Jorge Luis Borges, penulis asal Argentina yang terkenal itu, mengira jika surga kelak serupa perkampungan sederhana yang di tengahnya berdiri perpustakaan.
Imajinasinya tentang surga memang unik, karena dia seorang penikmat buku.
Lebih lanjut, dalam perpustakaan tersebut ia bisa membaca karya-karya dari para penulis lintas zaman.
Suatu pertemuan imajiner yang dijembatani oleh buku, karena keterbatasan ruang dan waktu.
Kita pun bisa menjumpai Pendekar Tongkat Sakti dari Agentina di era sekarang, meski Borges sudah lama berpulang.
###
Apakah perpustakaan perlu dibangun megah dan mewah agar orang mau datang?
Apakah koleksi bukunya perlu diperbanyak, ribuan rak kalau perlu, diserta anggaran pemeliharaannya dan fumigasi secara berkala agar tak digerogoti rayap dan selalu terlihat bagus?
Setelah gedung perpustakaan yang megah berdiri, diserta fasilitas penunjangnya, ternyata orang-orang telah berhenti membaca buku.
Sangat disayangkan, bukan?
Sementara, kita mulai menyadari jika membangun gedung perpustakaan dan membangun minat baca adalah dua hal berbeda.
Orang-orang tak berkunjung ke perpustakaan terdekat karena dua alasan: kebutuhan informasinya tercukupi dari internet, dan jam buka perpustakaan sama dengan jam kerjanya.
Perpustakaan yang paling ramai mungkin adalah perpustakaan kampus, lebih karena ada tuntutan akademik yang mengharuskan mahasiswa mengakses buku-buku untuk kepentingan pembelajaran.
Bagi sebuah perguruan tinggi, perpustakaan adalah jantung. Jantung harus berdegub agar terus hidup, menghidupkan tradisi ilmu.
Mahasiswa pun akhirnya juga menjadi pengunjung perpustakaan di daerah, ketika mereka sedang mudik.
Mahasiswa dan pelajar adalah "pasar" potensial sebagai pengunjung perpustakaan karena hidup mereka masih berkutat erat dengan ilmu pengetahuan.
Namun sejak munculnya kanal terbuka (open sources) yang menyajikan buku (PDF) dan Jurnal Ilmiah, membuat perpustakaan jadi semakin sepi.
Lantas, buat apa membangun gedung yang megah dan mewah kalau kedepannya akan jarang dikunjungi?
###
Saat ini, Duta Baca Nasional adalah Gola Gong.
Bagi seorang penikmat buku, membaca adalah kemewahan itu sendiri.
Tak peduli seberapa berantakannya suasana sekitar, cukup berteman semangkuk roti dan segelas teh atau kopi, dunia yang penuh huru hara seolah redup dalam kepalanya.
Reading is a conversation. All books talk. But a good book listens as well.
Membaca adalah suatu dialog, buku-buku berbicara, tetapi buku juga pendengar yang baik, kata Mark Haddon.
Mereka yang mengharapkan gedung perpustakaan tampil megah dan mewah mungkin bukan seorang penikmat buku.
Sebab waktu berada di perpustakaan itu hanya sebentar, tak lebih lama saat kita di kamar tidur atau di kedai kopi yang bisa buka hingga dini hari.
Perpustakaan adalah gedung yang didominasi oleh urusan birokrasi ketimbang menyambut para penikmat buku.
Namun mereka menawarkan layanan menarik: buku boleh dibawa pulang, diletakkan pada meja belajar atau meja kerja untuk dibaca.
Sayangnya, sekarang ini, orang lebih asyik menghabiskan waktu di sosial media daripada menepi di bawah pohon, menikmati hidup dengan membaca series novel favoritnya.
Tak banyak lagi yang punya penulis favorit atau genre buku yang diminati.
Waktu kita habis untuk menatap layar ponsel yang mungkin tak terlalu menyehatkan secara fisik dan mental.
Sepertinya kita perlu kembali membaca buku, mengingat sosok Hatta yang menepis kebosanan dalam pengasingan dengan membaca buku.
Ia bahkan rela dipenjara asalkan bersama buku, sebab dengan buku ia bebas.
Kita tak perlu merasakan penjara untuk menikmati kebebasan, kita sudah bebas, hanya terjebak dalam kotak stigma yang keliru tentang buku. []
Blitar, 19 Juli 2022
Ahmad Fahrizal Aziz
No comments:
Post a Comment