Seperti pekan-pekan sebelumnya.
Rutinan FLP Blitar pekan ini masih setia bertempat di Perpustakaan Proklamator
Bung Karno.
Tajuknya adalah "Mengapa Kamu
Menulis?". Sebuah diskusi dan kontemplasi kecil-kecilan yang diiringi
seringai canda tawa bersama-sama.
Mengapa kamu menulis? Mengapa aku
menulis, ya karena aku ingin menulis. Aku menulis untuk berbagi ide dan
pemikiran saja. Tidak lebih.
Umumnya, orang akan dengan mudah
tertarik menulis setelah selesai membaca sebuah buku, atau setidaknya sebuah
tulisan, dan atau beberapa buku atau tulisan.
Lalu ia akan mulai gelisah begitu
menyadari banyak ide serta bayang-bayang kalimat mondar-mandir di dalam
kepalanya. Ia akan coba meraih kertas dan pena. Kalau pun dirasa kurang greget—takut kertasnya terselip, hilang dan
terlupakan. Ia akan memilih menulis di aplikasi note, di smartphone—yang dirasa
lebih aman.
Begitu apa yang ia tulis berkembang.
Kegelisahannya bukan lagi pada harus menulis apa dan di mana, tapi apakah ia
harus mencari teman menulis? Gabung komunitas barangkali? Atau mendirikan
komunitas juga bisa.
Setelah dipikir-pikir mendirikan
komunitas agaknya terlalu berat. Kayaknya oke juga kalau buat grup sesama
penghobi literasi untuk sekadar sharing dan upgrading diri.
Namun, ternyata sedikit teman yang
mau. Rasanya memamg lebih baik cari dan gabung komunitas dulu untuk sementara
sambil cari relasi dan pengalaman.
Lantas ketika akhirnya menemukan
komunitas sefrekuensi dan gabung di dalamnya. Sebuah pertanyaan tadi muncul,
dan ia langsung bingung.
Dibentangkannya lagi kanvas ingatan
yang tergulung rapi di laci hipokampus. Ia mengamatinya dari awal mula ia
memutuskan menulis, dan ya, ternyata ia belum tahu mengapa ia
menulis—disclamier, hal ini tidak berlaku general, hanya di beberapa kasus
saja.
"Mengapa" adalah
pertanyaan penting untuk dijawab, karena terkait tujuan, setelah menemukan
"apa" dan "bagaimana" (Fahrizal, 2024). Banyak orang yang
memutuskan menulis, terjun ke dunia kepenulisan, berlatih menulis, serta
bergabung ke komunitas kepenulisan tanpa membawa "mengapa".
Tujuannya masih samar. Masih mencari
"jati diri". Acapkali ia tak menemukannya dan akhirnya
"mengapa"-nya lepas begitu saja. Bagi sebagian yang akhirnya
menemukan "jati diri" atau barangkali memang sudah menemukannya dari
awal, "mengapa" akan jadi
semakin kuat hingga menuntunnya—meski dengan susah payah. Mencapai tujuannya
menulis.
Menulis adalah tanggung jawab atas
ide. Karena ide merupakan makhluk yang harus dirawat oleh kita selaku inangnya
(Husam, 2024)
Menulis yang pertama adalah
mengeluarkan isi hati, kedua menyalurkan ide, meredakan overthinking,
menciptakan dunia kita sendiri yang kita mau, terakhir berkarya untuk
mengabadikan nama (Ana Salamah, 2024)
Pada akhirnya setelah kita sering
membaca, produktif itu gk terlalu bagus. Harus ada jeda produktivitas
(Fahrizal, 2024)
Menulis untuk berkarya, beribadah,
dan berdakwah (Rahmat Agung S. 2024)
Mengapa aku harus menulis? Dan
mengapa aku menulis beda. Harus menulis berarti sebelum. Jika mengapa aku
menulis berarti sesudahnya. Menulis juga mempertimbangkan generasi dan khalayak
ramai yang akan membaca tulisan kita karena itu harus bisa dipertanggungjawabkan.
Menulis juga termasuk jadi tujuan hidup (Hafid, 2024)
Banyak ragam jawaban dari
"Mengapa Kamu Menulis?" Karena mengapaku dan mengapamu sudah pasti
berbeda. Tujuanku dan tujuanmu, alasanku dan alasanmu, ideku dan idemu juga
pasti beda.
Maka apakah kamu sudah menemukan
"mengapa"-mu?
No comments:
Post a Comment