Buku Harian Berdarah - FLP Blitar

Buku Harian Berdarah

Share This


Ruang yang Tak Disebut

Rasyid berdiri di gerbang Muljono University, memandangi bangunan megah yang menjulang dengan lambang universitas berbentuk daun melingkar di tengah lingkaran cahaya. 

Hatinya menghangat, dadanya penuh rasa syukur. Anak tukang servis sepeda kini resmi menjadi mahasiswa penuh beasiswa.

“Selamat datang, calon pemimpin bangsa!” seru seorang panitia ospek.

Tiga hari itu penuh orasi, seminar, dan dokumenter tentang sosok Ir. Muljono. Nama yang terpatri di setiap aula, gedung, dan bahkan sisa bisik-bisik para dosen senior.

“Beliau bukan sekadar pemimpin,” ujar seorang pembicara dengan suara berat. 

“Tahun 1904, dunia dilanda krisis kepercayaan global. Tapi Ir. Muljono—seorang insinyur pertanian—berdiri memimpin rakyatnya tanpa kekuasaan. Ia menolak jabatan kedua, memberi teladan bahwa kekuasaan bukan warisan, tapi amanah yang harus tahu batas.”

Rasyid terpukau. Di sela kegiatan kampus, ia membaca lebih dalam. Ir. Muljono seperti hidup kembali dalam pikirannya—bijak, bersahaja, dan tegas.

Tapi ada satu hal yang terus mengganggu pikirannya.

Di pojok taman tengah kampus, tersembunyi di balik pepohonan pinus tua, ada bangunan kecil berdinding abu-abu. Tak banyak mahasiswa memperhatikannya. Di depannya terbentang garis kuning seperti garis polisi, dengan papan kayu bertuliskan “RUANGAN INI DILARANG DIMASUKI”.

Beberapa kali Rasyid mencoba bertanya. Jawabannya selalu sama—senyum hambar dan pengalihan topik.

“Ruang penyimpanan tua, nggak penting,” kata penjaga taman.

Tapi kenapa dilarang keras?

Malam itu, hujan turun rintik. Setelah menyapu teras masjid, Rasyid duduk di lantai dingin, memandangi langit malam. Pikirannya terus kembali ke ruangan itu. Seolah ada sesuatu yang menunggu untuk ditemukan.

Dan malam itu, ia memutuskan untuk mencari jawabannya.

Kampus sudah sepi. Lampu-lampu taman menyala redup, pohon-pohon menjulang seperti bayang-bayang dalam mimpi buruk. Rasyid melangkah cepat, menyelinap di antara semak dan tiang lampu.

Ia sampai di depan ruangan. Udara terasa lebih dingin di sini. Daun-daun basah menempel di sepatu. Tali peringatan ia singkap perlahan. Pintu kayu tua tampak terkunci, tapi engselnya longgar. Ia dorong pelan-pelan.

Kriettt...

Bau lembap dan besi tua menyeruak. Di dalam, ruangan sempit dan gelap. Hanya ada satu meja, dan di atasnya, sebuah buku catatan kulit. Rasyid menyalakan senter ponselnya.

Tulisan tangan halus memenuhi halaman pertama:

"Catatan Pribadi — Ir. Muljono, 1904."

Jantung Rasyid berdebar. Ia membuka halaman-halaman berikutnya. Di sana, bukan filosofi bijak atau rencana pembangunan. Tapi angka-angka, percobaan, dan kalimat-kalimat aneh:

"Subjek ke-12 gagal. Efek samping terlalu besar. Mereka mulai berbicara sendiri, bahkan setelah dikubur."

"Jika demokrasi gagal lagi, percobaan ke-13 akan diaktifkan. Tidak boleh ada kesalahan seperti sebelumnya."

Rasyid menelan ludah. Tangannya gemetar. Ia lanjut membaca.

"Kepemimpinan sejati lahir dari rasa takut. Rasa kehilangan. Jika rakyat tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik malam-malam sunyi ini, mereka akan membakar seluruh tatanan yang telah aku bangun."

Langkah kaki terdengar di luar.

Rasyid mematikan lampu. Nafasnya tercekat. Ada seseorang di luar ruangan. Bayangan kaki melintasi celah pintu.

Suara pelan terdengar, hampir seperti bisikan:

“Masih ada yang ingin tahu... setelah semua waktu ini...”

Langkah itu menjauh.

Rasyid menunggu beberapa menit sebelum keluar, menggenggam buku itu erat-erat.

Keesokan paginya, ruangan itu sudah dirantai. Tak ada lagi papan kayu, tak ada lagi garis kuning. Seolah malam itu hanya mimpi buruk.

Tapi Rasyid tahu, ia tidak bermimpi.

Ia menyimpan buku itu di bawah sajadah di kamar masjid.

Dan malam-malam berikutnya, suara-suara mulai muncul.

Berbisik di sela azan.

Mengetuk di balik dinding qiblat.

Dan terkadang... menyebut namanya.

BERSAMBUNG

No comments:

Pages