Oleh Anisa Dewi
Pagi itu Anika bersama Tora sahabatnya bergegas menuju tempat latihan silat. Meskipun, papa dan mamanya melarangnya dia tetap saja membangkang demi silat. Akan tetapi, Anika juga sering beberapa kali menang lomba silat antar nasional.
Sangat disayangkan kejuaraan Anika tidak membuat papa dan mamanya bangga. Semenjak Anika memilih terus berlatih di dunia silat, Anika sering di acuhkan oleh papa dan mamanya.
“Lo udah izin sama papa dan mama lo belum, Nik?” tanya Tora yang berdiri di sampingnya.
“Idih, lo ‘kan udah tau sendiri Tor, kalau nyokap sama bokaap gue gak ngizinin gue. Tapi ya gue bodoamat aja, toh mereka juga sibuk kerja masing–masing.”
“Lo tau gak sih, Nik? Kalau apapun yang dilakukan tanpa restu orang tua itu gak baik!”
“Udahlah lo gak perlu nyeramahin gue kayak gitu.”
Anika langsung berlatih, dan Tora terus memandanginya. Semangat Anika dalam dunia silat sangat besar karena dari kecil Anika selalu didukung oleh kakeknya yang tinggal di Jogja. Lusanya, ada pertandingan silat melawan sekolah lain dan Anika mengikuti kompetisi tersebut. Dia tak sadar jika mama memberikan pesan kepadanya.
Anika, cepatlah pulang. Kakek sedang sakit, dia ingin bertemu denganmu!
Anika tak melihat pesan dari mama, karena ponselnya berada dalam tas. Mama sudah menelponnya berkali–kali tapi juga tidak diangkat. Lalu, mama mencari tau keberadaan Anika dan segera menyusulnya ke tempat kompetisi.
“Anikaaaa!” teriak mama dari kejauhan.
Dia bingung mengapa mama sampai menghampirinya ke tempat kompetisi, padahal biasanya tidak. Anika segera berlari menghampiri ke arah mama.
“Ada apa sih, Ma? Jangan ganggu Anika deh!” Anika takut jika mama menyuruhnya untuk tidak mengikuti kompetisi.
“Mama gak ganggu kamu, mama dapat Whatsapp dari tante dan om kamu di Jogja katanya kakek sakit dan ingin bertemu dengan kamu.”
Anika kaget mendegar ucapan mama, dia segera mengambil tasnya untuk segera pulang bersama mama. Tora merasa bingung Anika pulang tanpa pamitan, dia berpikir mungkin terdapat masalah di rumahnya. Saat di jalan Anika sangat cemas ingin rasanya cepat sampai ke rumah berganti baju menuju Jogja tanpa harus kena macet.
“Kenapa Mama gak beri tau aku dari awal sih?” tanya Anika, dengan kesal.
“Mama udah Whatsapp kamu, diteleponn juga, cek aja ponsel kamu tuh.”
Anika segera mengecek ponselnya, dan ternyata benar mama sudah memberi taunya. Akan tetapi, Anika belum sempat membukanya. Tak begitu lama, mobilnya telah sampai ke rumah. Anika segera berlari mengambil barang–barang dan berganti pakaian.
Setelah itu Anika dan mama menuju Jogja menaiki pesawat. Kurang lebih satu jam akhirnya sampai di bandara Jogja. Kemudian menuju rumah kakek, jalanan begitu macet Anika sangat cemas dengan keadaan kakek. Setelah menunggu lama, akhirnya sampai ke rumah kakek, tetapi sudah ada banyak warga yang datang.
“Ma, kenapa rumah kakek kok banyak orangnya?”
“Mama gak tau Nik, om sama tantemu juga gak ngasih tau.”
Anika segera berlari menuju kamar kakek. Dia kaget kakeknya hanya diam dengan diselimuti kain putih, serta tante dan om yang berada di sampingnya menangis.
“Om … Tante, kenapa kakek? Kenapa kalian menangis bukan membawa kakek ke rumah sakit?”
“Kakek sudah meninggal, Anika.”
Setelah mendengar penjelasan dari om dan tantenya, Anika sangat kaget mendengar hal tersebut. Padahal dirinya belum sempat berbicara dengan kakek untuk terakhir kalinya. Anika masih tak percaya dengan ucapan tante dan omnya, dia berusaha membangunkan kakek.
“Kakek … Kakek, bangun Kakek. Ini Anika sudah datang ke sini.” Sambil menangis dan menggoyangkan tubuh kakek yang hanya diam.
Mama berusaha menenangkannya dan membawanya keluar kamar kakek, karena kakek akan segera di mandikan. Lalu tante menghampiri ke arah Anika.
“Anika, sebelum kakekmu meninggal. Dia sempat berkali-kali memanggil namamu. Tante sudah telpon mamamu untuk segera datang ke sini, kenapa kamu lama sekali?”
Anika kemudian berpikir ini semua karena kesalahannya yang tidak mengaktifkan ponselnya saat diberi kabar oleh mama. Setelah itu, Anika harus melihat kakeknya dimandikan dan dikuburkan Anika sangat merasa terpukul dan kehilangan sosok yang selalu mendukung apa yang dia inginkan dan juga menghiburnya jika bersedih sejak dari kecil.
“Anika, makan dulu ini. Dari tadi kamu belum makan.”
“Aku gak mau makan Ma, aku masih ingin sendirian dulu.”
Anika langsung meninggalkan mama yang sedang memberikan makan. Anika menuju belakang rumahnya untuk menangis sendirian di sana, Anika sangat merasa bersalah karena dirinya tidak bisa datang tepat waktu.
Seharusnya, aku gak ikut kompetisi! Biar aku bisa lihat kakek! Aaaaaa, betapa bodohnya aku!
Tak begitu lama ada seseorang laki-laki berjalan menghampirinya.
“Hei, Anika.”
Ternyata Anika mengenalinya, dia adalah Bara sahabatnya masa kecil yang ada di Jogja mereka berdua terpisah karena Anika sekolah di Jakarta.
“Bara!”
“Aku tau, kamu begitu terpukul karena kakekmu meninggal, Nik.”
“Kamu tau ‘kan Bara? Aku begitu menyayangi kakekku. Aku bisa terjun di dunia silat juga karena kakekku dia yang selalu mendukungku dalam keadaan suka maupun duka, tapi ternyata kakek meninggalkanku sendirian seperti ini.”
“Sudahlah Anika jangan bersedih, ini semua sudah takdir dari yang Maha Kuasa.”
“Seharusnya aku tidak ikut kompetisi silat, agar aku tidak terlambat menemui kakek untuk yang terakhir kalinya!” wajah Anika tampak muram dan bersedih.
“Jangan menyalahkan dirimu sendiri Anika, yang berlalu biarlah berlalu. Toh kakek juga tidak akan marah dengan hal itu, tapi kakek akan bersedih jika melihatmu bersedih.”
Anika mengusap air matanya untuk tidak bersedih lagi di depan Bara. Satu minggu kemudian Anika tidak ingin pulang ke Jakarta. Papa dan mama juga tidak bisa memaksa Anika, lalu Anika sementara tinggal di Jogja terlebih dahulu. Setiap sore, Anika selalu menangis di pemakaman kakek, dia sangat merasa kehilangan kakek. Bara yang melihat hal itu langsung menghampiri Anika.
“Anika, ayolah bangkit! Jangan bersedih terus menerus seperti ini.”
“Aku rindu kakek, Bara.”
“Jika kamu rindu dengan kakekmu, berdoalah untuknya bukan malah menangis di sini. Kakek juga akan bersedih jika kamu terus menerus seperti ini.”
Anika langsung berdiri dan meninggalkan pemakaman juga di susul oleh Bara.
“Anika, mari kita kepadepokan?” tanya Bara penuh dengan hati-hati, Bara takut jika pertanyaannya melukai hati Anika.
“Tidak Bara, aku tidak ingin ke sana. Aku memutuskan untuk menjauhi dunia silat. Karena sibuk silat aku tidak bisa bertemu dengan kakek,” ucapnya penuh dengan penyesalan yang teramat mendalam.
Anika langsung berlari dan menuju rumahnya. Bara juga mengerti kepedihan yang dialami oleh Anika. Satu minggu kemudian Bara mengajak Anika ke suatu tempat, tetapi Anika tidak tau karena di dalam mobil Bara menutup matanya dengan kain hitam. Tak begitu lama, sampailah mereka berdua dan ternyata Bara membawanya ke padepokan silat. Anika sangat marah kepada Bara.
“Baraaa! Kenapa kamu bawa aku ke sini? Aku kan sudah bilang padamu waktu itu!”
Bara langsung menarik tangan Anika untuk menuju ke dalam. Di sana banyak sekali anak-anak yang sedang latihan silat, di sana juga ada Pak Wawan ketua padepokan dan menyapa mereka berdua.
“Kamu tau nggak Nik, alasan aku bawa kamu ke sini?”
“Gak!”
“Idih, jangan jutek gitu dong, haha. Aku bawa kamu ke sini tuh bukan untuk mengingat kesedihan kamu, aku ingin kamu bangkit sebagai Anika yang tangguh seperti dulu lagi. Bukankah yang selalu mendukung dirimu dalam dunia silat itu adalah kakek? Kenapa kamu harus berhenti silat? Hanya karena kamu merasa bersalah? Aku tau kamu terpukul dan sedih Anika. Tapi jangan berlarut–larut, bukankah kamu diajarkan oleh kakekmu untuk menjadi wanita yang kuat dan tangguh? Kenapa kamu jadi seperti ini? Ayolah Anika bangkit!”
Anika merenungkan ucapan dari Bara, dia tersadar bahwa dirinya harus bangkit kembali dari kesedihan. Kehilangan seseorang yang begitu disayangi memanglah menyakitkan, tetapi bersedih terus menerus juga tidak akan ada gunanya. Anika tersenyum kembali lalu dia dan Bara juga ikut latihan di padepokan.
No comments:
Post a Comment