Pagi Terakhir Nurman - FLP Blitar

Pagi Terakhir Nurman

Bagikan
Pagi Terakhir Nurman
 
Sejak usia empat tahun, Nurman hidup berdampingan dengan HIV, sebuah virus yang menjadi bayang-bayang tak terlihat namun selalu hadir dalam hidupnya.  

Diagnosis itu datang bak petir di siang bolong, mengejutkan orang tuanya yang baru menyadari ada kejanggalan dalam kondisi kesehatan putra mereka.  

Kehidupan Nurman, yang seharusnya penuh dengan keceriaan masa kanak-kanak, tiba-tiba dipenuhi dengan jadwal pengobatan yang ketat dan beban stigma sosial yang berat.
 
Nurman tertular HIV melalui jalur perinatal, sebuah  kenyataan pahit yang membuatnya terinfeksi sejak dalam kandungan. Penularan vertikal ini terjadi ketika virus HIV dari ibu yang terinfeksi (dan tidak mendapatkan perawatan ARV yang memadai)  menembus plasenta, atau melalui kontak saat persalinan, atau bahkan melalui ASI.  

Meskipun pengobatan ARV yang tepat bagi ibu hamil mampu meminimalisir risiko penularan,  kekurangan akses terhadap perawatan kesehatan membuat virus mematikan ini masuk ke aliran darah Nurman, membuatnya terinfeksi sejak lahir.
 
HIV, atau Human Immunodeficiency Virus, menyerang sistem kekebalan tubuh, melemahkannya dan membuat penderitanya rentan terhadap berbagai infeksi dan penyakit.  

Jika tidak diobati, HIV dapat berkembang menjadi AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome), sebuah kondisi yang mengancam jiwa. Namun, kemajuan medis telah menghadirkan terapi ARV  (antiretroviral) yang mampu mengendalikan virus dan memungkinkan pengidap HIV untuk menjalani kehidupan yang relatif normal.  

Sayangnya, normalitas itu datang dengan harga; penggunaan obat-obatan seumur hidup, sebuah beban yang Nurman alami sejak kecil.
 
Setiap hari, Nurman harus menelan pil ARV, sebuah ritual yang melelahkan. Kunjungan bulanan ke puskesmas untuk mendapatkan persediaan obat menjadi rutinitas yang tak pernah absen.  

Bangun, makan, minum obat, dan berjuang melawan rasa sakit – baik fisik maupun psikologis – menjadi siklus tak berujung dalam hidupnya.  

Rasa sakit itu bukan hanya  dari efek samping obat, tapi juga dari beban stigma dan diskriminasi yang ia hadapi.
 
Masyarakat, dengan ketidakpahaman dan rasa takut yang berlebihan, sering memperlakukan Nurman dengan curiga. Pandangan sinis, bisikan-bisikan, dan pengucilan menjadi hal yang biasa. 

Ketakutan yang keliru tentang penularan HIV melalui kontak biasa membuat banyak orang menjauhinya. Teman-teman sebayanya  meninggalkannya,  tak tahu bagaimana cara berinteraksi dengannya.  

Di sekolah, ia menjadi sosok yang berbeda, bukan karena prestasi, tetapi karena status kesehatannya.
 
Beban tersebut memicu depresi yang mendalam. Nuansa kesepian terus membayangi Nurman. Ia merasa terisolasi dari dunia sekitarnya.  

Keinginan untuk  hidup  seperti anak-anak seusianya harus dikubur dalam-dalam. Setiap hari, ia bergumul dengan kelelahan – lelah menghadapi stigma, lelah melawan rasa sakit, lelah menjalani rutinitas yang begitu menyita.
 
Suatu malam, keputusasaan mencapai puncaknya.  

"Kenapa aku harus terus berjuang?" gumamnya dalam hati.  

"Apa gunanya bertahan hidup jika aku hanya dijauhi, hanya dipandang sebelah mata?"  

Pikiran untuk mengakhiri hidupnya tiba-tiba muncul, bak sebuah tawaran pembebasan dari belenggu penderitaan.
 
Nurman menyiapkan tali di kamarnya, menulis surat perpisahan singkat untuk ibunya yang telah lama terpisah darinya.

"Maaf, Bu. Aku tak kuat lagi. Aku ingin beristirahat." 

Langkah kakinya terasa berat, namun ia tetap melangkah menuju jurang keputusasaan. Dalam keheningan malam, ia memutuskan untuk mengakhiri segalanya.
 
*** 
Aldo, seorang relawan Dinas Sosial yang telah mendampingi Nurman selama empat bulan, selalu menyambangi Nurman setiap pagi.  

Ia adalah  seberkas cahaya kecil dalam kegelapan hidup Nurman,  mencoba  untuk  memberikan semangat,  memberikan  harapan, dan meyakinkan Nurman  bahwa  hidupnya  berharga.  

Aldo memahami  betapa  berat  proses  penyembuhan  HIV,  dan  betapa  memilukannya  ketika  stigma  menghancurkan  semangat  hidup  seseorang.
 
Tetapi pagi itu,  sesuatu  berbeda.  Pintu  kamar  Nurman  terkunci.  Setelah  mengetuk  dan  tak  mendapat  jawaban,  Aldo  membuka  pintu  dengan  hati-hati,  hanya  untuk  menemukan  Nurman  terkulai  lemas  di  lantai.

Tali masih tergantung di langit-langit,  menandakan  akhir  tragis  dari  perjuangan  panjang  seorang  anak  yang  terhimpit  stigma  dan  kesepian.
 
"Maafkan aku, Nurman," bisik Aldo,  air  mata  mengalir  deras.  

"Aku  tak  bisa  mencegahmu."
 
Empat bulan  pendampingan  rupanya  masih  belum  cukup.  Aldo  memahami  bahwa  meski  adanya  dukungan,  rasa  sakit  dan  kesepian  yang  mendalam  dapat  membuat  seseorang  merasa  tak  ada  jalan  keluar.
 
Pagi  itu  menjadi  pagi  terakhir  Aldo  bersama  Nurman.  Matahari  terbit  dengan  indah  di  luar,  tetapi  di  dalam  kamar  itu,  semuanya  terlalu  terlambat.  

Nurman  pergi,  ditekuk  bukan  oleh  virus  di  tubuhnya,  melainkan  oleh  stigma  dan  kesalahpahaman  di  dunia  ini.

No comments:

Pages