Ia istirahat sejenak. Mengurut ujung jari telunjuk dan jempolnya bergantian. Terasa sedikit linu.
"Masih ada dua, Lunar ...." Ia menyemangati diri sendiri yang semakin di dekap keraguan. Satu laci terbuka. Kosong.
Laci terakhir. Lunar benar-benar berharap dengan laci ini. Deru angin terdengar di luar. Di tengah gelap gulitanya kampus, satu-satunya lampu yang menyala sudut di lantai tiga berkedip-kedip beberapa kali. Lunar sempat menengok. Dalam dekapan gelap yang diterangi cahaya senter remang-remang, dirinya terus mengorek lubang kunci.
TUK! TUK! TUK!
Suara ketukan jendela. Lunar terkesiap sebentar. Tidak ada apa-apa. Di luar udara dingin terdengar menderu-deru. Kali ini Lunar sekuat tenaga mempercepat pekerjaannya.
***
Sudah semua blok paving dengan spot kuning di bongkar oleh Haris. Isi dibaliknya sama. Kosong mlompong. Yang ada hanya cacing tanah bergeliatan.
"Sial! Sial!" Dibantingnya bongkahan paving terakhir yang baru dibongkarnya hingga terbelah dua. Ia memikirkan untuk melanjutkan opsi awalnya tadi─mengacak-acak ruang rektorat.
Setelah setiap paving selesai dipasang kembali. Haris melangkahkan kaki menuju gedung kampus. Membobol ruang rektorat lebih meyakinkan baginya.
AAAAAAAA!
Suara teriakan menggema dari lantai tiga, mengejutkan siapapun yang mendengarnya.
Lunar! Saluran komunikasi mereka riuh. Haris dan Vian lari tunggang langgang menuju ruangan dimana Lunar berada.
Lantai tiga sekarang gelap total. Satu-satunya lampu yang menyala telah padam. Sesampainya di depan kelas Vian mendapati ruangan tertutup tapi tidak terkunci. Ia mendobrak masuk. Kedua tangan Lunar menutup telinga, tubuhnya meringkuk. Ada kertas jatuh tebalik di dekatnya.
Haris baru sampai dengan napas yang memburu. Vian kemudian memungut kertas di samping Lunar tadi, menunjukkannya pada Haris untuk dilihat bersama. Sementara Lunar masih saja meringkuk didekap ketakutan. Begitu paniknya, mereka bertiga abai dengan suara teman-temannya di seberang saluran.
Anda Belum Beruntung ...
Ditulis dengan spidol warna merah.
***
Seorang pria melangkah santai menaiki setiap anak tangga dari lantai satu ke lantai dua. Dari lantai dua ke lantai tiga. Ia meniti tangga paling selatan di gedung utama sisi barat. Sesampainya di lantai tiga, pria itu berbelok kanan. Memasuki sebuah ruangan tertutup. Ia meneruskan langkahnya masuk ke salah satu dari sekian banyak ruangan lagi di dalamnya.
"Masih ada saja yang mencarinya ya ...."
Baru saja pria itu menutup pintu, belum sampai berbalik badan. Seorang wanita di pertengahan empat puluhan tahun membuka pembicaraan.
"Mereka semua bandel," balas si pria.
"Barang itu tidak akan ketemu di tempat ini." Wanita tadi kemudian bersender di kursi hitam dengan tangan telipat di dada.
"Lantas dimanakah barang itu tersimpan?" Si pria meraih tempat duduk. Wajahnya penuh tanda tanya. Ia sama sekali tidak tertarik dengan barang tersebut, sampai kegigihan para mahasiswa kini membuatnya bertanya-tanya hingga membuatnya sulit tidur.
"Ahahahaha, akhirnya kau bertanya juga ya ...."
"Aku hanya penasaran. Tidak lebih."
"Barang itu tersimpan di bank, tempat biasa para mahasiswa membayar. Di sebuah meja merah dengan banyak laci, di bawah naungan jingga, pada tanah berlantai putih. Dimana lagi kalau bukan di satu-satunya bank J-Team di kota. Dimana ketiga kuitansi tak bertuan yang terisi penuh itu, terselip acak di antara bundelan tumpukan kuitansi kosong yang lain."
Si Pria mengangguk-anggukan kepala. Bibirnya merekahkan senyum aneh. "Anda sungguh iseng."
No comments:
Post a Comment