Oleh Abi Subekti
Side Story #3
Mei 2017
Suara air bergemericik, mengalir menuruni lantai paving kusam berlumut. Semakin deras alirannya bercampur busa sabun kecokelatan.
Cokro, tengah membasuh setiap seluk-beluk motor matic kesayangannya. Spakbor, sadel, kap lampu, kedua sepion. Semua bagian ia perhatikan agar tak menyisakan sisa kotoran. Agar semuanya kembali bersih seperti baru.
Kemarin malam sewaktu pulang main dari rumah teman, tiba-tiba hujan turun. Membuatnya terpaksa berteduh di emperan toko yang kebetulan tutup. Ia lupa membawa jas hujan. Begitu hujan reda, barulah Cokro kembali melanjutkan perjalanan pulang. Namun, sayangnya jalanan kadung becek serta sebagian jalan berlubang membentuk genangan banjir, sisa gerimis yang turun membuat motornya semakin kotor. Karena sudah kemalaman, ia memutuskan baru mencucinya pagi ini.
Di kursi teras rumah, Bapak Cokro tengah duduk memandangi gawainya. Di sebelah kanan teras, dua kandang burung tercantel. Seekor burung jalak berloncatan ke sana ke mari, menari, berputar, sambil terus mengoceh merdu. Di kandang lain, dengan atap bulat berhias gambar pepohonan, burung perkutut bersikap lebih tenang.
Setelah kedua kakaknya menikah, di rumah ini hanya terisi Cokro dan kedua orang tuanya.
Kakak laki-laki Cokro menjadi dosen dan memutuskan menetap di Malang. Lalu kakak perempuannya yang merupakan admin di sebuah dealer kendaraan bermotor, akhirnya ikut sang suami tinggal di Kota Blitar.
Tahun ini adalah tahun kelulusan Cokro dari SMK. Keberuntungan berpihak kepada Cokro lantaran teman akrabnya mengajak Cokro untuk bekerja di sebuah toko komputer yang juga menyediakan jasa pemrogaman software toko, milik saudara sang teman. Di saat banyak teman-temannya yang lain tengah berjuang menembus masuk dunia kerja.
Ibu Cokro keluar dari dalam rumah. Langkahnya tenang memasuki teras. Membawa senampan singkong goreng. Hari ini, hari Minggu. Hari santai bagi semua orang, termasuk juga orang tua Cokro yang merupakan PNS. Ibunya seorang guru SMP, sementara bapaknya merupakan PNS golongan menengah di Dinas Kehutanan Kabupaten Blitar.
"Pak, anak Bu Mary lolos di Dinsos pusat, lho."
"Wah, hebat ya. Bu Mary jadi ada penerusnya sekarang." Bapak Cokro tertawa hangat. Seolah kabar yang disampaikan istrinya bukan kabar bahagia dari orang lain.
"Iya Pak. Sayang ... anak-anak kita sekarang sudah punya jalan masing-masing," Ibu Cokro mengambil sepotong singkong goreng, ia memelankan suara, "kita jadi gak ada penerusnya."
Meski diucapkan dengan suara lirih, Cokro sebenarnya mendengar jelas apa yang dicakapkan orang tuanya itu. Setelah beres mengguyur motor dengan air. Tangan Cokro bergerak lincah mengelap badan motor dengan kanebo, serta sesekali ia semprotkan cairan pengilat.
Sejak dinyatakan lulus secara de facto. Orang tuanya selalu menyinggung anak-anaknya yang tidak minat menjadi PNS. Termasuk Cokro yang memilih tidak melanjutkan studi di perkuliahan, tak seperti kedua kakaknya. Namun, setelah kakak perempuannya telah benar-benar keluar dari rumah, karena ikut suami. Cokro berpikir bahwa singgungan-singgungan itu pastilah ditujukan pada dirinya seorang.
Jelaslah, mana mungkin percakapan orang tua di rumah ditujukan pada anak tetangga.
Ada beberapa pertimbangan Cokro memutuskan untuk tidak kuliah. Karena menurutnya kuliah tidak menjamin kesuksesan. Pekerjaannya yang ia dapat kini, juga buka karena kuliah.
Justru ia berharap bisa lekas belajar mandiri dari hasil kerjanya sendiri. Dan kalaupun melanjutkan kuliah, Cokro ingin kuliah atas pilihannya sendiri. Serta dirinya sendiri yang membiayai studinya, bukan orang tuanya yang sudah semakin sepuh.
Berbeda dengan kedua orang tuanya, mereka tidak peduli dengan biaya, asalkan semua anak mereka mau melanjutkan kuliah dan mendafatar CPNS. Menjadi pegawai negeri memang masih menjadi profesi idaman bagi sebagian orang. Bahkan meski harus dengan sogokan sekalipun. Cokro, tidak menginginkan hal seperti itu.
.
.
Entah sering, entah kadang-kadang. Percakapan orang tuanya yang semakin gencar mengenai kuliah dan PNS di setiap momen-momen keseharian membuat benak Cokro makin tidak nyaman. Ia jadi sering keluar kemanapun tujuannya meski hanya sekadar nongkrong sendirian berteman segelas kopi di kafe, maupun berkumpul bersama teman-temannya hingga larut malam.
Kemarin malam, setelah benar-benar merasa “muak.” Cokro memutuskan menghubungi kakak laki-lakinya yang sekarang berdomisili di Malang, lantaran menjadi dosen di sebuah universitas ternama. Curhat panjang lebar melalui sambungan telepon mengenai perilaku orang tuanya.
Tidak banyak saran dari sang kakak selain hanya bersabar serta berusaha tidak memedulikan sindiran orang tuanya. Sang kakak mengatakan Bapak dan Ibu lama-lama pasti akan lelah sendiri dengan hal tersebut seiring melihat pencapaian Cokro kedepannya nanti. Kakak laki-laki Cokro memang orang yang pendiam, tidak banyak berbicara, kecuali untuk bersenda gurau ataupun berbincang santai dengan keluarganya.
Tidak puas dengan jawaban sang kakak laki-laki. Cokro memutuskan menghubungi Mbak Naya. Dibanding dengan kakak laki-lakinya, Cokro lebih dekat dengan kakak perempuannya ini. Ia akhirnya bertandang ke rumah Mbak Naya di Kota Blitar. Bercerita panjang lebar tentang hal yang sama serta menambahkan bahwa seminggu lagi, di awal bulan Juni, ia sudah lekas masuk kerja.
Setelah mendengar curhatan adiknya sampai tuntas, Mbak Naya mencoba memberikan pemahaman lain pada Cokro perihal maksud terselubung orang tuanya. Meski ia sendiri juga tidak keberatan akan pilihan Cokro saat ini yang enggan untuk melanjutkan kuliah bahkan sampai mendaftar CPNS. Mbak Naya tetap menekankan bahwa semuanya kembali pada pilihan Cokro sendiri.
“Jadi pikir lagi baik-baik, Dek. Pilih yang menurutmu terbaik mbak tetep dukung kok. Bapak sama Ibu juga lama-kelamaan pasti akan maklum.”
Cokro tidak berkomentar apapun selain hanya memandangi puithnya ubin, dibanding menatap mata kakaknya yang tengah tertuju kepadanya. Banyak hal berkelebatan dalam kepala Cokro hari ini. Membuat kepalanya terasa pusing nan berat. Hal yang terus menjejali ruang pertimbangannya.
“Sholatlah istikharah. Berdoa, meminta petunjuk pada Gusti Allah, Dek.”
Mendengar saran Mbak Naya ini, barulah ia mendongakkan kepala. “Aku sama sekali belum pernah sholat istikharah, Mbak.”
“Mulai sekarang belajar.”
Cokro kembali menundukkan pandangannya menatap ubin.
.
.
Juni 2017
Minggu pertama Cokro mulai bekerja di toko komputer di daerah Wlingi bersama temannya.
Toko tempat Cokro bekerja ini terbilang dekat dengan rumahnya yang ada di Talun. Semenjak Mbak Naya memberikan saran untuk salat Istikharah, Cokro sama sekali belum kepikiran mempraktikkannya. Barulah kini saran Mbak Naya itu berkelebatan lagi dalam kepalanya, membuat Cokro berpikir untuk mencoba melakukan apa yang Mbak Naya sarankan.
Singgungan orang tua Cokro terkait kuliah dan PNS sedikit mereda. Namun, itu justru yang membuat Cokro berpikir mengapa hal itu terjadi, dan pikiran itu cukup mengganggu. Aneh, saat dituntut kita menghindar, tapi saat tuntutan mereda kita justru berpkir apakah ada yang salah?
Selain bercerita pada kedua kakaknya, Cokro juga memberanikan diri untuk bercerita dengan teman akrab yang mengajaknya kerja di toko ini.
Sang teman hanya berkomentar apappun yang dipilih Cokro kemungkinan itu bisa menjadi yang terbaik baginya. Meski harus keluar kerja kurang dari satu bulan, temannya mengatakan itu bukan masalah, dan Cokro akan tetap dibayar dengan semestinya. Jawaban temannya ini justru membuatnya semakin gusar tak karuan. Bergulat dengan pikiran-pikiran yang berkelebatan di kepala sungguh tidak nyaman.
Akhirnya, dengan tekad bulat, Cokro belajar menunaikan salat Istikharah dalam beberapa malam, sembari belajar. Ia berdoa dan memohon kepada Allah Swt. akan kegusarannya ini.
Tiga minggu bekerja. Entah dorongan dari mana, atau mungkin ini merupakan jawaban Tuhan atas doa-doa Cokro. Ada suatu dorongan secara tiba-tiba yang membuatnya seolah jadi yakin untuk melanjutkan studi sesuai harapan orang tua. Ia memutuskan untuk mendaftar kuliah. Setelah mencari berbagai informasi kuliah, Cokro memutuskan untuk mendaftar di UIB. Salah satu universitas yang tengah berkembang di Blitar.
Namun, keputusannya ini masih ia rahasiakan dari siapaoun, kecuali teman kerjanya. Ia mengatakan pada sang teman untuk bekerja hanya sampai bulan Agustus saja, dan kemudian ia akan memulai studi di perkuliahan. Teman Cokro menyambut baik keputusannya ini. Ia dengan senang hati mengiyakan permintaan Cokro.
Setelah mendaftar, dan melakukan daftar ulang berbekal gaji pertama serta beberapa rupiah tabungannya dari uang saku dulu. Serta setelah mengumpulkan keberanian selama berhari-hari. Barulah Cokro memberanikan diri memberitahu kedua orang tuanya bahwa ia memutuskan kuliah meski tetap hanya di Blitar.
Ada raut terkejut yang ditahan dalam wajah Bapak dan Ibu. Cokro tahu, selain keterkejutan ada juga kelegaan dan buncahan bahagia dalam wajah teduh kedua orang tuanya. Setelah memeberitahu orang tuanya. Cokro lantas memberitahu kedua kakaknya yang juga mendukung atas pilihan sang Adik.
April 2018. Semester dua perkuliahan.
“Jadi jam berapa Pak, besok Mas Pandu datang?” Ibu sedikit menggeser duduk lesehannya, bertanya pada Bapak yang pandangannya masih terfokus pada layar datar televisi.
“Jam 10 diusahakan sampai katanya, Buk.” Setelah menjawab pertanyaan Ibu, Bapak memutar badan memandang Cokro yang rebahan sambil sibuk dengan gawainya. “Kro, besok teman bapak, Mas Pandu, yang dulu dipindah tugas ke Solo, saat ini menjelang pensiun dan balik pindah tugas lagi ke Blitar datang silaturahmi ke rumah. Jangan keluar, lho. Beliau itu teman akrab bapak. Kami sudah lama tidak betemu jadi kamu harus ikut nyambut.”
“Gampang,” jawab Cokro seadanya tanpa mengalihkan pandangan dari gawai.
.
.
Keesokan harinya, masih pukul sepuluh kurang delapan menit, ternyata mobil innofa putih tulang Pak Pandu telah merapat di halaman depan rumah. Tak berselang lama Pak Pandu yang mengemudikan mobilnya sendiri, beserta sang istri turun dari kabin depan. Di susul dengan seorang gadis bergamis hitam berpadu jilbab senada dengan aksen lengan yang berwarna putih, mengikuti turun dari kabin kedua mobil.
Bapak dan Ibu serta Cokro berdiri di depan teras dengan setelan batik merah satu motif─setelan batik keluarga, berwarna maroon.
Mereka saling bersalam-salaman hangat. Membuncahkan rasa rindu teman akrab yang lama tidak bertemu. Pak Pandu dan istri nampak masih awet muda dan sehat. Sementara putrinya terlihat seumuran dengan Cokro.
Setelah bersalam-salaman yang dibumbui basa-basi khas orang-orang tua mereka lekas memasuki rumah. Hal seperti inilah yang membuat Cokro sebenarnya malas dan canggung serta membuatnya inigin segera mengurung diri di kamar tenggelam dalam luasnya dunia dalam gawai.
Sampai di dalam, Bapak dan Ibu segera mengajak Pak Pandu beserta Istri ke ruang belakang dengan alasan perbincangan yang lebih akrab, sementara gadis bergamis hitam yang merupakan putri terkahir Pak Pandu, hanya diminta menunggu di ruang tamu.
Cokro hendak memutar kenop pintu kamarnya sebelum tangan Bapak menahannya. Ibu segera menarik lengan Cokro memasuki dapur. Di sana Bapak dan Ibu memberitahu Cokro yang keheranan untuk berkenalan dan mengajak ngobrol putri Pak Pandu di depan.
“Ngapain sih? Kenal aja enggak, males aku.”
“Lha makanya kenalan, Cokro,” jawab Ibu gemas, diikuti anggukan Bapak.
Cokro mengernyit. Ia menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. “Apaan sih, Pak, Buk.”
“Udah cepet ke depan, Kro,” desak Bapak.
Sepertinya tidak ada pilihan lain.
Melawan maka membuka ruang debat yang pasti tidak elok lantaran sedang ada tamu penting. Cokro mengusap rambut dengan sebal.
Dengan wajah ditekuk, ia melangkah lunglai menuju ruang tamu. Dalam benaknya, apa-apaan maksud kedua orang tuanya itu. Ia tak habis pikir setelah dulu sindiran terkait kuliah dan PNS dilontarkan, kali ini ia harus menerima tuntutan apa lagi.
Cokro jadi berpkir apa mentang-mentang ia anak terakhir, Bapak dan Ibunya memanfaatkan dirinya untuk memenuhi hasrat cita-cita mereka sendiri.
Mendekati ruang tamu, seorang perempuan dengan gamis hitam yang menyadari kehadiran Cokro menatap sebentar ke arahnya lantas membuang tatapan. Kedua tatapan yang bertemu membuat mereka terkejut lantas membuat masing-masing menjadi kikuk. Begitu juga langkah Cokro yang ragu-ragu ketika lekas mendekat, bahkan kini jalannya mirip anak baru selesai dikhitan.
Perempuan itu tersenyum. Cokro ragu-ragu mengulurkan tangan hendak bersalaman. Pun dengan dengan perempuan bergamis hitam tersebut. Keduanya akhirnya bersalaman meski masih dibalut rasa malu yang canggung.
"Cokro." Cokro tersenyum kecil.
"Ela," kata perempuan itu ganti memperkenalkan diri.
Keduanya tidak duduk berhadapan. Ela berada di sofa panjang menghadap tembok ruang tamu di seberangnya. Sementara Cokro duduk di sofa pendek untuk satu orang, menghadap pintu serta halaman depan.
Belum ada obrolan lebih lanjut. Keduanya hanya saling melempar senyum canggung dengan sesekali saling tatap lantas membuang tatapan celingukan.
"Emm." Cokro mencoba memulai obrolan.
Mendengar dehaman Cokro, Ela pun memperhatikannya, menunggu apa yang akan ia katakan.
"Hehe." Kali ini Cokro setengah nyengir, ia malu untuk sekadar menyimpul kalimat basa-basi.
Ela yang tadi sempat memperhatikannya juga turut tersenyum. Senyum yang ditahan.
Suasana kembali canggung
"Kuliah ... di UIB ya, Mas?"
Setelah sekian lama haha-hehe. Kini Ela memberanikan diri melempar tanya.
Cokro hanya menjawab singkat seraya mengangguk. Kemudian lanjut bertanya "Mbaknya di UB kan?"
"Iya. Gak usah manggil Mbak gak apa-apa, Mas."
"Lha itu malah manggil saya Mas."
Ela kembali tersenyum. Ia mengalihkan pandangan ke halaman depan.
Tidak ada pembahasan menarik di pertemuan pertama itu selain masalah perkuliahan. Bahwa Ela mrupakan mahasiswa semester tiga Ilmu Perpustakaan Universitas Brawijaya, Malang. Sementara Cokro masih akan semester tiga Teknik Informatika di UIB.
Biasanya jadwal perkuliahan di UIB lebih lambat ketimbang beberapa universitas lain. Jika di universitas lain liburan semester. Maka dI UIB masih perkuliahan biasa. Namun, saat UIB liburan maka universitas lain tengah memulai perkuliahan.
Ela dan Cokro ternyata memang sepantaran, hanya berbeda enam bulan kelahiran.
.
.
Satu bulan berlalu setelahnya. Setelah saling bertukar nomor telepon di awal perkenalan, sekadar chat hanya untuk basa-basi. Tidak ada perkembangan apapun, kecuali hanya buah pikiran yang sama.
Apaan sih dengan perkenalan ini?
Dan keduanya pun, kembali seperti sebelumnya. Sebatas menjadi teman baru. Tidak, sekadar kenalan baru.
***
Tiga bulan setelahnya. Juli 2018. Awal liburan semester dua.
"Bagaimana kuliahmu, Kro? Nilainya bagus tidak?" tanya Ibu begitu tangannya mengangsurkan sepiring jadah goreng sisa hajatan tetangga di kursi teras. Bapak sedang keluar, di rumah hanya ada Ibu dan Cokro.
"Alhamdulillah lancar terus. Lumayanlah, Bu, mayoritas mata kuliah dapet A."
"Alhamdulillah kalau gitu. Kalau kabar Ela, Kro?" seloroh Ibu tiba-tiba loncat ke topik lain.
Cokro yang sedari tadi tenggelam dalam dunia maya sontak mengernyit. Ia mengalihkan pandangannya yang sekarang terfokus pada Ibu.
"Ya Ibuk tanya Ela-nya, ngapain nanya Cokro,” jawab Cokro setengah sebal. Tangannya kemudian meraih sepotong jadah goreng.
"Kamu pasti chat dia kan? Katanya Ela sedang balik ke Blitar, lho." Ibu kini duduk di kursi teras di samping Cokro. Hanya terpisah meja kecil di tengah. Tangan Ibu kemudian meraih sepotong jadah juga.
"Lha itu tau."
"Gak pengen ngajak jalan gitu?"
"Bu! Apaan sih ... Mau Ibuk apa?"
Tak ada jawaban. Ibu hanya menatapnya tak peduli seolah tak mendengar pertanyaan Cokro, sembari terus mengunyah tekstur jadah yang krispi di luar lembut di dalam.
Seolah tersugesti oleh tawaran Ibu tadi. Tiba-tiba muncul keinginan Cokro untuk menghubungi Ela via chat. Dalam kegamangannya, pikiran Cokro terus berputar. Datang pemikiran yang "Tidak ada salahnya juga kan hanya sekadar cit-cat."
Meski keduanya terkadang saling chat untuk berbasa-basi. Tapi tidak pernah terbersit keinginan untuk saling bertemu kembali. Sebelum Corko memberanikan diri untuk mencoba mengajak Ela skadar jalan-jalan.
Setelah menjemput Ela di rumahnya, mereka berdua kemudian menuju taman.
Setibanya di Taman Wlingi Idaman Hati. Cokro dan Ela hanya duduk di kursi depan taman setelah sebelumnya mereka membeli seporsi sempol ayam.
Tak banyak percakapan. Hanya sesekali, sambil setelahnya mereka kembali menatap gawai masing-masing. Ini merupakan pertemuan kedua mereka setelah perkenalan dulu. Ajakan yang tidak disangka akan diiyakan oleh Ela, dan Ela yang tak menyangka Cokro akan seberani itu untuk mengajaknya jalan berdua.
Tak ubahnya areal publik lainnya. Semenjak duduk, datang pengamen silih berganti. Ada yang memang niat mengamen dengan alat musik dan suara bagus. Ada pula yang sebaliknya.
Ela sempat mengajak Cokro untuk pindah tempat. Namun, Cokro masih enggan. Dengan telaten Cokro selalu memberi uang pada pengamen-pengamen yang datang meski hanya dengan recehan.
"Sesekali bilang pas gak apa-apa, lho." Ela mengambil setusuk sempol, kemudian menyantapnya.
Cokro mengikuti apa yang Ela lakukan.
"Gak papa. Lagian juga cuma recehan. Sengaja tadi recehan di dashboard aku kantongin semua."
Sejenak ada tatapan berbeda Ela ke Cokro.
Sewaktu ada pengamen lain yang akan mendekat. Kali ini Cokro justru buru-buru mengajak Ela beranjak. Sesuatu yang tiba-tiba membuat Ela menelengkan kepalanya sebelum beranjak berdiri dan ikut melangkah, entah hanya berjalan di taman atau pindah ke tempat duduk lain.
Sembari melangkah menenteng sebungkus sisa sempol Ela bertanya penasaran. "Kenapa ngajak pindah?"
"Recehanku udah habis, hehe." Cokro nyengir kikuk. Jarinya menggaruk pelipis.
Ela terlihat menahan bibir mungilnya untuk tersenyum.
"Yaelah, tinggal bilang aja kali. Kayanya aku punya beberapa recehan juga di dompet." Ela mengetuk-ngetukkan telunjuknya di dagu.
"Hehe ... gak usah, gak papa. Lagian kamu udah ngajak pindah dari tadi kan."
Tak ada balasan. Hening. Dalam benaknya Ela baru memahami apa yang dilakukan Cokro dengan recehan yang ia berikan ke setiap pengamen. Ia sengaja menunggu hingga recehan yang dibawanya habis.
Ela tersenyum, kemudian menunjuk sebuah bangku kosong di ujung trotoar taman. Dari sisi ujung ini, bagian dalam Taman Wlingi Idaman Hati terlihat lebih jelas. Gugusan pohon-pohon menjulang. Arena permainan yang dipenuhi anak-anak. Lalu lalang kendaraan. Pedagang-pedagang jajanan yang dikerubuti pembeli seperti gula yang dikerubuti semut-semut juga meramaikan keadaan.
Setelah kembali duduk, Ela menghela napas. "Dari sini nampak indah ya pemandangannya," ucapnya kemudian.
"Iya, indah. Banyak yang bening-bening juga," balas Cokro tanpa menatap Ela. Tatapannya justru tertuju ke sesuatu yang lain.
Ela langsung paham dengan apa yang dimaksud Cokro. Mata Cokro pasti jelalatan melihat banyaknya cewek-cewek dengan pakaian modis di taman ini.
Ela menggembungkan pipi setengah cemberut, sebelum akhirnya tersenyum dengan terpaksa. "Kamu gak pekaan ya. Ada orang lho di sampingmu."
Cokro menoleh, menatap Ela seolah kebingungan. "Eh."
Tatapan keduanya bertemu beberapa detik sebelum Ela menjadi salah tingkah. Membuang tatapan, lalu segera berdiri.
"Aku mau beli ...." Ela memutar badan dan pandangannya. Tangannya merengkuh erat tas kecil yang dibawanya. "Es krim. Mau kubeliin sekalian?”
Telinga Cokro mendengar jelas apa yang sebelumnya Ella katakan. Namun, ia sendiri tidak mengerti harus membalas apa selain keterkejutan tadi.
"Emm, bo-leh."
Ela buru-buru melangkah menghampiri penjual es krim gerobakan di depan taman. Tanpa bertanya apa rasa es krim yang Cokro mau.
***
Satu minggu kemudian. Mbak Naya bertandang ke rumah di Talun. Dalam satu bulan Mbak Naya bisa bertandang ke rumah lebih dari dua kali. Selain mengunjungi orang tuanya secara rutin, Mbak Naya juga biasanya membantu setiap ada kerepotan di rumah. Hari ini ia bersama suami serta anak perempuannya.
Bapak dan Ibu ada di ruang belakang dekat dapur bersama cucu perempuannya. Sedang mengupas berbagai macam bumbu untuk masak sore ini. Sementara suami Mbak Naya tengah beristirahat di kamar.
Di ruang tamu, hanya ada Mbak Naya dan Cokro yang sibuk dengan gawai masing-masing. Tak banyak percakapan selain masalah kuliah dan kendala yang dihadapi Cokro selama ini. Sampai tiba-tiba Kak Naya teringat dengan perempuan anak teman Bapak yang kata ibunya dulu dikenalkan dengan Cokro.
Awalnya Cokro hanya membalas ala kadarnya. Ia tak tertarik membahas hal itu terus-terusan.
Corko yang muak lalu melempari kakak perempuannya itu dengan sebuah permen yang tergeletak di atas meja. Mereka berdua lanjut saling lempar-lemparan permen.
Mbak Naya tiba-tiba beranjak dari duduknya bergerak cepat menggelitiki Cokro yang lantas menggeliat kegelian.
Cokro tak tinggal diam. Ia berusaha membalas, sembari mengulat kegelian oleh ulah sang kakak. Sampai akhirnya keduanya hanya tertawa berujung rebahahan di atas sofa ruang tamu.
Sesaat tawa keduanya berhenti. Cokro menatap langit-langit plafon. Ada sebuah ornamen lampu gantung dari kaca bergelantungan di atasnya.
"Makasih, Mbak," ucap Cokro tanpa mengalihkan pandangan.
Mbak Naya bangkit dari rebahan. Menatap adiknya heran.
Masih dalam posisinya, Cokro memutar pandangan ke Mbak Naya. "Makasih saran dan motivasimu dulu sampai saat ini. Kepalaku hampir meledak dipenuhi tuntutan Bapak dan Ibu. Tak terasa kuliahku sudah hampir semester tiga. Belum lagi kehadiran Ela membuatku semakin berpikir serius. Maksudku, aku belum kepikiran sejauh yang diharapkan Bapak dan Ibu, tapi itu juga membebani pikiranku sekarang."
"Gak usah dipikir serius. Mbak sama Mas dulu udah ngomong ke Bapak dan Ibu, kamu gak usah mikir kejauhan mengenai ekspektasi mereka. Sekarang dan kedepannya fokus kuliahmu aja, Dek. Dek Cok."
"Tuman."
Tangan Mbak Naya tiba-tiba bergerak lagi menggelitiki Cokro, yang langsung di balas Cokro dengan menggeliat menghindar.
Dua minggu berselang. Bapak dan Ibu baru saja berangkat ke kota karena ada keperluan. Hari ini Cokro memilih hanya di rumah saja.
Setelah menutup pintu Cokro kembali ke dapur. Ia mengisi panci dengan air keran, memasangnya di atas kompor, lalu segera menyalakan kompor dengan api besar. Tak ada sayur hari ini, hanya ada gorengan tempe. Kadang jika dirasa bosan dengan variasi masakan yang itu-itu saja, ibu Cokro memang hanya akan memasak lauk seadanya dan membiarkan anaknya masak apa yang mereka inginkan sendiri.
Rencananya setelah sarapan, Cokro akan malas-malasan menyelami dunia maya.
TOK! TOK! TOK!
"Assalamu'alaikum."
Baru saja bungkus mi instan terbuka. Terdengar pintu diketuk berbarengan dengan ucapan salam. Suara perempuan.
TOK! TOK! TOK!
"Assalamu'alaikum. Kulonuwun."
Lagi. Cokro menjawab lirih salamnya, lalu meletakkan bungkusan mi di atas meja dapur. Menyembulkan wajahnya memandang lurus ke pintu depan. Ia kemudian bergegas berjalan menghampiri sumber suara. Menjawab salamnya singkat, lantas membuka pintu.
"Hai, Kro."
"Ela?"
Ela tersenyum simpul. "Kirain gak ada orang tadi. Aku baru dari Wlingi terus kuputuskan mampir sebentar. Maaf mendadak gak ngabarin dulu, gak apa-apa kan?”
Cokro masih mematung di depan pintu. Ia menatap Ela keheranan.
"Ya, gak papa sih, tapi ngapain?"
Mendengarnya, raut wajah Ela merengut seketika.
No comments:
Post a Comment